Posted by : Unknown

Jendral Kim IL Sung dilahirkan dari suatu keluarga yang miskin di daerah Mangyungdai pada tanggal 15 April tahun 1912. Dia dilahirkan sebagai anak tertua dari Kim Hyung Jik seorang pejuang Anti - Jepang dan Kang Ban Suk.

Agresor imperialis jepang mempunyai sejarah yang panjang dalam pendudukan semenanjung Korea. Pasukan pendudukan pertama tiba pada tanggal 29 Agustus 1910 dan sejak masa itu dimulailah perlawanan yang masih sporadis yang dilakukan oleh Rakyat Korea. Sampai pada tahun 1912 oleh mata-mata dan polisi jepang sudah ditangkap lebih dari 52 ribu Rakyat Korea yang dituduh mau melakukan makar kepada penguasa. Banyak kaum patriot yang ditembak mati oleh pasukan pendudukan. Darah dari kaum patriot telah membasahi seluruh negeri!

Sang Jendral dengan nama kecil Sung Joo adalah generasi ke 12 dari Kim Kye Sang yang pindang ke utara dari Junjoo, propinsi Cholla utara.

Selama perang Imjin, keluarga Kim Kye Sang meninggalkan Junjoo dan menetap di Wolnai-ri, Namgot-myun desa Daidong di dekat Pyong Yang. Pendidikan untuk cinta tanah air sudah menjadi tradisi bagi keluarganya dan itu diwariskan secara turun-temurun, begitu juga yang diajarkan oleh ayahnya kepada Sung Joo sejak kecil bahwa tanah air dan Rakyat adalah yang utama harus dijaga dan dihormati.

Sang ayah, Kim Hyung Jik pada usia sekitar 20 tahunan mulai bergabung dengan gerakan kemerdekaan, walau menjalani aktifitas yang berbahaya dan padat itu dia tetap bisa meluangkan waktunya untuk mengasuh keluarga dan anak-anaknya. Ketika sedang bersama si kecil Sung Joo ayahnya sering mengajaknya ketempat-tempat dengan pemandangan alamnya sangat bagus dan bersejarah. Pada saat bersama, ayahnya selalu menceritakan cerita-cerita patriotic lama dari bangsa Korea sebagai contoh cerita pada abad 18 bagaimana Rakyat Korea pernah membakar kapal bajak laut Amerika yang dipimpin oleh “Jendral Sherman” di sungai DaiDong yang pada saat kapal itu mau menduduki daerah tersebut.  Berikutnya adalah kisah pejuang Eulji Moon Duk, Kang Kam Chan dan Li Soon Sin yang berani melawan tentara asing yang mau menjajah Korea atau juga kisah seorang Martir An Joong Keun yang ditembak mati oleh HiroBumi Ito seorang pemimpin Jepang yang sedang berusaha menduduki Korea. Cerita-cerita itu sungguh menarik hari Sung Joo kecil.

Pada musim semi 1925 Sung Joo yang sudah mulai beranjak remaja mendaftarkan diri pada sekolah menengah pertama Fusung. Sebelum menuju kesekolah tersebut sang ayah bertanya kepada Sung Joo “apakah yang paling terpenting pada saat disekolah” lalu sang ayah juga memberi jawabannya “yang paling terpenting adalah mengolah kemampuan untuk bergaul dengan kawan-kawan sesama dan membenarkan karakter mereka yang salah”. Wejangan sang ayah itu benar-benar diingat oleh Sung Joo remaja.

Setelah memasuki sekolah dan mulai menjalani aktifitas belajar maka Sung Joo remaja mulai dekat dengan kawan-kawan sekolahnya yang lain. Di sekolah dia banyak bergaul tidak hanya pada kawan-kawan seangkatannya tetapi juga dengan kakak kelasnya selain itu juga Sung Joo remaja juga menarik perhatian para guru ketika sedang berada dikelas selain aktif belajar dia juga termasuk orang yang menonjol dalam memimpin kawan-kawannya yang lain.

Karena ayahnya adalah seorang pejuang anti Jepang Sung Joo juga banyak menerima pelajaran baik langsung ataupun tidak langsung dari kawan-kawan ayahnya yang sedang mampir atau sedang melakukan pertemuan dirumahnya. Hingga lengkap sudah banyak pelajaran melekat pada diri Sung Joo, disekolah dia termasuk murid yang cerdas dalam pelajaran yang diajarkan dan juga dia cerdas dalam pengetahuan tentang pergerakan dan semangat cinta tanah air yang diajarkan oleh kaum pergerakan sehingga semua itu yang mengakibatkan Sung Joo remaja menjadi seorang pemuda yang kritis.

Tanggal 5 Juni 1926 sang Ayah yaitu Kim Hyung Juk meninggal dunia dengan tenang akibat sakit. Seisi rumah yang terdiri dari kawan-kawan seperjuangan ayahnya sangat bersedih. Sung Joo remaja juga ikut merasa terpukul. Orang-orang sekitar di wilayah Fusung baik orang Korea maupun China juga ikut merasa sedih karena tuan Kim adalah seorang yang dikenal berkepribadian sangat baik, luwes serta dianggap panutan karena semangat perjuangannya dalam menentang penjajahan. Ketika semua orang sedang merasa bersedih di depan jenazah, Sung Joo remaja bersumpah dan semua orang yang hadir disitu merasa kaget. Sumpah Sung Joo adalah “Ayah! Saya tidak akan gagal dalam melawan musuh, saya akan melanjutkan cita-cita perjuangan ayah dan akan terus mengingat pelajaran yang sudah ayah berikan selama ini!”.

Pada pertengahan tahun 1926 Sung Joo meninggalkan sekolah pertama Fusung dan pindah ke sekolah Hwasung di Huantien atas penilaian dan rekomendasi dari seorang sahabat dekat almarhum ayahnya. Sekolah itu berupa bangunan yang tidak terlalu besar dan dikelola oleh beberapa anggota gerakan nasionalist yang bernama “Jungeui-boo” (organisasi keadilan). Sekolah itu mengajarkan tentang politik juga sekaligus tentang pengetahuan militer. Pendidikan tentang nasionalisme merupakan basis dari pengajaran di sekolah itu.

Disekolah yang baru itu Sung Joo masih meraba-raba tentang beberapa materi pelajaran yang diajarkan. Salah satu pelajaran yang diajarkan adalah tentang Negara Uni Sovyet, yaitu negeri Sosialist pertama di dunia. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia membaca buku tentang Sosialisme di rumah sahabat dekat almarhum ayahnya di Huantien. Ketika membaca buku itu walaupun belum terlalu mengerti tentang isinya Sung Joo jadi teringat dengan pelajaran yang baru lalu di terimanya disekolah. Dia meminjam buku itu lalu setiap hari sesudah sekolah dia membaca dan mempelajari dengan sangat teliti. Didalam prosesnya mempelajari Sosialisme mengakibatkan Sung Joo membuang ilusinya tetang metode perjuangan kaum nasionalist. Buku-buku Revolusioner mengajarkan dia tentang analisis kritis dari phenomena social dan alam yang kompleks dan metode berfikir yang berlandaskan ilmu pengetahuan. Dengan mulai mempelajari tentang Sosialisme Sung Joo mulai mendekat dengan organisasi pemuda dan pelajar yang bersimpati dengan gerakan Komunis.

Untuk pertama kalinya dia membentuk organisasi illegal dengan sebutan “T.D” (Hancurkan Kekuatan Imperialis). Ini merupakan langkah awal yang membawa Sung Joo dalam aktivitas Revolusioner.

Dia mendefinisikan sasaran utama dari “T.D” adalah mengalahkan Imperialis Jepang, membebaskan dan memerdekakan Korea serta membangun Korea baru yang Sosialis dan Komunis. Sung Joo berpikir untuk mencapai cita-citanya, dia harus pertama-tama mempelajari dan mendalami Marxisme dan Leninisme untuk meluaskan organisasinya. Tetapi setelah beberapa saat dia tidak puas karena daerah tempat dia berada yaitu distrik Huantien penduduk yang tinggal ternyata jauh dari semangat progresif. Setelah lama menimbang maka Sung Joo memutuskan untuk memindahkan aktifitasnya di kota Kirin.

Sebelum berpindah ke Kirin Sung Joo mengumpulkan beberapa kawan-kawannya di sekolah pertama Fusung dan beberapa kawan mudanya yang lain untuk membentuk organisasi “Sainal (New Day) Children’s Corp”, melalui organisasi ini dia mengajarkan pemikiran-pemikiran baru yang progresif dan Revolusioner kepada kawan-kawan sekitarnya.

Awal tahun 1927 Sung Joo berpindah ke Kirin. Kota Kirin merupakan sebuah kota China kuno yang berada di tepi sungai Sungari. Karena merupakan kota propinsi maka Kirin adalah pusat ekonomi, politik, budaya dan administrasi serta merupakan pusat kegiatan dari kaum Komunis Korea dan pada anggota dari gerakan kaum borjuis nasional di Manchuria. Pada musim semi tahun 1927 Sung Joo memasuki sekolah menengah Yuwen di Kirin. Sekolah menengah Yuwen merupakan merupakan sekolah kaum progresif. Karena banyak guru-guru yang mengajar disana merupakan anggota dari organisasi progresif menyebabkan banyak juga murid-muridnya menjadi progresif.

Sung Joo menemukan banyak buku-buku progresif tersedia pada perpustakaan sekolahnya dan banyak juga diantara kawan-kawannya sering mengunjungi perpustakaan sekolah. Dalam waktu-waktu yang luang dia berusaha mendalami pikiran-pikiran Marxis-Leninist yang terdapat pada buku-buku perpustakaan, selain itu dia juga mulai mengorganisasikan dan memimpin satu grup diskusi kecil didalam lingkungan sekolah. Dalam diskusi-diskusi tersebut Sung Joo selalu menekankan tentang apa itu bahaya imperialisme dan kontradiksi-kontradiksi didalamnya serta juga menjelaskan tentang kekejaman imperialisme jepang dan keharusan bagi setiap kaum muda patriotic Korea untuk melawannya demi membela kehormatan tanah-airnya.

Memahami tentang ajaran Marxis-Leninist tidak hanya dengan teori menurut prinsip dan jalan dia sendiri tetapi Sung Joo juga menjadikannya sebagai senjata dalam praktek perjuangannya. Organisasi pertama yang didirikannya di Kirin adalah “Perkumpulan Remaja Korea”. Sung Joo mengumpulkan para pemuda dan pemudi remaja Korea untuk berhimpun pada organisasinya. Organisasinya bertujuan mendidik dan menumbuhkan kesadaran di kalangan remaja untuk bersikap Anti - Jepang dan secara bertahap mempersenjatai mereka dengan kesadaran kelas. Kepada anggota-anggota termaju didalam organisasi tersebut Sung Joo membentuk kelompok diskusi dan juga sering melakukan bedah buku-buku penting diantaranya adalah: “Biografi Lenin”“Tentang Imperialisme”, dan “Thesis tentang masalah Nasional dan Kolonial”. Setelah membaca buku-buku tersebut sering kali mereka berdiskusi dan berdebat menyesuaikan dengan kondisi objektif Korea pada saat itu. Tema-tema yang dibahas adalah “The Present stage of the Korean Revolution”“The aggressive policy of Japanese imperialism”“How to carry out the Korean Revolution”. Sung Joo mampu menjelaskan dengan gamblang setiap pertanyaan sulit yang diajukan oleh kawan-kawannya dan dia juga mampu untuk memotivasi setiap peserta yang hadir dalam diskusi untuk terjun dalam praktek perjuangan.

Setelah beberapa waktu melakukan diskusi Sung Joo dan kawan-kawan mulai melakukan kontak dengan para petani yang berada didesa dan secara intens mengirimkan beberapa orang anggota perkumpulan untuk belajar mengorganisasikan dan hidup bersama kaum tani di pedesaan. Setiap hari sabtu dan minggu Sung Joo bersama beberapa kawan-kawannya sering mengunjungi dua desa yang dikenal dengan nama desa Chialun dan Hsinantun. Di dua desa itu mereka mulai membentuk organisasi pemuda. Tidak lama kemudian secara “tertutup” Sung Joo dan kawan-kawan membentuk organisasi “Liga Pemuda Anti - Imperialist” yang bertujuan untuk menyebarkan ide-ide perlawanan Anti – Jepang. Anggota-anggota organisasi baru itu tidak hanya berasal dari kalangan pelajar tetapi juga para pemuda perkotaan dan pemuda tani pedesaan. Pengaruh organisasi-organisasi yang dibentuk oleh Sung Joo semakin luas tidak hanya di kota Kirin tetapi juga sudah mulai menyebar di beberapa pedesaan pinggiran kota. Untuk memimpin organisasi-organisasi Massa tersebut Sung Joo dengan beberapa kawan-kawan termajunya membentuk “Liga Pemuda Komunis” sehingga untuk pertama kalinya terbentuk organisasi pemuda Komunis di Kirin. Mereka tetap bergerak dibawah tanah sebab melakukan aktifitas politik terbuka tidak memungkinkan karena pengaruh represif dari panglima perang Manchuria (Panglima perang Jepang yang sedang bersiap menyerbu China).

Pada tahun 1928 Jepang sudah menyelesaikan projek pembangunan rel kereta api dari Kirin – Tunhua lalu berikutnya melanjutkan pembangunannya ke Kirin – Hoiryung, Changchun – Talien. Projek pembangunan kereta api itu merupakan persiapan pasukan Jepang yang sangat penting guna melakukan ekspansi kekuasaan untuk menguasai Manchuria (China). Pada bulan oktober 1928 dibawah pimpinan Sung Joo yang merupakan anggota dari Liga Pemuda Komunis melakukan persiapan aksi untuk menolak pembangunan jalur rel kereta api Kirin – Hoiryung. Dimulailah aksi Massa pemuda yang cukup besar yang di organisasikan oleh “Liga Pemuda Anti – Imperialist” dan “The Korean Ryoogil Students Society”. Tidak hanya itu saja tetapi banyak juga organisasi-organisasi pemuda yang lain juga turut serta. Para pemuda-pemudi pelajar yang berada di kota Kirin tumpah ruah ke jalan memprotes pembangunan jalan kereta api itu. Dalam orasi-orasi dan propagandanya para demonstran menolak tindakan imperialist Jepang untuk melakukan agresi terhadap Manchuria. Teriakan-teriakan dari ribuan demonstran sangat membahana, seperti “Matilah kaum aggressor imperialist jepang!”, “Kami Menolak pembangunan jalur kereta api Kirin - Hoiryung”. 
Aksi demonstrasi itu dilakukah hampir setiap hari sampai dengan bulan November. Untuk menghadapi aksi para demonstran ini panglima perang Manchuria memobilisasi polisi untuk mengendalikan suasana, tetapi para demostran tidak takut melihat datangnya para polisi, karena dianggap gelombang Massa sudah terlalu besar maka tidak ada jalan lain senjata dan bayonet yang berada di tangan polisi mulai meletus untuk membubarkan demostran alhasil 20 orang tewas dan ratusan luka-luka. Karena banyaknya jatuh korban pada hari berikutnya bukannya malah membuat demonstrasi berhenti malah gelombang demonstrasi yang disertai kemarahan semakin besar, tidak hanya terjadi di kota Kirin sekarang malahan aksi protes dan solidaritas makin meluas, dikota-kota China seperti Harbin, Tienchin dan banyak lagi kota yang lainnya para pelajar juga tumpah ruah ke jalan-jalan memprotes tindakan aggressor imperialis Jepang yang kejam itu tetapi lagi-lagi aksi demonstrasi itu dihadapi dengan kekerasan sekitar 150an pelajar luka-luka akibat tindakan represi polisi jepang. Tidak lama kemudian aksi-aksi demonstrasi tersebut berhenti karena kekejaman polisi Jepang, situasi agak sedikit aman untuk menghindari penangkapan maka Sung Joo dan beberapa kawan-kawan terdekatnya sementara pindah ke kota-kota yang cukup jauh seperti Fusung, Antu dan Tunhua. Tetapi organisasi-organisasi yang berada di kota Kirin tetap terus melakukan kordinasi. Di kota-kota yang disinggahi Sung Joo dan kawan-kawannya juga dibentuk organisasi-organisasi Anti – Jepang sehingga sekarang tidak hanya Kirin tetapi juga kota-kota yang jauh sampai menyeberangi garis batas Korea di China juga dibentuk organisasi-organisasi perlawanan yang semua itu dipimpin oleh Liga Pemuda Komunis.

Pada tahun 1929 panglima perang Manchuria yang menjalin kontak dengan penguasa reaksioner Kuomintang di China mulai melakukan tindakan represif menangkapi orang-orang yang dianggap pimpinan organisasi-organisasi pemuda dan pelajar. Untuk pertama kalinya organisasi Liga Pemuda Komunis yang berada di sekolah menengah pertama lima berhasil diketahui oleh intelegent yang mengakibatkan ditangkapnya para pimpinan dan anggota dari organisasi itu, tidak lama kemudian penangkapan mulai diluaskan kepada anggota-anggota lain yang berada di kota Kirin termasuk juga didalamnya Sung Joo yang ikut ditangkap. Tetapi aksi penangkapan itu tidak mempunyai cukup bukti bahwa orang-orang yang berada di sel terutama Sung Joo bersalah atau terlibat dalam aksi-aksi demonstrasi selama ini. Ini adalah untuk kedua kalinya Sung Joo di tahan oleh penguasa, yang pertama sebelumnya ketika dia berada di Fusung tetapi hanya sebentar saja di tahan karena tidak cukup bukti. Walaupun berada di dalam penjara sang ibu sering mengunjungi Sung Joo dari dari situ sering dititipkan surat untuk diserahkan kepada kawan-kawan seperjuangan yang masih berada diluar dan menghimbau untuk terus melanjutkan perjuangan serta meluaskan organisasi ke seantero negeri. Karena tidak punya cukup bukti maka penguasa Jepang membebaskan Sung Joo dan kawan-kawan setelah 8 bulan ditahan pada musim semi tahun 1930.

Walau selama didalam penjara Sung Joo mengalami siksaan secara fisik dan mental itu semua tidak membuatnya menjadi patah semangat malahan dengan mengalami siksaan itu menimbulkan semangat juang yang makin bertambah dan semakin yakin akan kekejaman pasukan Jepang, tidak lama kemudian setelah dibebaskan dari penjara Sung Joo mengucapkan salam perpisahan kepada kawan-kawannya di kota Kirin karena akan pindah menuju Chialun di distrik Chanchun.

Selama ini aktifitas perjuangan Sung Joo berpusat di kota Kirin dan daerah-daerah sekitarnya tapi setelah memutuskan untuk pindah menuju Chialun maka dia merubah focus pengorganisirannya, yang tadinya kepada para pelajar sekarang Sung Joo mulai melakukan pengorganisiran di pedesaan terutama dikalangan petani miskin dan kecil. Usaha pengorganisiran ini berdasarkan prinsip Marxisme-Leninisme dalam rangka melaksanakan cita-cita Revolusi, terutama Revolusi Pembebasan Nasional di negeri jajahan yang mayoritas Rakyatnya merupakan kaum tani. Menurut Sung Joo adalah hal yang mendesak untuk mendidik kaum Buruh dan Tani dengan ide-ide Revolusioner.

Buat kaum imperialist Jepang tanpa perkecualian tetap akan melestarikan relasi ekonomi feudal atau semi-feodal dan menjadikan daerah koloninya sebagai sub-ordinat dari Negara Jepang serta memanfatkan kaum kapitalis komprador dan tuan tanah sebagai pilar pokok untuk menjalankan aturan colonial. Atas alasan tersebut maka Rakyat Korea menderita tindasan dan hisapan dua kali, tidak hanya dari kaum imperialis Jepang yang berasal dari luar negeri tetapi tindasan dan hisapan itu juga berasal dari kekuatan-kekuatan reaksioner dalam negeri. Dan kaum Tani yang merupakan mayoritas penduduk Korea menjadi target utama dari penindasan dan penghisapan.

Setelah tiba di Chialun maka Sung Joo memutuskan untuk tinggal di Kuchiatun (Kutun) sekitar 40 km dari distrik utama Changchun, sebuah kota kecil diperbatasan yang dihuni oleh bangsa Korea dan Kuchiatun ini merupakan pusat dari gerakan Komunis. Yang pertama dilakukannya disana adalah menemui kawan-kawan seperjuangannya yang sudah tiba terlebih dahulu. Setelah beberapa saat tinggal dan sudah mulai mengenal lingkungan sekitar maka Sung Joo bersama kawan-kawannya mendirikan sekolah Jinmyung dengan lama belajar 4 tahun. Khususnya untuk anak-anak Petani kecil dan miskin Sung Joo tidak mengenakan biaya untuk bersekolah. Pada malam hari Sung Joo juga melaksanakan sekolah malam bagi para pemuda-pemudi remaja.

Selain itu dia juga sering memberi penerangan tentang situasi politik dan ekonomi terkini kepada para pemimpin-pemimpin local, memberikan khursus-khursus ajaran Marxist-Leninist kepada para kader maju dari organisasi-organisasi Rakyat setempat dan juga menerbitkan majalah politik yang berjudul “Bolshevik”.

Para guru yang mengajar di sekolah tersebut merupakan anggota dari Liga Pemuda Anti – Imperialis. Selain mengajar tentang ilmu-ilmu umum untuk murid sekolah para guru juga memberikan khursus-khursus bagi para kader di malam hari, materi yang diberikan untuk sekolah kader itu meliputi: Sejarah Korea, Kapital oleh Marx, Materialisme Dialektika, Sejarah Perkembangan Masyarakat dan Sejarah Revolusi Sosialis di Uni Sovyet. Di sekolah itu mereka juga melatih para pemuda dan pemudi untuk menggunakan senjata dan meningkatkan pengetahuan mereka tentang kemiliteran.

Tidak lama setelah menetap disana Sung Joo mendirikan organisasi “The Fellow Peasants Association” yang merupakan organisasi kaum Tani. Walaupun hidup dengan kondisi yang sulit Sung Joo tetap meneruskan aktifitas bawah tanahnya baik siang maupun malam diantara para petani kecil dan miskin serta mencurahkan segala usahanya untuk mempersiapkan perjuangan bersenjata melawan imperialist Jepang. Karena kegigihannya dalam bekerja serta berjuang Sung Joo sangat dihormati oleh kawan-kawannya serta Rakyat setempat. Lama kelamaan secara bertahap diantara kawan-kawan seperjuangan dan Massa Rakyat dia dikenal tidak dengan nama Sung Joo lagi tetapi dikenal dengan nama “Il Sung”, nama tersebut adalah pemberian dari kawan-kawannya pada saat melakukan aktifitas politik di area Wuchiatzu. Il Sung artinya adalah “Satu Bintang” yang kemudian artinya berubah: “menjadi Cahaya Matahari”.

KELAHIRAN PASUKAN GERILYA ANTI JEPANG

Pada bulan November 1931, diselenggarakan pertemuan Mingyuehkuo dan Il Sung juga turut serta dalam pertemuan itu. Pertemuan berlangsung selama 10 hari. Salah satu materi yang dibahas adalah pentingnya memobilisasi Rakyat dalam melakukan perlawanan Anti - Jepang dan ide untuk pembentukan pasukan Gerilya. Setelah pertemuan selesai maka kepemimpinan Liga Pemuda Komunis diserahkan Il Sung kepada kawan seperjuangan yang lain. Setelah mempersiapkan beberapa hal dasar yang harus dipenuhi sebagai syarat untuk pembentukan pasuka Gerilya maka Ill Sung bersama 18 orang kawannya yang terdiri dari Buruh, Petani dan Pemuda, yang juga termasuk didalamnya Cha Kwang Soo yang dikenal bersama-sama dengan Il Sung membentuk Liga Pemuda Komunis, mendirikan dan mendeklarasikan Pasukan Gerilya Anti - Jepang di daerah Antu pada tanggal 25 April 1932. Setelah pendeklarasian tersebut maka selanjutnya di beberapa daerah seperti Wangching, Hunchun, Yenchi dan Holung di Manchuria timur juga telah dibentuk Pasukan Gerilya Anti – Jepang yang penggagasnya adalah kawan-kawan terdekat Il Sung dan dalam waktu yang sama juga di sebelah utara dan selatan Manchuria juga telah dibentuk organisasi yang sama oleh kelompok Komunis Korea. Dengan terbentuknya unit pasukan Gerilya ini maka dimulailah tahapan baru perjuangan Rakyat Korea dalam melawan imperialist Jepang untuk pembebasan nasional dan sosialnya.

Pembentukan Pasukan Gerilya Anti – Jepang sudah berlangsung selama 10 bulan, serangan demi serangan sudah sering dilakukan walaupun masih dalam scala yang kecil dan ratusan korban sudah jatuh di pihak tentara Jepang serta senjata rampasan sudah mulai didapat oleh kaum Gerilya. Karena pertumbuhan yang pesat dari unit kekuatan Gerilya Anti – Jepang menyebabkan pemerintah aggressor Jepang mulai bergegas melakukan persiapan untuk melawan kekuatan Gerilya. Panglima perang Jepang untuk Manchuria mulai membentuk satuan-satuan penjaga kontra Gerilya dan satuan-satuan penghukum bagi siapa saja yang ketahuan membangun kontak dengan pasukan Gerilya. Pada awal tahun 1933 bekerjasama dengan konsulat di Chientao, Gubernur Jendral Jepang di Korea secara paksa membuat desa-desa di Yenchi, Hunchun dan Holung seperti layaknya kamp konsentrasi dan dijaga ketat untuk mengisolasi kaum Gerilya agar tidak bisa bersentuhan dengan Massa Rakyat di pedesaan.   

Selain mengatasi beberapa kesulitan yang ditemui oleh unit pasukan Gerilya Anti – Jepang dalam saat yang bersamaan Il Sung juga harus menyiapkan basis-basis Gerilya. Basis-basis Gerilya itu harus merupakan daerah yang menjadi pusat operasi militer dan politik serta dapat menjadi daerah utama bagi kekuatan Gerilya atau dengan kata lain “daerah bebas”. Dari daerah-daerah bebas itulah yang nantinya menjadi pusat komando bagi Il Sung dan kawan-kawan untuk mengarahkan operasi-operasi militer melawan Jepang. Pada saat itu untuk berkonfrontasi secara langsung dengan pasukan pendudukan Jepang unit Gerilya Anti - Jepang tidak mempunyai daerah belakang dan tidak juga mendapatkan backup dari tentara regular (standing army) sehingga serangan-serangan yang dilakukan sifatnya masih sporadic belum dikordinasikan dengan baik antar unit-unit Gerilya yang berbeda daerah operasinya.

Beberapa syarat menurut IL Sung agar satu daerah dapat menjadi daerah basis bagi pasukan Gerilya: pertama, pada daerah tersebut dukungan Massa kepada pasukan Gerilya dan jalannya Revolusi harus besar serta dukungan ekonomi berjuang juga kokoh; kedua, syarat geografi, daerah tersebut harus merupakan tempat yang sangat baik bagi unit-unit Gerilya untuk bertahan maupun melaksanakan penyerangan dan didaerah tersebut kekuasaan militer dan sipil musuh haruslah lemah; ketiga, tempat tersebut harus dipastikan mudah dan effective untuk menyebarkan ide-ide revolusioner ke seantero negeri dan yang keempat, kekuatan bersenjata dapat dipusatkan pada daerah tersebut walaupun hanya dalam posisi bertahan.

Setelah melakukan penyelidikan pada beberapa area maka ditemukanlah sebuah tempat yang dianggap cukup mendekati ideal bagi pembentukan daerah basis yaitu di pegunungan Baikdoo, tempat tersebut dianggap memenuhi persyaratan karena dilindungi oleh hutan belantara yang sangat lebat dan banyak terdapat lembah-lembah sebagai tempat perlindungan. Tempat tersebut berada diperbatasan Korea – China dan terhubung langsung dengan Manchuria, pada kedua sisi sayapnya terdapat sungai Dooman dan sungai Amrok serta ditengah-tengah pegunungan itu terdapat daerah pertanian yang sangat luas yang bernama Chientao.

Tentara pendudukan Jepang pada saat itu tidak hanya terdapat di kota-kota diseantero semenanjung Korea tetapi mereka juga disebar di seluruh wilayah pedesaaan yang dianggap strategis dan merupakan pintu masuk bagi datangnya para pedagang dari China selain itu mereka juga ditempatkan di pegunungan-pegunungan yang dianggap strategis tetapi yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kota-kota atau desa-desa yang banyak dihuni oleh penduduk.

Penduduk berkebangsaan Korea tinggal di daerah timur Manchuria yang berbatasan langsung dengan Korea tetapi kondisi kehidupan mereka sangat miskin dan pekerjaan yang dilakukan adalah bertani atau menjadi Buruh Tani. Umumnya mereka bekerja di daerah-daerah perbukitan pedalaman yang kekuasaan imperialis Jepang sangat lemah. Karena kekejaman pasukan pendudukan Jepang di perbatasan akhirnya menimbulkan kebencian diatara penduduk karena terkadang pasukan-pasukan Jepang juga melakukan pencurian atau perampokan terhadap hasil pertanian mereka. Oleh karena itu dukungan masyarakat setempat kepada pasukan Gerilya Anti - Jepang yang berada dibawah pimpinan Il Sung sangat besar karena pasukan Gerilya sering melakukan pekerjaan untuk membantu para Petani dikala tidak sedang melakukan operasi militer dan juga mereka membuka sekolah bagi anak-anak kaum Tani sehingga integrasi diantara anggota pasukan Gerilya dengan Rakyat yang berada di pedesaan benar-benar terjadi.

Dengan semakin kokohnya kekuasaan pasukan Gerilya Anti – Jepang di daerah Manchuria timur maka tentara pendudukan Jepang menambah kekuatan pasukannya yang tadinya berjumlah 65.000 pada saat pembentukan pemerintahan “Manchoukuo” tanggal 1 Maret 1932 menjadi 94.100 pada akhir tahun 1932. Pada bulan April tahun 1933 kekuatan besar musuh melakukan serangan kepada pasukan Gerilya Hsiaowangching yang berada di daerah Wangching. Kekuatan pasukan Gerilya didaerah itu dipimpin langsung oleh Il Sung.

Pada pertempuran itu Il Sung menggunakan taktik Gerilya yang berbeda untuk melawan ribuan pasukan pendudukan yang datang menyerang, dibiarkan lah musuh masuk kedaerah utama yang menjadi sasarannya setelah itu dikepung dari berbagai penjuru dan pasukan gerilya bergerak cepat melakukan serangan berpindah dari posisi yang satu ke posisi yang lain dengan gerak melingkar. Walaupun dihujani serangan artileri dan udara oleh musuh selama 3 hari tidak membuat posisi pasukan Gerilya menjadi terdesak sebab disisi yang lain ada ribuan pasukan musuh yang terjebak di tengah-tengah pedesaan yang sudah kosong dan terus dihujani tembakan oleh unit-unit pasukan Gerilya yang menyebar dan bergerak dengan tangkas. Dari atas ketinggian lereng-lereng perbukitan para wanita, pemuda, orang tua yang merupakan penduduk kampung melemparkan batu-batu berukuran besar kearah pasukan Jepang yang sedang terjebak. Kesuksesan dalam melakukan serangan tersebut mengakibatkan kerugian yang besar di pihak musuh karena lebih dari 400 tentara tewas dan ratusan senjata dapat dirampas oleh pasukan Gerilya. Hal ini merupakan kemenangan besar yang dapat dicapai oleh pasukan Gerilya semenjak terbentuknya basis utama Gerilya dan kemenangan itu dapat diraih karena dukungan yang besar dari penduduk desa.

Waktu telah berjalan selama 3.5 tahun kemenangan demi kemenangan baik besar dan kecil dapat diraih oleh pasukan Gerilya dan daerah yang dibebaskan semakin besar di perbatasan China - Korea tetapi ada juga kekalahan-kekalahan yang dialami dalam pertempuran yang disebabkan karena rasa tidak sabar karena ingin lekas menang. Dengan kekuatan bersenjata yang relative belum terlalu besar beberapa unit pasukan Gerilya sudah mencoba untuk menyerang posisi-posisi strategis yang dikuasai oleh tentara pendudukan Jepang padahal kekuatan militer pasukan Jepang ditempat-tempat itu sangat kuat. Kecenderungan ini dinamakan advonturisme kiri karena mengecilkan kekuatan lawan yang sangat kuat. Karena kecerobohan itu beberapa unit pasukan Gerilya mengalami kekalahan dan daerah-daerah yang sudah dikuasai menjadi terlepas kembali di miliki oleh Jepang. Tetapi sikap advonturisme kiri ini tidak berlangsung lama karena oleh Il Sung kembali “diluruskan” dan para kader yang sudah terlanjur basah menempuh jalan itu mau melakukan otokritik terhadap kesalahan jalan yang ditempuhnya dan bersedia mengikuti kembali garis perjuangan yang sudah ditentukan oleh organisasi Gerilya Anti - Jepang. 

Akhir tahun 1936 kaum militeris Jepang sedang sibuk untuk mempersiapkan perang agresi guna menaklukkan China daratan dan Uni Sovyet. Persiapan itu sebetulnya tidak hanya untuk menaklukkan China daratan tetapi target jangka panjangnya adalah untuk menguasai seluruh Asia. Tetapi persiapan besar kaum militeris Jepang itu terganggu oleh kehadiran Tentara Revolusioner Rakyat Korea yang dipimpin oleh Jendral Kim Il Sung (sebelumnya dikenal dengan nama Il Sung) yang memiliki basis utama di pegunungan Baikdoo.  

Kaum imperialist Jepang sangat gugup dan gemetar ketakutan, mereka melancarkan kampanye untuk menghukum siapa saja yang membantu Tentara Rakyat Revolusioner sejak akhir tahun 1936 sampai dengan musim semi 1937, tetapi sekali lagi mereka menemui kegagalan. Unit Tentara Rakyat Revolusioner setelah setelah melakukan banyak serangan-serangan untuk mengganggu pos-pos musuh yang berada di daerah terpencil secara diam-diam memindahkan kamp-nya ke daerah Hsikang di dusun Fusung dan dari sana menyiapkan rencana operasi yang baru.

Perpindahan pasukan induk Tentara Rakyat Revolusioner tidak diketahui oleh musuh yang berada disepanjang perbukitan Changpai karena perpindahan itu dilakukan selama musim salju. Musuh benar-benar kehilangan jejak dari pasukan Gerilya. Untuk melemahkan pendapat umum sering pasukan pendudukan Jepang menyiarkan black propaganda yang mengatakan bahwa “Kim Il Sung telah luka-luka dalam satu pertempuran dan sekarang sedang dalam masa perawatan” atau “satuan unit Tentara Rakyat yang dipimpin oleh Kim Il Sung sudah dimusnahkan”. Satu bulan kemudian pasukan musuh berhasil mengetahui bahwa unit pasukan Tentara Rakyat Revolusioner telah berpindah ke daerah dusun Fusung dan mereka sungguh sangat bingung bagaimana unit pasukan Gerilya itu bisa sampai kesana?

Pada bulan Maret 1937, Jendral Kim Il Sung dan pimpinan-pimpinan Tentara Rakyat Revolusioner melaksanakan konferensi di Hsikang, dusun Fusung (China), konferensi itu membahas tentang strategi untuk membebaskan tanah air Korea. Jendral Kim Il Sung berkata:

“…. Kita harus maju terus menuju tanah air kita, Rakyat yang kita cintai sekarang sedang menderita dibawah tindasan pemerintahan pendudukan Jepang, kita harus harus yakin dengan kemenangan Revolusi kita. Rakyat harus tahu bahwa Tentara Rakyat Revolusioner terdiri dari anak-anak Rakyat baik itu laki-laki dan perempuan dan setiap harinya kekuatan kita semakin bertambah besar. Maju menuju tanah air tercinta bukan berarti menyerang setiap kota-kota besar dan mendudukinya. Masuk ke tanah Korea dan menembakkan beberapa butir peluru akan cukup untuk meningkatkan keberanian Rakyat untuk melawan".

Demonstasi Rakyat di kota-kota harus dilindungi oleh segenap kaum Komunis Korea. Kita harus memimpin setiap langkah dari perjuangan Rakyat.

Secara umum rencana untuk maju menuju tanah air tercinta dimulai dengan long march dari daerah sekitar Bochunbo menuju Moosan dan mengalahkan musuh-musuh di tempat-tempat yang kita lewati”

Perjalanan yang sukar dan berat itu dilakukan pada malam hari untuk menghindari intaian musuh. Pasukan utama unit Gerilya dipimpin oleh Jendral Kim Il Sung dan dari daerah yang lain juga ada pasukan Gerilya yang dipimpin oleh komandan Choi Yung yang juga sedang menuju perbatasan Korea. Akhirnya kedua pasukan induk itu tiba di bukit Konjangduk pada tanggal 4 Juni 1937.

Setelah tiba di perbatasan Korea Jendral Kim Il Sung mengintensifkan operasi militernya untuk menyerang garis belakang pasukan musuh dan dalam waktu yang bersamaan dia juga mengirimkan kader-kader Buruh dalam jumlah yang cukup besar ke kota Hamheung, Heungnam, Wonsan dan kota-kota lain yang merupakan pusat industry dan tempat-tempat produksi mesiu. Tempat-tempat tersebut dipandang strategis jika dilihat dari strategi militer.

Secara khusus unit Tentara Rakyat Revolusioner memang mengirimkan kader-kader terbaiknya untuk bekerja secara intensif di kalangan Buruh dan Petani serta mengagitasi mereka agar tumbuh kesadaran kelas dan semangat untuk menjadi pelopor dalam perjuangan kemerdekaan Korea.

Pemogokan demi pemogokan dilancarkan di kota-kota industry Korea. Pabrik-pabrik banyak berhenti untuk berproduksi. Kaum Buruh tumpah ruah turun ke jalan-jalan untuk memprotes kondisi kerja yang tidak baik, jam kerja yang dianggap terlalu panjang dan upah yang kecil tetapi aksi protes kaum Buruh itu dijawab dengan kekejaman oleh tentara pendudukan Jepang, iring-iringan barisan kaum Buruh di tembaki dan di pentungi oleh polisi dan tentara, jatuh korban yang sangat banyak pada pihak kaum Buruh. Aksi pemogokan dan protes itu dilangsungkan selama berhari-hari karena kekejaman dari tentara Jepang. Tadinya aksi kaum Buruh hanya berkisar pada tuntutan ekonomis tetapi karena kekejaman tentara Jepang maka slogan-slogan politik mulai diteriakkan “Matilah Jepang”“Hidup Rakyat Korea”, “Tolak peperangan imperialist" dan "hiduplah Front Nasional Anti – Jepang!”. Melihat kebangkitan perlawanan kaum Buruh membuat tentara pendudukan Jepang semakin ketakutan oleh karena itu mereka semakin kejam dalam menghadapi aksi-aksi protes kaum Buruh. Aksi-aksi protes kaum Buruh itu berlangsung sejak bulan September 1937 sampai dengan musim dingin tahun 1938.

Tidak hanya kaum Buruh saja yang melakukan protes terhadap kekejaman pasukan imperialist Jepang tetapi kaum tani juga ikut melakukan aksi-aksi perlawanan terhadap kaum imperialis Jepang dan para tuan tanah reaksioner. Tuntutan aksi-aksi berkisar tentang penurunan harga sewa tanah dan hak untuk menggarap tanah. Total lebih dari 10.700 kasus tanah di Korea selama tahun 1937.

Pada tahun 1939 pertempuran demi pertempuran dilalui oleh Tentara Rakyat Revolusioner pimpinan Jendral Kim Il Sung selama long march setelah berada di tanah air. Dimulai dari pertempuran Chiatsaishui pada tanggal 8 April, pertempuran Shihwutaokou pada tanggal 26 April, pertempuran Panchiehkou pada tanggal 3 Mei, pertempuran Tashaho pada bulan Agustus, pertempuran Yaocha pada bulan September, dll. Pertempuran-pertempuran itu dilalui dengan kemenangan sehingga menumbuhkan semangat untuk terus melawan tentara pendudukan Jepang. Pada pihak Jepang sendiri kerugian yang diderita cukup besar, sebagai contoh pada pertempuran Tashaho korban yang tewas, luka-luka dan tertawan lebih dari 500 orang dan pada pertempuran Yaocha 12 truk militer yang membawa amunisi beserta pasukan Jepang yang berjumlah 270 orang berhasil dihancurkan dan amunisi, mortar dan senapan berhasil disita oleh pasukan Gerilya.

Memasuki tahun 1940 situasi dunia berubah dengan cepat. Perang Dunia ke II sudah hampir tiba, Negara-negara fasis yaitu Jerman, Italia dan Jepang sudah membentuk poros/aliansi pertahanan bersama. Pada akhir tahun 1939 Polandia diserbu dan diduduki oleh Jerman. Tidak lama kemudian Jerman yang dipimpin oleh Hitler mulai menyerbu dan menduduki Perancis, Belanda, Belgia dan banyak Negara-negara Eropa lainnya. Italia juga mulai melakukan serangan menuju Afrika. Jepang sudah menduduki China daratan, Semenanjung Korea dan tengah bersiap untuk melakukan agresi menuju Asia Tenggara. Negara-negara kapitalis yang dikomandoi oleh Amerika Serikat dan Inggris tengah bersiap untuk melakukan perlawanan terhadap kebangkitan fasisme serta tidak ketinggalan Uni Sovyet juga sedang mempersiapkan diri menghadapi kebangkitan fasisme di Eropa dan Asia.  

Semua Rakyat menyaksikan kontradiksi yang semakin tajam diantara kekuatan-kekuatan imperialis di dunia untuk menjarah dan memperbesar wilayah jajahannya. Negara-negara semacam Amerika, Inggris, Perancis melawan fasis Jerman, Italia dan Jepang tetapi diatas semua itu kontradiksi diantara kekuataan Negara-negara imperialist dengan Uni Sovyet adalah yang paling tajam.

Situasi internasional yang demikian membawa imbas yang langsung kepada Korea, perlawanan Rakyat Korea terhadap pasukan pendudukan fasis Jepang semakin massif dilakukan. Imperialisme Jepang sedang mencari-cari kesempatan untuk meng-invasi Uni Sovyet. Langkah pertamanya adalah ekspansi secara besar-besaran untuk menguasai daerah Pacific Selatan. Menjadikan Korea dan Manchuria (China) sebagai pangkalan utama strategis sebagai persiapan untuk menyerang Uni Sovyet dari Timur. Tetapi langkah itu akan sulit dilakukan jika tidak melakukan pembasmian terhadap Tentara Rakyat Revolusioner Korea.

Pada tanggal 7 Maret tahun 1941 kekuatan imperialist Jepang mengumumkan “Ordinance for Preventive Detention of Ideological Offenders”, untuk memperkuat undang-undang keamanan nasional. Produksi pada daerah-daerah industry terus digenjot, pabrik-pabrik sudah tampak seperti penjara. Buruh bekerja selama 12 – 15 jam setiap harinya dan untuk produksi pertanian pemerintahan menerapkan “system kuota minimum” yang artinya para petani diharuskan melakukan panen sesuai dengan dengan kuota yang telah ditetapkan oleh pemerintahan pendudukan jika tidak sampai maka seluruh hasil panen akan disita dan Petaninya akan ditangkap. Setiap orang-orang Korea dianggap atau di curigai sebagai criminal. Tentara pendudukan Jepang semakin kalap menindas dan merampas kepunyaan Rakyat karena kekejaman yang dilakukan menimbulkan kebencian yang sangat besar dikalangan Rakyat Korea, secara diam-diam para pemuda dan pemudi yang berada di perkotaan pergi menuju ke perbatasan untuk bergabung dengan pasukan Tentara Rakyat Revolusioner pimpinan Jendral Kim Il Sung.

Didaerah perbatasan para pemuda dan pemudi Korea diberi khursus pelajaran tentang patriotisme (cinta tanah air), filsafat Marxis-Leninist, Ekonomi dan Politik, teori militer modern dan diberi latihan fisik untuk menjadi satuan-satuan Gerilya yang akan berperang di garis depan yang nanti jika sudah tiba waktunya akan memberikan pukulan terakhir pada pasukan pendudukan Jepang.

Kota-kota utama industry untuk kesekian-kalinya terjadi pemogokan Buruh besar-besaran. Seoul, Pyongyang, Chungjin, Heungnam, Pusan dan banyak lagi kota-kota industry diseluruh negeri termasuk juga stasiun pembangkit listrik di sungai Amrok dilakukan pemogokan serta sabotase mulai dilakukan.

Bulan Juli 1942, sebanyak 2000 Buruh pabrik pupuk di Heungnam melakukan pemogokan untuk melawan kaum imperialis Jepang dan dalam saat yang bersamaan para pekerja wanita di pabrik pemintalan Hamheung Katakura melakukan aksi mogok makan. Aksi mereka itu dipicu oleh kesewenang-wenangan Jepang yang terus memaksa mereka untuk bekerja. Tentara pendudukan Jepang menjadi kewalahan dalam menghadapi pemogokan dikedua pabrik itu. Dibeberapa daerah lainnya aksi sabotase telah dilakukan oleh kaum Buruh dibantu oleh kader-kader pasukan Gerilya, diantaranya adalah sabotase untuk meledakkan gudang senjata dan pabrik amunisi. Aksi-aksi sabotase itu mulai meresahkan tentara pendudukan.

Menurut dokumen rahasia polisi imperialist Jepang, para pekerja di pabrik baja Pyongyang telah melakukan kerja rahasia untuk membuat senjata dan berencana untuk bergabung dengan Tentara Rakyat Revolusioner.

Di Jinjoo, propinsi sebelah selatan Kyungsang, para pekerja dan pelajar yang pergi dari Manchuria telah siap juga untuk bergabung dengan pasukan Gerilya Anti - Jepang untuk melakukan perjuangan membebaskan tanah airnya.

Di kota Sungjin, propinsi sebelah utara Hamgyung, para pemuda Revolusioner telah membentuk organisasi rahasia yang dinamakan “Bukit Baikdoo” merujuk pada bukit baikdoo yaitu basis Jendral Kim Il Sung memusatkan perjuangan. Organisasi itu memimpin aksi-aksi protes yang dilakukan oleh para pemuda perkotaan.

Tahun 1943 - 1944 tentara Uni Sovyet melakukan pertempuran yang sangat berat dan menentukan di Stalingrad demi membela tanah airnya dari serangan tentara fasis Jerman. Korban yang jatuh baik dipihak Rakyat, tentara dan milisi Uni Sovyet sangat besar. Jutaan korban jatuh akibat kekejaman tentara fasis Jerman. Kemenangan pada pertempuran itu menjadi penentu jalannya perang dunia ke II di Eropa. Perlawanan heroic yang dilakukan oleh Rakyat Uni Sovyet melawan tentara Jerman berakhir dengan kemenangan di pihak Sovyet Rusia dan sekarang tentara Sovyet Rusia sudah maju menuju Berlin di Jerman. Eropa timur telah dibebaskan dari pendudukan tentara fasis Jerman. Aliansi pasukan sekutu Amerika, Perancis dan Inggris panic melihat derap majunya pasukan Uni Sovyet kearah barat Eropa. Setelah melihat Jerman kalah di front timur dalam menghadapi Uni Sovyet maka pasukan sekutu membuka front baru dibarat, mereka memulai operasi pendaratan di Perancis selatan yang bertujuan untuk “membebaskan” seluruh Eropa. Posisi fasis Jerman menjadi terjepit. Italia sebagai sekutu terdekat Jerman juga kalah dalam peperangan di Afrika melawan sekutu. Pemerintahan fasis Musolinni di Italia jatuh. Hal-hal tersebut adalah tanda dari kejatuhan kaum fasis di Eropa.

Begitu juga yang terjadi di peperangan pacific, pasukan fasis Jepang yang tadinya terus melakukan operasi militer secara offensive mulai terdesak oleh pasukan sekutu pimpinan Amerika Serikat. Tentara fasis Jepang sekarang mulai defensive terus mundur secara pelan-pelan dari berbagai Negara di Asia Tenggara.

Melihat situasi internasional yang sangat menguntungkan bagi perjuangan pembebasan nasional di banyak negeri Asia, maka di Korea khususnya Tentara Rakyat Anti – Jepang mulai sedikit demi sedikit melakukan operasi militer secara offensive. Sabotase-sabotase seperti peledakan jembatan, penggulingan kereta api, perusakan jalan-jalan utama, peledakan pada industry militer Jepang semakin sering dilakukan. Pasukan Jepang mulai kewalahan!

Pada musim semi 1945 tentara Uni Sovyet melancarkan operasi militer terbuka melawan Jerman. Pada tanggal 2 Mei 1945 Berlin berhasil di duduki oleh tentara Uni Sovyet. Tanggal 9 Mei 1945 fasis Jerman menyatakan menyerah kalah kepada Uni Sovyet.

Kekalahan fasis Jerman di Eropa menjadi lonceng kematian bagi fasis Jepang di Asia. Pada tanggal 26 Juli 1945 deklarasi postdam ditandatangani oleh Amerika Serikat, Inggris dan Uni Sovyet. Salah satu keputusan dari deklarasi itu adalah meminta kepada fasis Jepang untuk menyerah tanpa syarat. Jepang menolak proposal itu. Dengan mengandalkan 1 juta pasukan Kwantung yang berada di daerah semenanjung Korea sampai di Manchuria Jepang menetapkan akan terus melanjutkan perang. Karena sikap Jepang yang keras kepala ini mengakibatkan Uni Sovyet yang telah mengalahkan fasis Jerman di Eropa membuka front baru di timur (asia) untuk mengalahkan imperialist Jepang.

Melihat situasi yang berkembang cepat dan menguntungkan ini Jendral Kim Il Sung segera membuat rencana strategis untuk melakukan pertempuran terakhir guna mengalahkan imperialist Jepang. Unit-unit tentara Rakyat Revolusioner secara intensive melakukan latihan-latihan pertempuran modern. Persiapan untuk melakukan pemberontakan di seluruh negeri sedang dilakukan.

Pada tanggal 8 Agustus 1945, Uni Sovyet menyatakan perang kepada fasis Jepang. Jendral Kim Il Sung memberi perintah untuk melakukan operasi militer kepada Tentara Rakyat Revolusioner di seluruh negeri. Di Utara, Timur, Selatan Manchuria dan di seluruh semenanjung Korea diumumkan pemberontakan bersenjata. Seluruh Rakyat baik itu pemuda-pemudi, pelajar, Buruh, Petani, kaum intelektual menyambut himbauan tersebut. Pabrik-pabrik, kebon-kebon, industry-industri strategis, pusat-pusat pemerintahan, gudang-gudang senjata milik kepunyaan Jepang diserang dan disita oleh Rakyat bersenjata. Pasukan induk Tentara Rakyat Revolusioner pimpinan Jendral Kim Il Sung bersama-sama dengan tentara Uni Sovyet mulai bergerak maju dengan jumlah ratusan ribu dan bersenjata lengkap. Operasi militer bersama itu secara bergelombang dari Manchuria Timur menuju Namyang, Hamgyung Utara, Sineuijoo, Changchun dan berakhir di Woonggi dan Chungjin.

Menghadapi gerak maju pasukan yang besar itu pasukan Kwangtung yang merupakan induk dari pasukan Jepang hancur berantakan. Tidak hanya pasukan darat saja yang bergerak maju tetapi lewat laut tentara Uni Sovyet bersama dengan unit-unit pasukan Tentara Revolusioner juga melakukan penyerangan dan berhasil mendarat di Woonggi, Rajin, Susoora dan Chungjin tidak lama kemudian kedua pasukan induk itu bergabung!

Daerah-daerah mulai dari perbatasan China – Korea di Utara sampai kota-kota strategis semacam Hoiryung, Chungjin, Ranam, Hoimoon, Hamheung dan Pyongyang telah dibebaskan oleh Tentara Rakyat Revolusioner yang didukung oleh segenap Rakyat. akhirnya setelah melalui perjuangan yang berat dan menderita di hutan-hutan selama lebih dari 15 tahun pasukan induk Tentara Rakyat Revolusioner pimpinan Jendral Kim Il Sung memasuki kota Pyongyang dan disambut gembira oleh jutaan Rakyat di jalan-jalan. Dengan menyerahnya Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945 kepada pihak Uni Sovyet dan Sekutu berarti perang dunia ke II telah berakhir dan Rakyat Korea akhirnya terbebas dari kegelapan aturan colonial yang sudah berlangsung selama 36 tahun.

Berikut adalah cuplikan pidato kemerdekaan yang dibacakan oleh Jendral Kim Il Sung:

……. Rakyat kita sudah memenangkan pembebasan dan kebebasan setelah mengalami kehidupan yang gelap selama 36 tahun. Tanah air kita yang seluas 3000 ri adalah tanah harapan layaknya cahaya matahari terbit. Waktu telah datang dimana seluruh Rakyat Korea bersatu dan bersama-sama membangun demokrasi baru ditanah air kita ini. Individual maupun partai-partai tidak bisa jalan sendiri-sendiri untuk menuntaskan misi penting ini, dengan kekuatan, dengan pengetahuan dan dengan uang kita sendiri maka kita akan membangun! Kepada seluruh Rakyat yang mencintai negeri ini dan mencintai demokrasi harus bersatu dan melakukan berbagai usaha untuk menjadikan negeri kita mandiri dan berdemokrasi…….”

“Hidup Kemerdekaan Korea!”

AKHIR CERITA

Pada tanggal 10 Oktober 1945, Jendral Kim IL Sung mendirikan Partai Buruh Korea yang berideologi Marxist-Leninist, pendeklarasian Partai itu disambut gembira oleh seluruh Rakyat Korea. Dengan dibawah pimpinan dan bimbingan Partai Buruh Korea berbagai usaha pembangunan mulai dilakukan di seluruh negeri tapi usaha-usaha itu nampaknya tidak berjalan mulus sebab berbagai upaya “sabotase” dilakukan oleh imperialist Amerika. Semenanjung Korea sebetulnya terbagi menjadi dua bagian selama penjajahan Jepang, Korea bagian utara merupakan pusat-pusat industry dan Korea bagian selatan merupakan daerah pertanian. Selama masa pendudukan Jepang dukungan yang sangat besar diberikan oleh kaum Buruh kepada Tentara Rakyat Revolusioner sedangkan daerah selatan yang dikuasai oleh tuan tanah. Para tuan tanah memberikan andil yang sedikit untuk perjuangan kemerdekaan, malahan banyak diantara mereka yang menjadi boneka kepanjangan tangan Jepang tetapi ada juga sekelompok tuan tanah di selatan yang dipimpin oleh Syngman Rhee ikut melawan Jepang disebabkan karena tanahnya dirampas.

Setelah kejatuhan Jepang dan kemerdekaan Korea di deklarasikan oleh Jendral Kim IL Sung upaya untuk menyatukan seluruh Korea dihalang-halangi oleh imperialis Amerika dengan memperkuat kekuasaan rezim tuan tanah pimpinan Syngman Rhee di Selatan sehingga upaya penyatuan itu dapat digagalkan. Sambil terus mengupayakan persatuan untuk seluruh semenanjung Korea proses negosiasi terus dilakukan dengan pihak Selatan yang dibacking oleh imperialist Amerika tetapi secara tiba-tiba pada tanggal 15 Agustus tahun 1948 di kota Seoul di deklarasikan berdirinya Republik Korea oleh Syngman Rhee dan untuk merespon tindakan Syngman Ree yang jelas-jelas melanggar kesepakatan negosiasi, di kota Pyongyang Republik Demokrasi Rakyat Korea (RDRK)  juga dideklarasikan oleh Jendral Kim Il Sung, sejak itu Semenanjung Korea terbagi menjadi dua bagian hingga saat sekarang ini (tahun 2010).
  
DAFTAR PUSTAKA:
  1.  KIM IL SUNG Biography by BAIK BONG - From Birth to Triumphant Return to Homeland - Foreign Language Publishing House, Pyongyang, Korea, 1969
  2. KIM IL SUNG - Short Biography II - Foreign Language Publishing House, Pyongyang, Korea, 1973

Total Tayangan Halaman


counter web

Categories

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

- Copyright © Diaspora -- Powered by Blogger - Designed by Efrial Ruliandi Silalahi -