- Back to Home »
- DIBALIK CERITA »
- PENGALAMAN-PENGALAMAN DI DIGUL* - Kesaksian Pra dan Pasca Pemberontakan Tahun 1926/1927
Posted by : Unknown
Untuk mendapatkan gambaran obyektif tentang pengalaman mereka yang dibuang di Digul, sebagai imbangan terhadap bahan-bahan Buku Lembaga Sejarah PKI (halaman 83-98 dan 125), berikut ini disajikan kepada pembaca keterangan-keterangan dari mereka yang dibuang di Digul yang menjadi pengikut-pengikut Ali Archam dan menolak pendirian HB-PKI Sardjono pendiri SIBAR (Serikat Indonesia Baru) di Australia bersama Van der Plass.
A. Keterangan saudara Ongko D (Abdullah Fakih - Ketua PKI Seksi Surabaya).
Latar Belakang pembuangan Digul:
1. Protes Pemerintah Australia tentang pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh penduduk Irian Barat jajahan Belanda terhadap penduduk Irian Timur jajahan Australia, terjadi tak lama sebelum pembuangan Digul. Protes itu terjadi karena usul dari Myer Ranef sebagai wakil Bond BB. Ambtenaaren dalam Volksraad agar Pemerintah dalam usaha pacificationnya di Irian Barat membuka hutan-hutan untuk perkebunan-perkebunan karet, kopi dan lain-lain tanaman untuk export, Usul Myer Rane ini adalah salah satu keputusan-keputusan pertemuan Resident-Resident diseluruh Indonesia (Hindia Belanda) tak lama sebelum usul itu diajukan dalam volksraad.
2. Tenaga-Tenaga untuk pembukaan hutan dan penanaman karet tersebut diusulkan agar pemerintah menggunakan exhorbitante rechtennya terhadap unsur-unsur komunis dan mengasingkan mereka kesalah satu tempat yang strategis di Irian Barat.
3. Diundangkannya Vergader verbod (Larangan berapat).
4. Penangkapan-penangkapan dan pembersihan massal pemimpin-pemimpin kommunis yang dihubung-hubungkan dengan pemogokan-pemogokan pabrik-pabrik besi di Surabaya dan pabrik gula di Tanggulangin pada akhir tahun 1925. Penangkapan dan pembersihan di Surabaya dipimpin sendiri oleh Myer Ranef.
5. Pembubaran pada Kongres VSTP di Solo bulan Desember 1925.
6. Pertemuan di Prambanan antara 11 orang tokoh-tokoh PKI, yang menurut organisasi tidak representatief mewakili seluruh seksi-seksi PKI, dengan mengambil keputusan mengadakan aksi bersenjata enam bulan sesudah putusan itu diambil.
7. Pengiriman petugas-petugas PKI kedaerah-daerah untuk menyampaikan putusan Prambanan. Diantara seksi-seksi yang dihubungi banyak yang tidak menyetujui disebabkan lemahnya Partai sesudah pembersihan dan penangkapan massal dilakukan, kecuali pada saat itu adalah Hooge Conjuectuur. Diantara seksi-seksi yang tidak dapat menyetujui ialah Surabaya dan Semarang, ialah seksi-seksi yang dipandang penting pada waktu itu.
8. Dari seksi-seksi yang menyetujui mengalir puluhan-ribu rupiah ke Kas seksi Jakarta untuk pembelian senjata, diantaranya terdapat seksi-seksi Ponorogo, Ngawi dan Banten.
9. Jangka waktu enam bulan telah lewat, pemberontakan dan senjata tak kunjung datang. Atas pertanyaan-pertanyaan seksi‑seksi dijawabnya dengan kata-kata yang samar-samar dan tak tertentu. Anggota-anggota yang telah kehilangan harta hasil penjualan rumah, sawah dan ternak (kerbau) untuk pembelian senjata guna berontak merasa tertipu dan menjadi marah dengan mengancam membunuh tiap pemimpin yang bertanggung jawab atas peristiwa itu.
10. Kira-kira 3 (tiga) bulan sebelum 13 Nopember 1926 banjak pemimpin-pemimpin yang tak merasa ikut bertanggung jawab melarikan diri ke Bandung dan lain-lain tempat dengan alasan bahwa rakyat tak dapat dikendalikan lagi dan menyalahkan kawan-kawannya yang banyak menggunakan agitasi saja.
11. Karena adanya ancaman inilah seksi Jakarta kemudian membikin aksi-aksi bersenjata sederhana. Aksi kecil-kecilan ini dinamakan olehnya Credit-Aksi dan hanya digunakan untuk memuaskan dan menentramkan anggota-anggota yang sedang marah karena merasa tertipu. Aksi ini menurut orang yang bersangkutan akan dilakukan oleh Orang-orang juara tukang pukul dari Kampung Karet. Anehnya Hoofd Bestuur PKI yang dipimpin oleh Sardjono sebagai Voorzitter dan Kusno Gunoko sebagai Sekretaris tidak tahu-menahu tentang putusan itu. Pada tiap-tiap anggota yang menanyakan tentang peristiwa itu dianjurkan supaya menganggap tidak ada apa-apa dan supaya kerja terus sebagai biasa.
12. Atas desakan seksi Surabaya agar Hoofdbestuur membereskan persoalan ini dengan seksi Jakarta, Sdr. Kusno Gunoko sebagai Sekretaris kemudian dikirim ke Jakarta. Akan tetapi di Jakarta tak seorang pemimpin seksi suka menemuinya. Dengan tangan hampa kemudian saudara Kusno kembali ke Bandung.
13. Petugas-petugas Comite Revolusi Jakarta dikirim kedaerah untuk memberitahukan penentuan pemberontakan yang akan dimulai pada malam 12-13 Nopember 1926 dengan mandaat yang ditanda-tangani oleh Sukrawinata sebagai Voorzitter dan Herujono sebagai Sekretaris. Mandaat itu dialamatkan kepada pemimpin-pemimpin PKI, perorangan, jadi bukan kepada seksi-seksi.
14. Malam 12-13 Nopamber 1926 pecah pemberontakan mula-mula di Jakarta yang hanya berlangsung satu malam, kemudian disusul oleh Banten (11 hari) Silungkang dan beberapa insiden-insiden kecil-kecilan seperti di Tasikmalaya dan Rantjaengkek.
15. Tepat pada malam 13 Nopember 1926 penangkapan massal dimulai, malam itu juga tempat-tempat tahanan di Hoofdbureau Polisi dan seksi-seksinya penuh dengan kawan-kawan yang ditawan.
16. Kira-kira tiga bulan dalam tahanan baru diajukan pertanyaan-pertanyaan yang isinya hanya mencari-cari alasan untuk dapat men-Digulkan orang.
Kira-kira tiga bulan kemudian, jadi 6 bulan dalam tahanan, disampaikan besluit pembuangan, yang didasarkan atas kepentingan keamanan dan ketertiban di Indonesia. Tempat pembuangan ditujukan Boven Digul, dengan Tanah Merah sebagai Ibukotanya, dan masih merupakan hutan-belukar dan karenanya tidak patut jika disebut "bepaalde plaats" sebagaimana tersebut dalam suatu pasal dalam exorbitanterechten GG.
17. Kemudian ternyata, bahwa orang yang dibuang ke Boven Digul bukan hanya orang-orang yang berhaluan kommunist saja, tetapi juga terdapat orang-orang dari Partai PNI (Sudiro), Permi (Persatuan Muslimin Indonesia), PNI. Kecuali itu terdapat juga orang-orang yang bukan menjadi anggota salah satu Partai, orang-orang itu adalah tukang-tukang copet, pokrol-pokrol bambu, dan orang-orang yang melawan perintah seperti kepala-kepala desa.
18. Tak lama sesudah datang di Tanah Merah, segerombolan orang-orang buangan yang merasa kecewa membentuk satu komite angket yang dikepalai oleh Moh. Sanusi dan Bandung. Maksud Comite itu meminta pertanggungan-jawab Hoofdbestuur atas adanya pembuangan massal, sehingga orang-orang yang tidak tahu-menahu ikut serta dibuang. Menurut keterangan Moh. Sanusi adanya pembuangan massal ini disebabkan karena Hoofdbestuur menandatangani proses-verbal yang memuat pengakuan memerintahkan pemberontakan oleh Sardjono sebagai Voorzitter Hoofdbestuur dan Kusno Gunoko sebagai Sekretarisnya. Keterangan Sanusi ini disampaikan dalam rapat khusus untuk angket itu. Sardjono dan Kusno Gunoko dalam rapat itu mengakui menandatangani proses-verbal itu tapi atas siksaan polisi yang dilakukan atas permintaan Moh. Sanusi. Sebelum terjadi siksaan atas diri Sardjono dan Kusno Gunoko, Moh. Sanusi telah meminta kepada mereka agar mereka mengakui memerintahkan pemberontakan, dengan maksud agar dengan demikian yang dibuang hanya orang-orang pengurus Hoofdbestuur saja. Akan tetapi Sardjono dan Kusno Gunoko berpendapat lain, jika mereka mengakui memerintahkan pemberontakan itu, justru pembuangan umum akan dilakukan. Karena penolakan Sardjono dan Kusno Gunoko untuk mengakui itu, maka Moh. Sanusi menganjurkan kepada polisi agar menyiksa kedua orang itu sampai suka menandatangani proses verbal celaka itu.
19. Dari keterangan-keterangan kedua belah fihak orang lalu mendapat kesan, bahwa Moh. Sanusilah yang salah. Pendapat ini dibuktikan oleh orang-orang yang dalam tahanan Polisi bersama-sama dengan Sardjono dan Kusno. Akibatnya: Moh. Sanusi dipukuli orang ramai-ramai sampai-sampai babak belur.
20. Kemudian untuk menjaga jangan sampai orang-orang buangan terpecah-belah dalam menghadapi politik Pemerintah Belanda, maka dibentuk Centra, Raad Digul yang akan memperhatikan kepentingan-kepentingan orang-orang buangan dan memimpin tiap-tiap aksi terhadap tindakan Pemerintah yang merugikan.
21. Central Raad Digul dapat tantangan dari orang-orang buangan yang dipelopori oleh Gondojuwono. Tujuan mereka ialah agar untuk mengurus kepentingan orang-orang buangan dibentuk sistim pamongpraja dan untuk menjamin kehidupannya selanjutnya dibuka parkebunan sebagai dasar ekonominya jadi sesuai dengan rencana Pemerintah Belanda.
22. Karena aksi-aksinya Gondojuwono cs. yang bertentangan dengan tujuan Central Raad Digul, maka perpecahan tak dapat dihindarkan
23. Tak lama kemudian didirikan dari pihak Gondojuwono PVD (Particuliere Veiligheids Dienst) Dinas Keamanan Partikulir yang kemudian diakui dan disyahkan oleh Pemerintah Belanda di Tanah Merah, dan namanya diganti menjadi ROB, yaitu kependekan dan "Rust en Orde Bowaar der" atau Indonesianya "Penjaga Ketenteraman dan Ketertiban". Tugas ROB pertamatama mengadakan penjagaan dirumah Gondojuwono cs. dan melaporkan sesuatu yang dipandang merintangi maksud Gondojuwono langsung kepada Gezaghebber.
23. Kemudian dipaksakan kepada penduduk orang-orang buangan pemilihan lurah kampungnya masing-masing.
Lurah-lurah kampung yang terpilih buat pertama kalinya :
Kampung A : Gondojuwono
Kampung B : Hamid Sutan
Kampung C : Suhirman
Kampung D : Daris
Kampung E : Suprapto
24. Tak lama sesudah kedudukan lurah-lurah disahkan Pemerintah Belanda, maka mulailah mereka atas nama Pemerintah Belanda menangkapi kawan-kawan yang dipandang lawan penjilatan untuk kemudian diasingkan ke Gudang Arang, satu tempat Batu-bara di Irian, yang sudah ada sebagai tempat pembuangan penganjur-penganjur CRD.
25. Kawan-kawan yang diasingkan ke Gudang - Arang kemudian dipindahkan ke Tanah Tinggi, 30 Km dari Tanah Merah ke udik Kali Digul.
26. Perlu dicatat disini bahwa Bui (rumah penjara) untuk menahan dan pembukaan tempat-tempat pengasingan Gudang Arang dan Tanah Tinggi beserta bangunan-bangunannya semuanya dikerjakan oleh pengikut-pengikut Gondojuwono. Pada tahun 1930 datang Hillen, seorang anggota Raad van Indie meninjau tempat-tempat pembuangan. Yang menjadi perhatiannya pertama-tama ialah: basis politik demoralisasi pemerintah Belanda yang dilakukan ditempat-tempat pembuangan, terutama dilapangan perburuhan dan usaha-usaha orang-orang buangan yang menunjukkan loyalitetnya terhadap pemerintah. Hasil peninjauan Hellen ini ialah dikeluarkannya satu peraturan yang isinya antara lain sebagai berikut:
Tunduk kepada segala perintah.
Menjauhi orang-orang yang tidak mau bekerja.
Melaporkan perbuatan-perbuatan seseorang buangan yang membahayakan pemerintah.
27. Orang-orang buangan yang mamahami syarat-syarat diatas mempunyai pengharapan pulang kedaerahnya masing-masing sesudah besluit pembuangannya dicabut Tetapi sebelum mereka bertolak dari tempat pembuangan mereka diharuskan menanda tangani perjanjian pula yang isinya antara lain sebagai berikut, sesudah pulang mereka :
Tidak boleh memasuki perkumpulan-perkumpulan yang memusuhi pemerintah Hindia Belanda.
Harus siap sedia bekerja di belakang Pemerintah.
Harus melaporkan anasir-anasir yang melawan pemerintah.
Apabila syarat-syarat ini tidak dipenuhi akan ditangkap dan dikembalikan ke Digul.
28. Bagi orang buangan yang minta pindah tempat, misalnya dari pembuangan Tanah-Tinggi kepembuangan Tanah-Merah, atau dari Tanah-Merah ke Banda Neira berlaku juga peraturan diatas. Orang-orang buangan di Tanah-Merah yang tidak mau tunduk pada peraturan itu ada kemungkinan akan diasingkan ke pembuangan Tanah Tinggi sebagai orang-orang "onverzoenlijken" (pantang menyerah) dan dengan demikian tidak mempunyai pengharapan untuk pulang. Untuk melangsungkan hidupnya hanya diberi tiap-tiap bulan sekali makanan mentah atau tunjangan bahan-bahan (in natura) yang nilainya dibawah ransum orang di penjara (Bui).
29. Orang-orang yang telah menunjukkan kesetiaannya kepada Belanda dan manandatangani perjanjian, karena ternyata tidak menepati janjinya, ditangkap dan dibuang untuk kedua kalinya ke Digul, sebagaimana telah dialami oleh tiga orang kawan yaitu:
a. Saudara Sarpinudji dari Semarang.
b. Saudara Sabariman dari Surabaya.
c. Saudara Harun Al Rasjid dari Solo.
30. Dengan adanya peraturan-peraturan diatas maka kubu orang-orang buangan dengan sendirinya terpecah dalam garis besarnya menjadi 3 golongan
1) Golongan Werkwilligen yang patuh pada perintah-perintah dan mempunyai harapan pulan.
2) Golongan yang berusaha sendiri, tidak mendapat tunjangan dari Pemerintah, tetapi patuh pada peraturan- peraturan pemerintah dan ada harapan dipulangkan ketempat asalnya dengan ikatan perjanjian.
3) Golongan Naturalis yang selalu menentang aturan-aturan Pemerintah Belanda dan karenanya tidak mempunyai harapan pulang. Diantara orang-orang yang mendapat tunjangan In Natura atau lazimnya dlisebut Naturalis, yang di Tanah Merah banyak yang berusaha menambah pencahariannya (hidupnya) dengan jualan, atau mengadakan perusahaan-perusahaan.
Dari golongan Werkwilligenpun banyak juga yang berusaha menambah penghasilannya sesudah habis kerja sebagai buruh yang terikat dan patuh pada peraturan-peraturan.
31. Sejak terjadinya perpecahan dikalangan orang-orang buangan golongan sudah tunduk, dan yang tidak/belum mau tunduk, dan juga yang membambung (setengah-setengah), dan golongangolongan ini satu terhadap lainnya tidak mau tahu dan, malah bersikap bermusuhan.
Demikianlah penyaksian saudara Ongko D, disampaikan 14 April 1962 di Jakarta.
B. Keterangan saudara Wiro Samiardjo.
Perpecahan diantara orang buangan:
1. Perpecahan hingga timbulnya pertentangan-pertentangan dengan bersikap bermusuhan kecuali terjadi diantara pihakpihak/golongan-golongan yang sudah tunduk dan yang menentang peraturan dipembuangan Tanah - Merah, juga terjadi diantara mereka yang sama-sama anti - terhadap mereka yang pro-pemberontakan. Bahkan juga terjadi pertentangan diantara mereka sendiri yang sama-sama pro atau sama anti - pemberontakan tersebut.
Juga terjadi pertentangan-pertentangan diantara anggota-anggota HB-PKI sendiri yang masing-masing pihak mempunyai; pengikut. Yang tadinya bermusuhan dan ancam mengancam akhirnya bisa menjadi kawan lagi. Pertentangan yang sangat hebat terjadi antara pihak HB-PKI, terhadap Komite Pemberontak (dengan anggota-anggotanya yang dibuang ke Digul ialah Dachlan, Sukrawinata, Baharudin Saleh, Herujono, Machmud, Soleiman dari Aceh).
2. Pertentangan tersebut kecuali terjadi di Tanah-Merah, juga terjadi di Gudang Arang, dan juga sampai di Tanah Tinggi.
3. Selama terjadinya pertentangan-pertentangan/permusuhan dari sejak tahun 1927 di Tanah - Merah sampai dengan mulai dibukanya pembuangan Tanah Tinggi dan seterusnya tidak terdapat cerita-cerita atau desas - desus mengenai Tan Malaka dengan PARI-nya.
Sedang orang-orang anggota PARI yang dibuang ke Tanah Merah datangnya baru pada tahun 1935. Dan mulai tahun 1931 sudah ada pemulangan orang-orang yang sudah tunduk, diantaranya juga anggota-anggota HB-PKI, (kecuali Gondojuwono, pelopor penjilatnya) diantaranya ialah Suprodjo. Suprodjo yang pernah menjadi Menteri Sosial dalam Kabinet Amir Sjariffudin dalam Pemerintah RI; ketika masih dipembuangan Digul pernah mendapat bacokan dari seorang buangan dari Solo, karena kesombongannya didalam pihaknya Gondojuwono.
4. Pertentangan hebat yang terjadi di Gudang Arang, antara Dachlan dan kawan-kawan kontra Budisutjitro (Sekjen HB PKI) dan kawan-kawan mengakibatkan timbulnya pihak-pihak yang saling curiga-imencurigai di Tanah Tinggi.
5. Di Tanah Tinggi Budisutjitro sudah tidak tahan lebih lama lagi, ia minta turun ke Tanah Merah dan tunduk menyerah ingin dipulangkan ketempat asalnya dengan ikatan perjanjian. Tidak lama setelah di Tanah Merah, Budisutjitro lalu diangkat menjadi lurah di Kampung B, dan seterusnya sampai terkabul hasratnya pulang ke asalnya, setelah sungguh-sungguh dapat membuktikan baktinya kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
6. Setelah Budisutjitro menjilat (menurut istilah di Tanah Tinggi) yang pada sebelumnya tidak ada yang menyangka akan begitu jadinya, maka sejak itulah Ali Archam yang tetap konsekwen (pantang tunduk/menyerah) mulai terkena tekanan jiwa sangat keras, hingga akhirnya menderita sakit TBC sangat berat, dan tak lama kemudian meninggal dunia.
7. Orang-orang buangan di Tanah Tinggi yang tadinya tidak pernah bisa bersatu setelah akan ada aksi menentang perintah memagari kintal (pekarangan) depan rumahnya masing-masing berakibat semuanya mendapat hukuman masing-masing 15 hari di penjara Tanah Merah. Dan sesudah aksi tersebut barulah dapat diadakan pertemuan-pertemuan/rapat-rapat.
8. Untuk bisa bersatu dengan pendirian politik yang tegas melawan politik pemaksaan dan sewenang wenang, maka terbentuklah satu Panitia untuk membuat garis besar (groote lijn) yang di pimpin oleh Sardjono.
Dan setelah groote lijn itu diperbincangkan dalam rapat-rapat groote lijn akhirnya terbentuklah Majelis Permusyawaratan yang dinamai Conventie.
Setelah Ali Archam meninggal, Belalangpun mengaku Elang!
9. Sebelum lahir Panitia groote lijn sampai dengan lahirnya Conventie, ada terbentuk satu Badan Kursus Kader Komunis dengan nama Pedoman Kita (PeKi) yang dipelopori oleh Ngadiman dan Sardjono sebagai guru kursusnya. Disamping itu adanya kursus-kursus tentang teori politik oleh 3 orang buangan pindahan dari Muting yang dipromosikan pernah belajar di Moscow (Woworuntu, Daniel Kamo, Clomen - Wentuk). Sejak Ali Archam meninggal, di Tanah Tinggi, timbullah teori-teori Darwinistis dan Monisme dari Heckel yang tidak Marxistis - Leninis serta teori yang bersemangat reaksioner berjuis dengan semboyan/dalil penyelewengan yang dikursuskan kepada beberapa orang anggota PKI, secara diam-diam, dalam usaha untuk menutupi maksudnya akan turun ke Tanah Merah dan ingin supaya bisa lekas dipulangkan. Dalil-dalil daripada teori-teori tersebut diantaranya ialah "Wet vaa Noodzakelijlcheid" (hukum keadaan memaksa) dan "Het doel heiligt de middelen" (Tujuan Menghalalkan Syarat-syarat) yang maksudnya ialah untuk mencapai tujuan mereka, mereka dihalalkan memakai syarat apa saj a, walaupun dengan menjilat. Oleh karena paham-paham reaksioner borjuis yang diajarkan tadi ketahuan, dan dipandang sangat bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang menjadi pendirian konvensi, maka Sardjono dituntut disidang-sidang tribunal Konvensi. Sebelum sidang-sidang Tribunal tersebut selesai, Sardjono dengan rombongan pengikut-pengikutnya berturut-turut buru-buru lari meninggalkan Tanah Tinggi turun ke Tanah Merah merupakan masa penjilatan. Dan tidak lama kemudian, disusullah pula penjilatan dan pihaknya Woworuntu dan kawan‑kawan. Seterusnya, hingga kemudian jumlahnya orang-orang buangan di Tanah Tinggi yang terakhir hanya tinggal 21 orang sampai tahun pecahnya perang. Orang-orang buangan Tanah Tinggi sejak permulaan tercatat telah mencapai jumlah kirakira 150 orang. Masa penjilatan dari Tanah Tinggi turun ke Tanah Merah itu terjadi pada tahun 1937.
Kerjasama Sardjono dan Vander Plas
10. Begitulah keadaannya dipembuangan Tanah Tinggi Digul. Orang-orang yang tadinya berdiri pada pihaknya Ali Archam dan mencurigai pihaknya Sardjono serta Ali basah Winanta (dan juga saling curiga dengan pihaknya Woworuntu dan kawankawan) pada akhirnya bisa berbalik haluan berdiri pada pihaknya Sardjono serta Winanta dalam semangat berkapitulasi.
11. Setelah Sardjono dengan rombongan pengikutnya berada di Tanah Merah lagi dengan kesepakatan perjanjian tunduk menyerah kepada Pemerintah Kolonial Belanda, maka dengan seketika mereka mendapat tambahan pengikut dari bekas anggota Pengurus Besar PKI Muda tahun 1935 yang diikatakan dipimpin oleh Musso diantaranya ialah Djoko Sudjono, Achmad Sumadi, Harjono Sugono, dan lain-lain. Pada belakangan Djokosudjono dan Achmad Sumadi dan kawan-kawan ini menjadi propagandist Sardjono/Van der Plas. Ketika kotaAmbon sudah diduduki oleh Tentara Fasis Jepang, mereka sangat ketakutan kalau Tentara Fasis Jepang ini sampai menyerang dan menduduki Tanah Merah, sedang kota Merauke pada tahun 1943 juga sudah diserang dengan bom oleh Tentara Jepang. Dan oleh karenanya mereka minta-minta kepada Van der Plas supaya diungsikan ke Australia.
Sebelum permohonan mereka untuk diungsikan ke Australia dikabulkan Van der Plass beberapa kali datang kepembuangan Tanah Merah untuk menerima mereka menghadap kepadanya dan juga untuk mengetahui bagaimana pendirian orang-orang buangan lainnya yang di Tanah Merah, seperti orang-orang buangan bekas anggota Pengurus Besar PNI Mohammad Hatta-Sutan Sjahrir yang juga sudah pernah di buang di Tanah Merah selama kira-kira satu tahun.
12. Sebelum orang-orang buangan di Tanah Merah dan Tanah Tinggi diberangkatkan mengungsi ke Australia, Djokosudjono dan Musirin pernah datang ke Tanah Tinggi menjumpai Kadirun, Ongko D dan saya (Wiro S. Miardjo) mempropagandakan bagaimana tentang kebaikan Van der Plas yang akan mengabulkan permohonan mereka dan telah memuji-muji Sardjono, sebagai pemimpin kamunis yang baik dan jujur; Sardjono dan pengikut-pengikutnya akan diajak bekerja sama dengan Pemerintah Kolonial Belanda, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi bila fasisme Jepang sudah terusir dari Indonesia.
Van der Plas dan Sardjono mendirikan SIBAR (Serikat Indonesia Baru)
13. Pada bulan Juni 1943 orang-orang buangan dari Tanah Merah dan 'Tanah Tinggi sudah diungsikan ke Australia. Hanya beberapa orang saja yang masih ditinggalkan di Tanah Merah. Orang-orang dari Tanah Merah setelah tinggal di Kamp tawanan perang di Australia selama 4 bulan, lalu dikeluarkan, dari Kamp itu (di Cowra Sydney) dan terus disebar ke kota-kota Sydney, Melborn, Brisbane, Helidon, Toowoomba, Casino dan Mackey dibawah kekuasaan wakil imperialis Belanda di Australia (Van der Plas dan Van Osten).
Tetapi ada satu orang bekas anggota PB. PNI-nya Hatta - Sjahrir yang baru 4 (empat) hari di Kamp tawanan perang sudah dikeluarkan, ialah saudara Burhanudin dan terus diangkat menjadi Kapten Titular sebagai Perwira Penghubung serta ditunjuk untuk mewakili imperialis Belanda di UNO di San Fransisco dalam bagian Sub. Komite Trusteeship.
Mereka yang dari Tanah Merah itu sebagian terbesar dipekerjakan oleh Van der Plas di pelbagai lapangan dalam kementerian-kementerian pemerintah imperialis Belanda di Australia sebagian besar diberi pangkat semacam Heiho dalam Tentara Nica.
14. Tidak lama kemudian, Sardjono juga diangkat menjadi perwira tituler - (kolonel) dan oleh Van der Plas disuruh membentuk Serikat Indonesia Baru (SIBAR) yang bertujuan Indonesia Merdeka dibawah Mahkota kerajaan Belanda, serta diperlengkapi dengan surat kabar "Penyuluh" sebagai terompet alat propagandanya, surat kabarnya imperialis Belanda di Australia.
SIBAR diperkuat oknum PNI (Hatta), PNI (Soekarno) dan PKI (Musso)
Dalam waktu pembentukan SIBAR itu Sardjono diangkat menjadi ketua. Dan yang diangkat menjadi Sekjennya ialah J. Pudjosubroto bekas misi-agama dipulau jajahan Prancis: New Caledonia dan pernah menjelek - jelekkan Bung Karno disurat kabar "Penyuluh" tersebut ketika fasisme Jepang masih berkuasa di Indonesia.
Sedang yang menjadi propangandis-propangandisnya kecuali pengikut-pengikutnya Sardjono termasuk yang dari PKI Muda Muso (Harjono, Djokosudjono, Achmad Sumadi, dan kawan‑kawan) juga orang-orang buangan di Digul dari partai-partai lainnya kaki-tangan Van der Plas, diantaranya juga dari PNI (Hatta) Maskun, Murat, Murwoto, Suka dan Burhanudin. Maskun bekas Sekretaris PNI (Sukarno) ketika di Australia sebagai alatnya Van der Plas yang sangat patuh juga, pernah berteriak-berteriak menjelek-jelekan, Bung Karno. Dalain meresmikan terbentuknya SIBAR tersebut ada dihadiri pembesar-pembesar wakil imperialis Belanda di Australia, antara lain ialah Mr. Lukman Djajadiningrat Menteri pengajaran pemerintah Belanda didalam pelarian, dan juga bekas Wedana dipembuangan Digul: R. Moh. Singer Raksamihardja.
PARKI dan KIM kontra SIBAR
15. SIBAR mendapat tentangan keras dari PARKI (Partai Kebangsaan Indonesia) yang dipelopori oleh Alexander Jacob Patty dan kawan-kawan yang tinggal di Mackey. Dasar/azas dan tujuan PARKI adalah sama dengan dasar dan tujuan Revolusi Rakyat Indonesia Agustus 1945. Aktivita revolusioner dan PARKI tersebut sangat hebat dan luas di Australia sehingga propaganda SIBAR tidak mendapat pasaran untuk mempengaruhi orang-orang buruh perkapalan bangsa Indonesia yang ada di Australia selama perang Dunia ke II beluni berakhir. Tetapi pada ketika PARKI minta nasehat/sumbangan moril kepada pemimpin Perhimpunan Indonesia PI) dinegeri Belanda yang juga merangkap menjadi anggota Partai Komunis negeri Belanda (CPN) yang dipelopori oleh Paul de Groot (hingga tahun 1962 sekarang ini) alangkah kecewanya pimpinan PARKI tersebut, mendapat jawaban dan memberikan anjuran menyesuaikan diri dengan pendirian yang dasar dan tujuannja sama dengan azas dan tujuan SIBAR.
Apa anjurannya? ialah : "Jangan mengharap mencapai Indonesia Merdeka, tanpa bantuan Belanda" . "Indonesia, hanya bisa Merdeka dalam ikatan kerajaan Belanda". Siapakah pemimpin- PI itu ? Dia adalah salah satu dari "lima serangkai" kaum intelek bangsa Indonesia dinegeri Belanda, yang setelah kembali ke Indonesia ikut menyelewengkan dasar dan tujuan Revolusi Agustus 1945.
16. Diantara golongan SIBAR ada terdapat seorang buangan Digul berasal dari Yogyakarta mendapat kepercayaan dari Van der Plas diangkat menjadi direktur perusahaan batik kepunyaan Belanda di Mackey.
17. Setelah fasisme Jepang menyerah-kalah dalam Perang Dunia ke II dan Kemerdekaan Indonesia di proklamirkan pada 17 Agustus 1945, golongan anti SIBAR di Australia mendirikan Komite Indonesia Merdeka (KIM) yang pada permulaannya sangat ditentang oleh golongan pengikut SIBAR. Tetapi tidak lama kemudian KIM tadi lalu diakuinya seolah-olah KIM atas inisiatip dari golongan SIBAR tersebut.
18. Setelah orang-orang buangan Digul yang dievakuasi (diungsikan), ke Australia dipulangkan ke Indonesia sesudah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, maka bekas Digulis-digulis golongan SIBAR tersebut sama-sama masuk menjadi anggota PKI Sarjono-Alimin yang diikuti pula oleh seorang dari Nefis yang bernama Abdulrachman, bekas perwira laut dari kapal Belanda. Dan Abdulrachman ini didalam PKI Sardjono pernah diangkat menjadi Guru di "Marxhouse".
SIBAR bergabung ke kelompok Sjahrir
Sebelum orang-orang golongan SIBAR tersebut dipulangkan ke Indonesia, pada ketika Sutan Sjahrir masih menjadi Ketua BPKNIP pada Kabinet Presidentil RI, diantara golongan SIBAR yang mengikuti keinginan wakil imperialis Belanda di Australia dan kawan-kawan pernah memuji-muji kebijaksanaan Sutan Sjahrir didalam, surat kabar "Penyuluh" tersebut diatas, serta memberikan anjuran, bahwa sudah sepantasnya kalau Sutan Sjahrir bisa menjadi Perdana Menteri dalam Pemerintah RI. Hal ini terjadi tidak lain hanya untuk mengikuti keinginan imperialis Belanda dan kawan-kawan dalam usahanya untuk memisah-misahkan Pimpinan Pemerintah RI, dan untuk membelokkan jiwa Demokrasi Revolusi/Proklamasi 17 Agustus 1945 kearah Demokrasi Liberal (Demokrasi Parlementer Bordjuis dengan perwakilan dan Partai-partai politik).
Tidak mengherankan kalau PKI Sardjono - Alimin dan organisasi-organisasi massa pendukungnya bergabung dengan Partai-partai sosialisnya St. Sjahrir danAmir Sjarifuddin beserta "lima-serangkai" yang dari negeri Belanda didalam golongan yang menamakan diri "Sayap Kiri” . Mereka semuanya menyetujui lahirnya Maklumat Wakil Presiden No. X bulan Oktober 1945 serta Manifesto Politik Pemerintah RI tanggal 1 Nopember 1945 dan Maklumat 3 Nopember 1945 yang ditanda-tangani oleh Wakil Presiden RI Moh. Hatta. Dan selanjutnya mereka semua berhasil melaksanakan tugas-tugasnya dari imperialis Belanda dan kawan-kawan dalam usahanya menyelewengkan jiwa (azas dan tujuan) Revolusi/ Proklamasi 17 Agustus 1945 untuk tetap dibawah kekuasaan modal monopoli asing (Belanda dan Konco-konconya). Sehingga mereka dapat menerima Naskah-naskah Perjanjian Linggarjati. di dalam Kabinet Sutan Sjahrir dan perjanjian Renville dalam Kabinet Amir Sjarifuddin.
Dalam Kabinet Amir Sjarifuddin, Abdulrachman dari Nefis tersebut oleh PM Amir Sjarifuddin yang merangkap menjadi Menteri Pertahanan diangkat menjadi kepala Jawatan Lima.
Demikian kesaksian dan penjelasan saudara Wiro S. lihardjo 14 April 1962 di Jakarta.
C. Keterangan Saudara Nurut (Wakil Ketua PKI Seksi Makassar).
Pemberontakan, 1926
Oleh karena sekarang sudah diterbitkan menjadi buku tentang Pemberontakan 1926, yang katanya merupakan dokumentasi dari Partai Komunis Indonesia, artinya merupakan "sejarah" dalam arti sempitnya, maka penulis, salah seorang bekas pemimpin Seksi PKI, disuatu daerah yang turut ditangkap dan dibuang selama lebih kurang 20 tahun, maka sedikitnya mempunyai bahan atau kesaksian buat dapat menyempurnakan "sejarah" Pemberontakan tahun 1926 itu.
Saya tahu benar, bahwa PKI, dari mulai berdiri sampai tersapunya baru 4 kali mengadakan Kongres, yaitu yang pertama mulai berdirinya dalam tahun 1920, yang dipimpin antara lain oleh saudara A. Baars dan Semaun di Semarang Kongres yang kedua juga di Semarang dalam; tahun 1921 dipimpin antara lain oleh sdr. Tan Malaka dan Bersgma, waktu itu saudara A. Baars sudah diusir dari Hindia Belanda oleh penjajah, sedang saudara Semaun berada di Rusia. Kongres yang ke 3 tahun 1922 di Bandung yang dipimpin oleh saudara
Semaun sendiri, karena pemimpin-pemimpin lain termasuk saudaraTan Malaka sudah diusir keluar negeri oleh penjajah. Tahun 1923 tidak ada kongres, karena waktu itu pecahnya pemogokan VSTP, sedang saudara Semaun diusir keluar negeri (externeerd) dan pemimpin lainnya, banyak yang ditahan dipenjara, karena dituduh menghasut pemogokan VSTP tersebut. Kongres yang ke 4 pada tahun 1924 di Jakarta yang dipimpin antara lain saudara Darsono, yang sudah beberapa tahun berada di Eropah, sehabis menjalankan hukumannya selama 2 tahun karena karangannya yang terdapat dalam surat kabar harian "Suara Rakyat".
Kawan-kawan Komunis dari pihak Belanda sampai pada tahun 1924 sudah amat banyak yang diusir dari Indonesia. Kongres PKI tahun 1924, meskipun baru yang ke 4 kalinya, tetapi nampaknya sudah sampai dipuncaknya, artinya sudah sangat tinggi derajatnya, sebagai suatu Partai yang sungguh Revolusioner dan juga boleh dikatakan sudah dapat simpati dari massa yang luas, disamping sudah menguasai segala rupa massa organisasi, bukan hanya organisasi buruh saja, bahkan sampai pada organisasi pedagang-pedagang kecil dipasarpasar dan disegala pelosok seluruhnya telah dipimpin oleh kader-kader PKI.
Putusan Prambanan bertentangan dengan Kongres Partai.
Kalau pembentukan PKI tahun 1920 itu kita ambil sebagai permulaan adanya suatu gerakan rakyat Indonesia yang sungguh-sungguh revolusioner yang menuju suatu masyarakat sosialis, maka sungguhlah" mentakjubkan siapapun, kalau PKI, yang baru berdiri 6 tahun, sudah mempunyai program, yang sudah diperhitungkan masak-masak secara kesadaran revolusioner melakukan pemberontakan tahun 1926 itu. PKI pada waktu itu menjadi anggota Komintern, yang berpusat di Moskow, yang diwakili oleh saudaraSemaun di Moskow, dan saudara Tan Malaka di Timur-Jauh, yang mana kedua saudara itu adalah pemimpin-pemimpin PKI dan menjadi korban pembuangan dari gerakan PKI itu, yang mempunyai hak yang sepenuhnya memberikan pertimbangan atas akan diadakannya pemberontakan PKI, tahun 1926 itu. Apakah benar pada waktu itu PKI sebagai satu Partai Revolusioner sudah siap dengan segala sesuatunya buat melakukan suatu pemberontakan, yang sudah diperhitungkan dengan sempurna. Menurut pengetahuan saya salah seorang yang berada dalam pimpinan suatu sectie (Cabang) PKI sampai pada Kongres yang penghabisan, yaitu Kongres yang ke IV di Jakarta tahun 1924 belumlah pernah mengetahui PKI menyusun progam pemberontakan Kader-kader PKI menuntun massa-organisasi secara legal, malah sering menuntun pemogokan, meskipun ada diantaranya yang tertangkap dan dituntut dimuka Pengadilan, bahkan ada yang kena hukuman, tetapi tidak pernah mengadakan atau menyusun program pemberontakan bersenjata, semacam kejadian bulan Nopember 1926 itu.
Pengangkatan Sarjono jadi Ketua PKI.
Sebagai sudah diterangkan diatas Kongres PKI hanya sampai yang ke IV di Jakarta dalam pertengahan tahun 1924. Yang terjadi di Yogyakarta (dikota Gede) dalam bulan Desember 1924 itu bukan Kongres, melainkan Konferensi, yang tidak lengkap dihadiri oleh seluruh Cabang (Seksi). Saya sendiripun tidak hadir dalam Konferensi itu, tetapi secara resmi kami menerima verslaagnya. Dalam Konferensi itu terutama dibahas penghapusan atau membubarkan Serikat-Rakyat, sebagai onderbouw PKI, bukan karena alasan hendak mengadakan pemberontakan, melainkan karena dianggap menghalangi orang langsung memasuki PKI, mengangkat saudara Sardjono menjadi Ketua Hoofdbestuur, karena dalam Kongres ke IV bulan Juni di Jakarta, belum dipilih Ketua, baru Wakil Ketua saudara Winanta, sedang Sardjono baru saja masuk PKI. Tadinya dia jadi Guru Sekolah SI (Serikat Islam). di Parung-kuda, karena sesuatu sebab dihukum dan baru saja keluar dari penjara yang sama-sekali tidak berhubungan dengan pemberontakan bersenjata. Setelah Konferensi ini ialah sejak mulai tahun 1925, gerakan diutamakan membentuk dan memimpin vakbond, sehingga timbul segala macam Serikat Sekerja, yang berkembang biak disegala pelosok, hanya yang ketinggalan Serekat-Tani (inilah kekurangan yang menyolok sekali, karena kita hidup dalam suatu daerah (negeri) pertanian, dimana kaum Tani yang melarat merupakan penduduk yang terbanyak ditanah air kita ini), dan Serekat-Rakyat dapat menampung mereka itu, hanya saja tentu belum memuaskan Aktivita Partai selama tahun itu boleh di katakan sepi sekali, segala perhatian dan tenaga dicurahkan pada Serekat-serekat Sekerja, sehingga pada tahun 1925 inilah amat banyak sekali dilakukan pemogokan dimana pemimpin-pemimpin perusahaan-perusahaan amat sibuk sekali menghadapi aksi buruh-buruhnya yang sedang tersusun dalam organisasi yang terpusat. Meskipun Serekat Buruh yang rupa-rupa itu dan sentralnya yang rupa-rupa pula belum bisa dipusatkan jadi sate, tetapi semua itu boleh dibilang dipimpin oleh kader-kader PKI yang menjadi pusat seluruh vakbond-vakbond itu. Oleh sebab itu Pemerintah Jadjahan perhatiannya dan reaksinya terutama ditujukan pada PKI seolah-olah dengan menghancurkan PKI itu bisa dihancurkan segala vakbond-vakbond itu atau sekurang-kurangnya bisa dibelokkan haluannya atau caranya bergerak menurut yang dikehendaki oleh Kapitalis Monopoli yang memperalat Pemerintah Jajahan Hindia Belanda ini.
Konferensi diatas Candi Prambanan.
Di Prambanan, yang kabarnya hanya dihadiri oleh sementara orang, sedang Cabang (Seksi) amat banyak sekali yang tidak bisa turut, termasuk kami (Cabang Makassar), bukan karena tidak ada panggilan, melainkan sulitnya waktu itu kawan-kawan berpergian keluar, karena amat sempitnya peraturan-peraturan dan penjagaan-penjagaan termasuk mendapatkan paspoor, karena kami berada diluar Jawa apa yang dirembuk dan hasilnya itu tiadalah kami ketahui, karena kami tidak menerima verslagnya secara resmi, maupun secara tidak resmi (dibelakang hari dalam bulan Oktober 1926, beberapa hari lagi akan terjadi pemberontakan 12 Nopember 1926, baru kami mengerti Konperensi Prambanan itu memutuskan mengadakan Pemberontakan).
Utusan Partai – Budisutjitro.
Dengan tiada disangka-sangka dalam pertengahan bulan Mei muncullah ditempat kami salah seorang staf dari Hoofd Bestuur, yaitu saudara Budisutjitro, dengan segala daya-upaya dapat tersingkir dari mata resercheur-resercheur; kami pada suatu tempat tersembunyi membikin pertemuan. Saya sendiri (penulis ini) kenal pribadi dengan beliau. Ia tunjukkan paspoornya memakai nama samaran, seorang pedagang: Dalam partemuan yang hanya tidak seberapa lama, beliau tidak pernah menerangkan segala sesuatu mengenai Konperensi diatas Candi Prambanan, apalagi putusan mengadakan pemberontakan sekali-kali tidak disebut-sebut olehnya. la menerangkan sudah lama (± bulan Januari 1926) berangkat secara selundupan dari Jakarta dan mendapat mandaat dari HB buat keluar Negeri, tetapi dari Singapura ia perlukan keliling sampai ke Makassar ini dan ia akan terus ke Surabaya. Setelah saja jelaskan segala kejadian selama beberapa bulan ini dan keadaan cabang kami, beliau hanya memberi tahu, bahwa otomatis PKI tidak bisa berjalan lagi, dan boleh dikata bubar.
Ia nasehatkan, supaya kita berhati-hati, ingat akan adanya propokasi; beliau menambahkan mungkin bakal ada kejadiankejadian yang tidak disangka-sangka, oleh sebab itu jagalah diri. Oleh karena waktu itu kami tidak tahu sama sekali, bahwa di Prambanan itu sudah diputuskan membikin pemberontakan, sedikitpun kabar-kabar angin tidak ada sama sekali, maka kami tidak menanyakan hal itu pada beliau, malam itu juga kami berpisah dan besoknya ia sebagai orang dagang berangkat ke Surabaya.
Dalam bulan Mei itu juga beberapa hari sesudah perpisahan dengan saudara Budisutjitro kami menerima pamflet dari HB berkepala "Communique" berturut-turut 2 kali. Isinya terutama menerangkan perlakuan reaksi, yang hebat terhadap kita, sehingga perhubungan HB. dengan Cabang-cabangnya terputus, di nasehatkan masing-masing melakukan pimpinan sebaik-baiknya dengan diperingatkan supaya berhati-hati terhadap propokasi. Sejak itu tak adalah hubungan apa-apa lagi dengan Pusat. Hanya kawan-kawan kami di Makassar masih tetap memimpin Vakbond-Vakbond, tetapi tidak dapat lagi mengadakan rapat-rapat, karena adanya larangan Pemerintah Hindia Belanda.
Utusan Kedua – Mahmud.
Pada pertengahan bulan Oktober 1926, saya diminta oleh saudara Makki ketua PKI Cabang Makassar (saya wakil Ketua) untuk menemui salah seorang utusan dari Jakarta, yang datangnya secara sembunyi, tetapi karena saudara Makki belum kenal dengan orang itu dan kurang bisa menangkap bicaranya, itulah sebabnya saya yang disuruh meladeni.
Saya temui ia pada suatu tempat yang sudah disediakan (aman).
Saya sendiri juga belum kenal pribadinya, ia bernama Mahmud. Ia membawa mandaat dari "Uitvoorcnde Comite", yang ditanda - tangani oleh Sukrawinanta, sebagai ketuanya, dengan memakai setempel seksi PKI Jakarta (saya tahu saudara Sukrawinanta ini adalah ketua seksi PKI Jakarta). Ia menerangkan Comite ini adalah Comite buat mengatur pemberontakan sesuai putusan konperensi Prambanan 1925. Meskipun saja terkejut mendengar putusan Prambanan ini, karena anggota HB (Budisutjitro) yang datang bulan Mei yang lalu tidak pernah menerangkan putusan Prambanan itu, tetapi secara tidak berkesan saya majukan rupa-rupa pertanyaan, dan mendapat jawaban sebagai berikut:
1. Pemberontakan akan dilakukan pada 18 Juni 1926 tetapi karena suasana begitu rupa pemberontakan itu tidak jadi, Hoofdbestuur sudah pada bersembunyi. Jadi dibentuk Comite ini, terdiri dari 5 orang dan sudah diputuskan pemberontakan akan dilakukan 12 Nopember. Semula ditetapkan 7 Nopember, dirubah karena terlalu sama dengan di Rusia.
2. Comite ini putusannya sudah disetujui oleh HB.
3. Persiapan sudah lengkap Tentara Belanda sudah 60% dipihak kita.
4. Putusan ini tidak bisa dirubah lagi.
Dia harap supaya disini (maksudnya di Makassar) turut berontak.
Dengan jawaban seperti itu dan mengingat pesan saudara Budisutjitro dan peringatan "Communique" tentang provokasi, maka saya menerangkan padanya, bahwa kami disini belum pernah diperintah atau tahu putusan Prambanan untuk mengadakan perlawaan dengan senjata. Cabang kami disini baru berdiri tahun 1923 dan pengaruh dan anggotanya hanya baru meliputi kota saja, menurut pandangan kami disini pemberontakan yang saudara-saudara rencanakan itu tidak, atau belum pada tempatnya, apalagi pemberontakan oleh PKI, sedang organisasinya baru mengalami kucar-kacir, sedang musuhnya dalam keadaan segar-bugar.
Dengan jawaban saya, maka terjadi sedikit perdebatan antara kami berdua, yang akhirnya tiada mendapat persesuaian paham, tetapi is terus - terang mengakui, bahwa Comite ini tidak memaksa cabang disini turut memberontak, hanya sebagai kawan memberi tahukan bahwa di Jakarta akan dilakukan pemberontakan bersenjata pada tanggal 12 Nopember 1926.
Saya sendiri masih belum puas atas keterangan saudara Mahmud ini, malah ragu-ragu akan kebenaran keterangannya itu.
Oleh karena waktu itu kita masing-masing pengurus PKI, dintai terus, oleh reserscheur-reserscheur saban hari, siang dan malam, maka amat sulitlah kita di Makassar ini buat menemui HBPKI, yang sudah tidak diketahui lagi alamatnya, untuk mendapat keterangan yang sebenarnya, sedang waktu hanya tinggal beberapa hari lagi sebelum 12 November.
Mendengar Berita Pemberontakan di Jakarta.
Pagi tanggal 13 November 1926 barulah ada di surat-surat kabar berita terjadinya pemberontakan semalam (12/13 -26) di Jakarta, tetapi secara kabar kecil seolah-olah kejadian yang tak berarti, sehingga dalam sekejap mata saja pemberontakan itu yang disebut relleces sudah Beres dan 13 November itu sudah tidak apa-apa lagi.
Dalam keadaan kami seperti itu, yang memang dari semula belum mempunyai persiapan apa-apa buat pemberontakan itu, sebagai sudah diuraikan diatas; maka tak dapat berbuat apapun, sampai disaat kami ditangkapi pada tanggal 21 November 1926 tengah malam dirumah masing-masing, yang memang sudah sejak lama terjaga rapi oleh kaki-tangan pemerintah Hindia Belanda sejak itu berturut-turut kawan-kawan di Makassar ditangkapi, sehingga pada akhirnya berjumlah 25 orang ditahan dirumah penjara.
Pemeriksaan - pemeriksaan pendahuluan terhadap 25 orang kawan yang ditahan itu ialah:
Turutkah berontak?
Tahukah adanya pemberontakan itu?
Setujukah dengan pemberontakan itu? Dan lain-lain sekitar pemberontakan itu, juga tentu sekali semua jawabannya negatip. Tidak lama kemudian yaitu pada bulan Januari tahun 1927 sebagian besar dari 25 orang ini dikeluarkan dari penjara, hanya 7 orang saja, (pengurus-pengurus Seksi PKI) yang dikenakan interneering ke Boven Digul.
Menerima Besluit Pembuangan.
Pada tanggal 21 Agustus 1927, bersama - sama dengan kurang lebih 70 orang kawan-kawan buangan dari Jawa dan lain‑lain tempat, yang singgah semalam dipenjara Makassar, karena berganti kapal, maka kami 7 orang yang sudah diberi besluit pembuangan sama-sama berangkat dengan kapal ke Ambon, disini berganti kapal lagi untuk terus ke Boven Digul. Dipenjara Ambon sudah ada lagi menunggu beberapa kawan pembuangan dari Ternate, buat berangkat bersama-sama ke tanah pembuangan. Dipenjara Ambon ini ± 42 hari kami menunggu kapal, yang akan membawa ke Boven Digul. Selama di Ambon ini banyak kami mendapat kabar tentang keadaan kawan-kawan di B oven Digul, yang sudah beberapa bulan berada di Tanah pembuangan itu satu diantara kabar-kabar itu yang kami anggap amat penting bagi kami, ialah timbulnya perselisihan besar diantara sama-sama orang buangan disana.
Kami berembuk bagaimana nanti sikap kita sempai di Boven Digul terhadap perpecahan kawan-kawan disana. Diputuskan :
Kita tidak boleh memilih salah satu pihak yang berselisih itu.
Mengadakan usaha supaya perselisihan atau pertentangan itu bisa diselesaikan secara sebaik-baiknya.
Demikianlah perkara perembukan itu. Dalam bulan Oktober 1927 kami sampailah di Tanah Merah sebagai tempat pembuangan yang disebut Boven Digul itu.
Di Tanah Merah.
Putusan kami waktu di Ambon untuk menyelesaikan perselisihan di Tanah - Merah disetujui oleh banyak kawan sampai pada bekas anggota Hoofd Bestuur yang sudah lengkap berada di Tanah - Merah. Dalam suatu pertemuan diambillah satu keputusan membentuk satu Komisi, buat mempelajari pokok perselisihan yang sudah ada itu. Komisi itu terdiri dari 3 orang yaitu :
1. Saudara Mardjohan.
2. Saudara Nurut (saya sendiri)
3. Saudara Salim.
Hasil Komisi.
Pokok perselisihan bukan hanya terdapat dipembuangan, tetapi sudah sejak dari Jawa, ialah sebagai berikut :
Setelah terjadi pemberontakan 12 Nopember 1926, maka Hoofdbestuur saudara-saudara Sardjono, Kusno Gunoko dan lain-lain dapat ditangkap Pemerintah! Hindia Belanda dan ditahan di Bandung. Beliau ditempatkan dalam satu kamar bersama-sama antara lain dengan saudara-saudara Sanusi dan Kartaatmadja, pengurus seksi PKI Bandung saudara Sanusi mengajukan usul pada Hoofdf Bestuur, saudara Sardjono supaya atas nama Hoofd Bestuur PKI memajukan pernyataan pada Pemerintah Hindia Belanda yang maksudnya mengakui pemberontakan benar atas perintah HB, tetapi cabang-cabang (Seksi-seksi) menolaknya. Alasannya supaya yang dibuang itu hanya anggota-anggota HB saja, dan kawan-kawan banyak yang sudah ditangkapi, supaya dilepaskan. Usul saudara Sanusi itu mula-mula ditolak oleh saudara Sardjono (HB), tetapi yang keras betul menolak ialah saudara Kusno Gunoko. Berharihari mereka itu bertukar pikiran, tetapi tetap HB menolak usul itu dengan alasan yang sebaliknya dari alasan pengusul itu, karena pengakuan pemberontakan atas putusan HB itu adalah pengakuan bahwa pemberontakan benar-benar ditimbulkan oleh Partai Komunis Indonesia yang mau tidak mau bukan saja menjadi alasan buat menetapkan pembubaran PKI, tetapi akan terancam dengan hukuman, seperti peristiwa SI. Afdeeling B dan berlakunya pembuangan terhadap pemimpin PKI dimana-mana.
Karena HB terutama saudara Kusno Gunoko amat keras sekali menolak usul saudara Sanusi itu, maka saudara Kusno dan saudara Sardjono ini dipukuli oleh. Polisi atas anjuran Sanusi.
Akhirnya karena kejamnya siksaan polisi, yang kalau tidak diturut bisa membawa akibat-akibat lain yang bisa membawa ruwetnya suasana, dan ditambah pertentangan lain-lain, maka dimajukanlah pernyataan seperti yang diterangkan diatas dan ditanda - tangant oleh HB-PKI.
Selanjutnya ternyata pembuangan umum bagi PKI, berjalan lancar, termasuk saudara Sanusi/Karta Atmadja bersama-lama ke Digul. Entah dengan maksud apa, setelah berada dipembuangan Digul (di Tanah Merah), jadi sebelum kami (zendingi ke 7) datang, saudara Sanusi berpropaganda terutama terhadap kawankawan, yang tak tabu menahu asal-usulnya pemberontakan, tetapi turut dibuuang ke Digul. Propagandanya ialah bahwa terjadinya pembuangan umum ini adalah disebabkan pengakuan secara resmi dari HB pada Pemerintah Hindia Belanda seperti yang telah disebut diatas yang dilakukannya dirumah penjara Bandung.
Dengan adanya peristiwa ini, maka segolongan kecil (kalau tidak lupa hanya berjumlah 17 orang) yang merasa tidak puas dengan perbuatan HB itu Imembentuk suatu Comite yang dinamai "Comite Pertanyaan", yang maksudnya memajukan pertanyaan kepada HB tentang benar atau tidaknya perbuatan HB itu. Lalu diadakan rapat meminta pertanggungan jawabnya Pengurus Besar PKI itu, rapat itu jadi gaduh, karena Comite tidak merasa puas atas keterangan HB, yang dianggap jawaban fantasi dan berputar - putar. Rapat itu bubar, tetapi membawa akibat timbulnya perpecahan yang meluas, antara pihak Comite kontra HB dan pembela-pembela HB. Memang kami yang baru datang melihat dimana-mana ada tulisan-tulisan antara lain "Lauter Phanltasi" dan lain-lain.
Peristiwa lain yang didapat oleh Komisi, ialah pada suatu ketika (juga sebelum kami datang) kawan-kawan mendirikan sekolah untuk anak-anak dengan seizinnya kuasa militer Digul, yang dikepalai oleh Kapten Backing, dibicarakan siapa-siapa yang akan ditunjuk menjadi Guru. Suara banyak memilih saudara Sanusi, karena ia memang Guru Sekolah Rakyat di Bandung dan tamatan Kweekschool. Setelah Kapten Backing mendengar nama Sanusi, ia keberatan saudara Sanusi ini menjadi Guru, karena ia (Sanusi) katanya telah datang kepadanya meminta menjadi mata-mata. Oleh karena itu saudara Sanusi tidak dapat dijadikan Guru dan dipilih orang lain. Hasilnya Sekolah itu berjalan baik, tetapi dengan keterangan Kapten Backing ini perselisihan bertambah hebat, dan sudah menjadi terpecah belah bergolong - golongan dan "hilanglah kepercayaan". Oleh karena menurut perkembangan kawan-kawan terutama pemimpin-pemimpin yang disegani saudara Ali Archam, bahwa perselisihan itu mempunyai latar belakang yang mendalam, sedang kita ini ditanah pembuangan, tidak pada tempatnya mengusut persoalan ini maka usaha membikin penyelesaian itu tidak jadi diteruskan, diserahkan pada perkembangan selanjutnya. Dengan sikap demikian tidak seluruh orang buangan mengetahui, lebih-lebih kawan-kawan yang datang belakangan.
Setelah kejadian itu barulah suasana agak mulai aman dan tidak lama timbul inisiatif mengadakan persatuan diantara kaum buangan Digul. Maksud dari persatuan itu ialah terutama menimbulkan kembali rasa persaudaraan, terjauh dari perselisihanperselisihan, sehingga ada kesatuan yang kekal buat menghadapi segala sesuatu yang akan menimpa nasib kita bersama yang belum pasti arahnya, Persatuan itu dinamai Central Raad Digul (CRD).
CRD Dipimpin Oleh Ali Archam.
Mula-mula inisiatif ini mendapat sambutan, sehingga timbullah rapat-rapat dimana - mana buat mencari bentuk persatuan itu. Berhubung dengan pergaulan kita di Digul ini bukan merupakan pergaulan kota, kampung atau desa biasa, yang sudah teratur segalanya, maka untuk memudahkan hubungan kita dengan Pemerintah Hindia Belanda yang hams menjamin hidup kita di tengah - tengah hutan. Tetapi dihutan belukar ini, maka dibentuklah Central Raad Digul (CRD) yang merupakan suatu badan autonomi. Tetapi golongan kecil yang dikepalai R. Mas Gondojuwono tidak menyetujui pendirian CRD ini. Mereka berpendapat tidak perlu kita mengadakan badan yang begitu rupa.
Suara banyak berpihak pada CRD organisasi berjalan dengan baik, tiba-tiba pemimpin-pemimpin CRD saudara Ali Archam cs ditangkapi oleh kekuasaan Militer, dan kemudian ditempatkan di Gudang Areng dipinggir kali Digul, tanah rendah dirawa-rawa yang sering kerendam air. CRD kehilangan pemimpin-pemimpinnya yang utama, tetapi masih di teruskan oleh kawan-kawan lain, yang ketika itu dikepalai oleh saudara Sunario.
CRD lama tidak berdaya lagi, mati, sedang aksi Gondojuwono berjalan terus, tetapi bukan lagi Raad Digul, melainkan meneruskan cita-citanya semula yang berupa PVD tetapi sudah menjelma jadi yang disebut ROB (Rust Orde Bewaarder). Kira-kira pada permulaan tahun 1929 datanglah seorang wartawan Nieuwe Rotterdamsche Krant yaitu Dr. M. Van Blankenstein melihat-lihat tanah pembuangan. Kabarnya ditanah Merah beliau membikin ceramah, yang menerangkan bahwa beliau sudah pernah pergi ke Rusia dan menceriterakan kejelekan- Negeri dan Pemerintah Rusia.
Gudang Arang Tidak Layak di Tempati.
Sebelum beliau pulang, singgah sebentar melihat Gudang Arang tetapi dengan susah payah ia bersama tentara buat menyeberangi kali kecil cabang kali Digul, dimana tempat kami disingkirkan karena rakit penyeberangan disembunyikan oleh kawan-kawan. Beliau menanyakan saudara Amin Kosasih dan setelah bertemu ia terangkan bahwa ia kenal baik dengan saudaranya yaitu saudara Darsono di Eropah. Ia bisikan dalam bahasa Belanda pada saudara Amin Kosasih, supaya jangan percaya terhadap apa juga sudah diterangkannya di Tanah-Merah, dan dengan mengacungkan jempolnya untuk menilai Negara Sovyet. Kemudian kami baca dalam surat kabar (yang dikirim secara selundup kepada kami) yang menerangkan bahwa Dr. Blankenstein dituntut dimuka pengadilan karena menulis tentang tanah pembuangan Boven Digul terutama Gudang - Arang yang sama sekali tidak patut buat tempat tinggal manusia, tetapi kabarnya ia dibebaskan dan tuntutan itu. Dalam bulan April 1929 kami dan Gudang Arang dipindahkan ke Tanah-Tinggi kira-kira 40 Km kehulu Sungai Digul. Tetapi tidak semua dipindah kesana, malah sebagian diantaranya saudara Sunario, saudara Said Ali dan lain-lain dikembalikan ke Tanah-Merah, tetapi banyak kaum Naturalis dari Tanah - Merah yang ditangkap dan dikirim pula ke Tanah Tinggi, Semua yang ditempatkan di Tanah Tinggi diberi besluit pembuangan baru buat dari GG.
Tanah Tinggi terus menerus bertambah saj a penduduknya dengan kaum-kaum Naturalis dan Tanah Merah, yang kena fitnahan di. Tanah-Merah, yang sudah merupakan kota kecil, yang dihibur dengan rupa-rupa permainan.
Di Tanah Tinggi.
Dinamakan Tanah - Tinggi ialah menurut keadaan tempatnya adalah kelihatan tinggi, apalagi dibandingkan dengan Tanah Merah. la rupanya adalah permulaan bukit-bukit kecil yang akan bersambung kekaki barisan gunung yang melintang sepanjang pulau Irian ini mulai dan ujung Barat sampai ke Timur. Kali Digul di Tanah Tinggi merupakan kali besar, yang lebarnya lebih kurang 200 M dengan leluasa dilalui oleh motorboot.
Sungguhpun tanahnya dekat kaki bukit, tetapi disekitarnya masih merupakan rawa, sedang nyamuknya segala macam rupa amat banyak sekali. Karena tempat ini merupakan hutan besar, maka sering sekali hujan, dan kalau hujan sampai berhari-hari.
Kampung penduduk asli, yang disebut Kaya-kaya agak jauh dari sini, tetapi acapkali mereka datang membawa sagu, burung dan lain-lainnya yang minta ditukar dengan parang, atau kampak yang paling ia sukai. Kalau barang makanan garamlah yang mereka gemari, lebih-lebih tembakau. Mereka kalau masuk ketempat (kampung) kami, dilarang membawa senjata (panah dan tumbak).
Sejak datangnya Hillen lid Raad van Indie yang tak diacuhkan oleh penduduk Tanah-Tinggi, maka orang-orang TT sudah diberi nama baru yaitu "Onverzoenlyken", sedang edele Heer itu disambut dengan kehormatan besar di Tanah-Merah oleh orang-orang yang sudah mempunyai harapan akan dapat ampunan. Setelah kedatangan Lid Raad van Indie itu, Gondojuwono cs dan beberapa orang dipulangkan. Maka mulai pulalah satu dua penduduk TT angkat kaki ke Tanah-Merah yang dikatakan oleh kaum "Natura" sudah "tunduk" sedang sesampainya di Tanah-Merah terus menjilat yang sepenuh-penuhnya melebihi pula kaum "werkwilligen" yang telah lama. Setelah saudara Budisutjitro salah seorang anggota Hoofd Bestuur yang turut merencanakan pemberontakan 1926, yang menjadi sebab yang langsung adanya pembuangan, turun ke Tanah Merah, mulailah timbul kecurigaan satu sama-lain, sedang saudara Ali Archam, yang paling dipercaya oleh segala orang sebagai pemimpin yang paling konsekwen, radikal, jujur dan menguasai teori Marxisme/Leninisme mulai kumat sakit TBC-nya, yang makin lama makin berat, tetapi selalu ia menolak pergi ke Tanah-Merah, buat diurus di Rumah Sakit, karena katanya percuma ia pergi kesana, sedang ia percaya TBC-nya sudah positif, dan tidak ada harapan lagi akan sembuh, dan ia mengatakan lebih suka ia meninggal disini (Tanah Tinggi) dihadapan kawan-kawannya.
Ali Archam Meninggal.
Pada suatu ketika setelah rupa-rupa bujukan kawan-kawan yang paling dekat supaya ia mau diperiksakan pada Dokter di Tanah-Merah rupanya terpaksa juga ia menuruti permintaan kawankawan, tetapi sayang sekali waktu ia sudah naik motorboot duduk dimuka sekali, dimana angin sangat kencangnya, oleh karena ia tidak tahan angin itu, ia minta supaya ia dibolehkan pindah kebelakang, tetapi, secara kurang sopan Dokter T.Gouseling menolak permintaannya. Oleh sebab itu ia minta saj a turun kembali, tidak jadi berangkat ke Tanah-Merah. Sakitnya makin lama makin bertambah keras, sehingga kurus kering, sedang kawan-kawannya yang senantiasa mengurusnja sudah pada bingung, tetapi sungguhpun demikian beliau itu masih bisa memberi nasehat (pada kawan-kawannya supaya jangan terlalu dekat padanya, dan nasehat-nasehat lain yang masih sehat dan terang. Pada tanggal 1 Juli 1933 beliau sudah sangat payah sehingga tak kenal pada kawan-kawannya lagi, sedang pada waktu itu kebetulan ada motorboot, dari Tanah-Merah mengantarkan ransum. Dalam keadaan tidak sedar lagi ia dengan tandu dibawa ke motorboot buat dikirim ke Rumah - Sakit Tanah Merah.
Kemudian kami dapat kabar, belum jauh dari Tanah Tinggi ia sudah meninggal dalam motorboot itu dan jenazahnya diteruskan ke Tanah Merah, di mana ia dikubur dengan segala penghormatan dari seluruh penduduk Tanah Merah.
Sarjono Jadi Guru.
Setelah meninggalnya saudara Ali Archam, maka saudara Sardjono mulai memberi kursus-kursus, terutama tentang politik, bersama saudara Ngadiman ia mendirikan badan yang dinamai PeKi (Pedoman Kita) ia memberikan kursus Marxisme/Leninisme campur aduk dengan isme-isme lainnya.
Lama ia (Sardjono cs) memberikan kursus, sehingga muridnya satu-persatu berangsur-angsur turun ke Tanah Merah, sehingga Tanah Tinggi makin lama makin kurang jumlah penduduknya. Kawan-kawan lain terutama golongan Ali Archam mulai tidak percaya atau hilang kepercayaannya kepada Sardjono cs ini. Keadaan seperti ini lama berjalan begitu rupa sampai datang pula tambahan penduduk Tanah Tinggi dengan 3 orang kawan pembuangan di Munting (Irian Barat juga) dalam tahun 1935, yaitu :
1) Saudara Woworuntu.
2) Saudara Daniel Kamu.
3) Saudara Wentu.
Ketiga kawan ini lebih kurang 4 tahun belajar di Moskouw, dan pulang ke Indonesia tahun 1928 dan terus ditangkap dan dibuang ke Munting. Sesampainya di Tanah Tinggi terus pula mengadakan kursus sebagai tandingan kursusnya Sardjono cs. Nampaknya tiga kawan ini mengajarkan kaji-apalan, tetapi memang mengerti bahasa Rusia, sering ketiganya berbahasa Rusia, terutama waktu memberikan kursus. Memang lagaknya melambung amat tinggi, karena sering-sering ia katakan (terutama Woworuntu) teori-teori semua orang buangan Boven Digul ini salah sama sekali. Murid-muridnya tidak boleh membaca buku-buku lain, sebab katanya semua buku-buku politik yang tidak dibikin di Rusia itu salah semua, sehingga mereka itu disebut orang Haji Moskow. Dengan adanya tiga kawan itu maka di Tanah Tinggi kelihatan ada tiga klik, ialah klik Sardjono cs', Woworuntu cs dan Ali Archam cs (Sdr. Ali Archam sekalipun sudah tidak ada lagi, tetapi namanya selalu disebut-sebut). Tetapi sungguhpun demikian pada mula-mula orang-orang yang turut kursus pada Woworuntu cs kelihatannya teguh, belum ada yang turut ke Tanah Merah seperti pengikut Sardjono cs.
Dalam tahun 1935 Sardjono memberikan grootelyn. Sebab ia (Sardjono) seorang voorzitter Hoofd Bestuur PKI, maka sudah tentu menarik perhatian orang banyak. Terjadilah beberapa kali rapat umum buat merembuk anjuran Sardjono itu, yang menghasilkan terbentuknya satu comite perumus. Anggota-anggota comite terdiri dari 7 orang. Hasil pemilihan umum anggota yang 7 orang itu, terdiri dari klik Sardjono, klik Ali Archam dan klik Woworuntu. Hasil rumusan Comite ialah : "Conventie anti Pendigulan". Yang dimaksud dengan "Anti Pendigulan" ialah setelah nyata perbuatan Pemerintah Jajahan mengadakan pembuangan Digul ini dan memulangkan orang yang sudah tunduk dan setelah benar-benar tunduk secara pengakuan tertulis, dan dalam pengakuan mana berjanji menurut segala kehendak Pemerintah Jajahan Belanda, maka "Pendigulan" kami jadikan satu "istillah" yang artinya penundukkan. Jadi "Anti Pendigulan" artinya anti penundukkan atau tegasnya tidak sudi tunduk.
Rumusan Comite ini setelah diperdebatkan dalam beberapa kali rapat diterima dengan aklamasi. Jadi Groote Lyn yang tadinya boleh jadi dimaksud lain oleh Sardjono, terputar jadi sebaliknya. Sebab Sardjono dengan giat memberikan teori-teori yang melemahkan semangat, rupanya termakan oleh pengikutnya, tinggal menunggu saat saja ia akan bertindak.
Tidak lama sesudah itu salah seorang yang ikut kursus pada Sardjono membuka rahasia, bahwa is diberi nasehat supaya turun saja ke Tanah Merah dengan menunjukkan ajaran-ajarannya tentang "Wet van Noodzakelijkheid" sebagai hukum alam yang tidak bisa dibantah, menurut ajaran Marx katanya : begitupun "Het doel heiligt de middelen". Atas anjuran kawan yang diajarnya itu maka diadakan rapat umum atas nama "Conventie". Rapat berlangsung berharihari karena yang bicara ada lebih kurang 30 orang. Ketiga puluh orang itu semua menyerang dan menyalahkan perbuatan Sardjono itu, terutama sekali bertentangan dengan azas "Conventie anti Pendigulan". Beliau tidak bisa jawab tuduhan-tuduhan pembicara itu sehingga kelihatan sangat malunya dimuka seluruh penduduk Digul.
Kebetulan ketika itu (tahun 1937) sudah dekat dengan perang Dunia kedua, sedang Tiongkok sudah perang dengan Jepang, klik Sardjono cs pada angkat kaki ke Tanah Merah, tetapi diikuti juga oleh klik Woworuntu cs. Jadi tinggallah 25 orang lagi yang masih bertahan di Tanah Tinggi sampai diangkut ke Australia tahun 1943 dibawa lari oleh sisa-sisa Pemerintah Hindia Belanda yang sudah tamat sejarahnya. Tetapi yang dibawa ke Australia itu hanya 20 orang dipisahkan tempatnya yaitu dalam tawanan perang dibawah penjagaan Tentara Australia.
Keterangan dan kesaksian saudara Nurut ini disampaikan tanggal 19 April 1962 di Jakarta.
Demikianlah pengalaman dan kesaksian tokoh-tokoh pergerakan yang dibuang ke Digul yang disampaikan oleh Ongko D, Wiro Sumiardjo dan Nurut dari kelompok Ali Archam yang setia konsekwen menolak bekerja sama dengan alat imperialisme semacam van Mook dan van der Plass!
**************************************************************************
Keterangan: (Pengetik)
*Tulisan ini merupakan satu bab tersendiri dalam buku yang berjudul "PKI-SIBAR CONTRA TAN MALAKA - PEMBERONTAKAN 1926 & KAMBING HITAM TAN MALAKA" karya Sudijono Djojoprajitno, yang diterbitkan oleh Jajasan Massa - 1962. Tulisan ini dibuat pada saat itu untuk meng-counter buku berjudul "PEMBERONTAKAN NOVEMBER 1926", yang diterbitkan oleh Lembaga Sedjarah PKI - 1962, karena buku yang diterbitkan oleh Lembaga Sedjarah PKI tersebut menyalahkan saudara Tan Malaka yang dianggap mensabotase sehingga menjadi penyebab kegagalan pemberotakan
Posting Komentar