Posted by : Unknown


Jose Mujica adalah salah satu pemimpin Gerakan Pembebasan Nasional Tupamaro (MLN-T). Mujica menghabiskan 14 tahun di penjara karena kegiatan gerilya, setelah terlibat dalam perang kota melawan rejim diktator yang terpilih. Dia berada di balik jeruji selama era kejayaan dari tahun 1973 sampai 1985.

Setelah menghirup udara bebas dan demokrasi mulai dipulihkan, ia segera mengorganisir gerakan perlawanan rakyat yang bernama Gerakan Partisipasi Kerakyatan (MPP), sebuah faksi utama dalam Frente Amplio, nantinya. Sebelum ditunjuk menjadi menteri pertanian, dia sempat berkali-kali menjadi anggota parlemen. Kegemarannya adalah bertani dan berternak, dan itu dilakukan hingga sekarang. Sebelum mengisi kursi kepresidenannya, dia ingin menghabiskan waktu di sebuah peternakan miliknya, yang berada di luar kota.

Frente Amplio (FA), partai yang mengusung Jose Mujica, merupakan partai koalisi politik kiri yang dibentuk tahun 1971, hasil penggabungan dari berbagai kelompok-kelompok kiri—sosialis, trotskys, komunis, Kristen demokrat—dan faksi-faksi hasil perpecahan dari dua partai tradisional reaksioner, Partai Nasional Blancos dan Partai Colorados.

Sejak awal para pendiri FA menegaskan, “tujuan utama pendirian FA adalah untuk menjalankan sebuah aksi politik permanent dan bukan persaingan pemilu”. Para pemimpin FA memutuskan untuk mengorganisir komite-komite akar rumput (comites de base) untuk mempromosikan proses politik kepada banyak orang, sehingga memungkinkan untuk mengangkat demokrasi atau partisipasi langsung dari bawah, memangkas perantara (birokrasi) politik, dan menjadi keputusan akar rumput sebagai dasar penentu arah pergerakannya.

Menjelang pemilu presiden di musim gugur, FA memobilisasi basis massa pendukungnya untuk memilih kandidat presiden mereka, Liber Seregni, seorang pensiunan militer, bersama dengan kelompok-kelompok pecahan partai Colorado dan Blanco.

Di akhir Agustus 1971, Frente mengakhiri kampanye berjudul “The First 30 Pemerintah Measures”, yang diambil dari program “40 measure”nya Allende, dengan pilar transformasi sosial yang didasarkan pada reformasi agraria, nasionalisasi seluruh bank swasta, serta pengambil-alihan industri dasar dan sumber-sumber perdagangan luar negeri.

Kemunculan FA di panggung politik nasional dan berkembangnya gerakan gerilya perkotaan, Tupamaro, segera mengundang rasa khawatir sayap kanan, politikus tradisional, dan kelompok militer. Pada tahun 1973, militer akhirnya mengambil paksa kekuasaan dan segera menindas tiada tara terhadap gerakan-gerakan progressif; pimpinan FA, Liber Seregni, ditangkap dan partai dinyatakan terlarang.

Segera setelah era kediktatoran militer berakhir pada 1984, FA segera mengambil peran kunci dalam perjuangan melawan sisa-sisa kediktatoran dan mengorganiskan perlawanan rakyat. Aktivis-aktivis FA turun ke rumah-rumah penduduk, mengetuk pintu mereka, dan menjelaskan setiap persoalan. Pada tahun 1986, seperti yang dicatat analis Uruguay, Raul Zibechi, sekitar 30.000 aktivis FA berpartisipasi dalam kampanye pintu ke pintu. Meskipun gagal memenangkan referendum ketika itu, namun aktivis-aktivis FA semakin akrab dengan rakyat dan memperluas basis mereka di pedesaan.

Frente agak sedikit menggeser orientasi politiknya yang bersifat nasional, untuk mengisi ruang-ruang politik lokal, dimana mereka berencana membuat sebuah eksprimen perubahan dalam skala kecil. Frente mengajukan seorang politisi pendatang baru, Dr Tabare’ Va’squez, seorang dokter yang begitu dihormati rakyat, untuk bertarung dalam Pilkada kota Montevideo. Hasilnya, sang dokter berhasil memenangkan pemilihan, dan mengumpulkan 35,5% suara.

Untuk pertama kalinya, dalam sejarah politik Uruguay, sebuah partai politik mendemonstrasikan kemampuannya untuk memerintah dengan baik, dan itu berlangsung di ibukota negeri itu, Montevideo. Frente memulai aksinya dengan mendesentralisasi politik kota itu. Mereka mendirikan kantornya di 18 kabupaten, dan mulai menanamkan program partisipasi melalui dewan-dewan komunitas, mirip dengan model anggaran partisipatif yang dipraktekkan partai buruh (PT), Brazil.

Pada tahun 2003, setahun sebelum pemilu presiden yang menghantarkan Tabare Vasquez ke kursi kepresidenan, FA berhasil memimpin koalisi gerakan sosial dan komunitas melawan privatisasi air. Komisi Nasional Pertahanan Air dan Kehidupan (CNDAV), sebuah koalisi berbaasis luar dari berbagai organisasi sosial, berhasil mengumpulkan ratusan ribu tanda tangan. Ini sangat mempengaruhi jalan menuju sukses FA pada pemilu nasional, dan menghantarkan Tabare Vaquez ke kursi presiden pada tahun 2005.

Tantangan dan Harapan Pemilih

Selama lima tahun pemerintahan Tabare Vasquz, pendahulu dari Jose Mujica, sebagian besar pengamat menganggap bahwa pemerintahan kiri ini tidak menghasilkan perubahan yang terbilang radikal. Dalam kampanye pemilu, Mujica banyak memuji prestasi-prestasi presiden Tabare Vasques sekarang, diantaranya pengurangan kemiskinan dari 32% menjadi 20%, dan membantu penurunan angka kemiskinan ekstrim dari 4% menjadi 1,5% dari populasi.

Selain itu, Tabare juga dianggap berhasil di bidang ekonomi; pertumbuhan ekonomi rata-rata 7-12% pertahun dan pengurangan pengangguran dari 21% pada tahun 2002 menjadi 8% saat ini. Prestasi besar lainnya adalah plan ceibal, yang menyebabkan Uruguay menjadi negara pertama di dunia yang menyediakan laptop, dengan koneksi internet, untuk setiap anak sekolah dan sistem pendidikan publik. Pemerintahan Tabare juga melakukan reformasi pajak besar-besaran yang bertujuan untuk meredistrubusikan ulang pendapatan.

Dan menurut pendapat ahli itu, Jose Mujica tidak akan bergerak jauh dari apa yang sudah dikerjakan oleh pendahulunya itu. “Ini model Lula”, demikian Alfredo Garce dari Universitas di Montevideo menamai strategi politik Mujica kedepan. Dalam sebuah kesempatan, Mujica sendiri sudah mengambarkan model pemerintahannya mengacu kepada model “Lula” di Brazil, berjalan dengan melakukan perubahan yang sangat moderat.

Dalam tajuk yang berjudul “In Uruguay, Ex-Militant Mujica Is Elected”, The Wall Street Journal menganggap Mujica sebagai pemimpin baru yang dapat menjaga Uruguay untuk tetap bersahabat dengan sistem pasar.


Mujica memang memiliki hubungan persahabatan yang erat dengan presiden kiri di Argentina, Cristina Fernandes dan suaminya, mantan Presiden Nestor Kirchner (2003-2007), dan juga dengan pemimpin berhaluan kiri radikal, presiden Chavez di Venezuela dan Evo Morales di Bolivia. Tetapi ia jelas menandai garis pembeda dengan mereka, dan berulang kali menyatakan bahwa model memerintahnya adalah model presiden Luiz Inácio Lula da Silva.

Secara pribadi, saya sangat memahami pilihan politik Mujica ini. pertama, semenjak memperoleh kemerdekaan dari Spanyol pada tahun 1830, ruang politik di Uruguay didominasi oleh dua partai politik tradisional utama; Partai Nasional Blanco dan Partai Colorado. Kedua faksi ini mengubah arena politik negeri ini menjadi sistim dual partai, mirip dengan sistem kepartaian di AS.

Jadi, seperti dikatakan sosiolog Gustaveo Leal, meskipun FA berhasil sudah memenangkan pemilu nasional dua kali, dan berhasil menumbangkam dua partai tradisional yang sudah berkuasa 170 tahun, namun FA masih kesulitan mengubah keseluruhan lanskap politik negara menjadi kiri.

Kedua, Sebagian besar masyarakat Uruguay, seperti juga dengan masyarakat di negeri-negeri lainnya, mengalami fragmentasi dan disintegrasi struktural yang cukup parah. Partai tradisional menciptakan loyalitas pemilih berdasarkan tradisi, sementara neoliberal menyebabkan masyarakat menjadi tidak berdaya, mudah dibeli. Budaya politik belum berubah secara radikal.

Namun, ada berita positif. Koalisi kiri telah memenangkan mayoritas di senat dan kongres. Frente telah memenangkan kontrol terhadap legislative, dan akan menggunakannya membendung serangan oposisi dan memberi ruang yang lebih leluasa bagi pemerintahan kiri untuk bertindak. Ini sangat berbeda dengan kemenangan awal Lula, misalnya, dimana partainya—partai buruh—tidak mengontrol parlemen.

Keuntungan positif lainnya adalah mulai berjalannya integrasi regional di kawasan ini. Meskipun agak tersendat dengan kudeta terhadap presiden Zelaya di Honduras, namun proses integrasi semakin penting dan menjadi agenda bersama pemimpin-pemimpin berhaluan kiri di Amerika Latin.

Pelajaran (perbandingan) Buat Indonesia

Dalam satu dekade terakhir, gerakan progressif Indonesia belum pernah sekalipun membangun sebuah koalisi politik luas, permanen, dan berpengaruh dalam kancah politik nasional. Gerakan rakyat, atau sering disebut gerakan sosial, masih merupakan serpihan-serpihan kecil yang tercerai berai, tanpa kehadiran sebuah pengelompokan yang lebih besar untuk mewadahi mereka. Ada begitu banyak organisasi rakyat, komite aksi, front-front perlawanan, tetapi semuanya tumbuh seperti jamur; hanya tumbuh pada musim-musim tertentu, setelah itu meredup.

Rintangan-rintangan persatuan bukan hanya bersifat objektif, tetapi juga ada berdasarkan alasan subjektif. Yang termasuk rintangan objektif adalah fragmentasi dan disintegrasi sosial akibat neoliberalisme. Di berbagai penjuru dunia, terutama di Eropa, Amerika Latin, dan Asia, neoliberalisme berkembang dari penghancuran, disintegrasi, dan fragmentasi terhadap gerakan pekerja dan petani.

Sementara itu faktor subjektif berakar dari tradisi gerakan itu sendiri, dan menjadi pola yang terus tertanam dalam kehidupan sehari-hari. Kini sudah terbiasa mendengar dikotomi-dikotomi di dalam gerakan: revolusioner vs reformis, radikal vs moderat, kooptasi vs non-kooptasi, pejuang full-timer vs pejuang mingguan, pemikir vs pelaku lapangan, dan begitu banyak dikotomi tidak penting lainnya.

Pengalaman pertama dan sangat penting dari FA adalah soal bagaimana mereka membangun partai persatuan. Pendirian FA bukan hanya merangkum sektor-sektor kiri radikal, seperti Trotskys, komunis dan lain-lain, tetapi juga memasukkan kelompok moderat dari sosialis moderat dan Kristen demokrat, bahkan menampung pelarian-pelarian yang tersingkir dari dua partai tradisional utama; Partai Nasional Blancos dan partai colorados. Kedua partai ini, menurut saya, tidak ada bedanya dengan Golkar ataupun masyumi di Indonesia.

FA berhasil merangkum keragaman tendensi politik ini menjadi positif, sebuah faktor penting dalam mendekati massa rakyat yang juga benar-benar beragam, baik secara sosial maupun cultural. Sementara kita di Indonesia, selama puluhan tahun bergulat dengan perbedaan-perbedaan kita, sangat bisa untuk mengurai perbedaan-perbedaan teoritis, tetapi tidak sanggup melihat kesamaan-kesaman kesimpulan terhadap musuh bersama (pokok).

FA memiliki bendera berwarna merah-biru-putih, sekaligus menjelaskan bagaimana politik persatuan dalam keragaman menjadi penting dalam kultur masyarakat mereka. Sebaliknya, kita gerakan progressif di Indonesia sibuk mengimpor simbol-simbol politik tertentu dari luar (simbol paling kiri, tentunya), sementara bangunan rakyat kita berasal dari sebuah konsolidasi kulltural yang sangat beraneka-ragam dan kadang bersikap apriori terhadap yang berbau asing.

Pelajaran kedua dari FA adalah soal bagaimana mereka mengkombinasikan perjuangan di level nasional dan perjuangan merebut kekuasaan lokal. Dalam hubungan itu, FA bukan saja berhasil menggali pengalaman sangat berharga bagi perjuangan mereka, tetapi juga sukses dalam mengakumulasi kekuatan dalam rentang waktu yang tidak terlalu panjang.

Pelajaran ketiga adalah soal bagaimana mereka berhasil mendorong politik partisipasi kepada masyarakat luas, melalui kampanye dari pintu ke pintu dan tanda-tangan ratusan ribu orang untuk menentang agenda neoliberal. Memang, seperti dikatakan Alvario Garcia, Wakil Presiden dan ideolog perjuangan rakyat Bolivia, pembangunan kembali ikatan sosial dan pembangunan dari bawah merupakan tugas pertama dalam merubuhan rejim neoliberal.

Total Tayangan Halaman


counter web

Categories

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

- Copyright © Diaspora -- Powered by Blogger - Designed by Efrial Ruliandi Silalahi -