- Back to Home »
- PEREMPUAN »
- Sudjinah, Sang Pemenang
Posted by : Unknown
Kalimat yang terus menerus terngiang di telinga Sudjinah bahkan hingga akhir hayatnya. Bagi kebanyakan orang, mungkin angka 30 September adalah angka pengkhianatan negara, namun tidak bagi Sudjinah, angka itu adalah pengujian bagi prinsip dan keteguhannya.
Sobat , sedari kecil kita sering dan kerap kali mendengar kisah – kisah perempuan binal nan jahat yang menarikan tari harum sambil menyiksa para jendral. Kisah itu terus terekam dalam memori kita. Lambat laun suara-suara yang mengungkap kebenaran tentangnya mulai mengudara. Awalnya sekedar bisik-bisik, diam-diam dan secara perlahan menjadi teriakan tak terbendung. Salah satunya adalah Sudjinah.
“Lihatlah, kamu akan dilempar ke lubang itu kalau tidak mau menceritakan siapa teman-temanmu, kau akan kami kubur hidup- hidup”!” Saya hanya menutup mata. Mengapa saya harus menjadi pengkhianat dengan menceritakan kerja bawah tanah saya kalau akhirnya akan dibunuh? Itulah yang tersirat dalam benak saya. Mereka dapat memukuli saya sampai … mati, namun saja tidak akan mengkhianati teman-teman.
Perempuan pemberani itu bernama Sudjinah, ia lahir pada tgl 20 Juli 1928. Sejak mudah, ia sudah turut aktif berperang merebut kemerdekaan. Di kala remaja, Sudjinah menjadi salah satu kuriri Batalyon Bramasta di selatan Bengawan Solo. Tahun 1950, ia kembali ke Solo guna melanjutkan pendidikannya dan ke Yogyakarta untuk menyelesaikan sekolahnya di SMU.
Setelah lulus dari SMU, tepatnya pada tahun1952, Sudjinah memperoleh beasiswa kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UGM atau Universitas Gajah Mada. Kali ini, Sudjinah tidak menyelesaikan kuliahnya karena beasiswanya tiba-tiba terhenti. Di kampus inilah, Sudjinah mengenal organisasi kerakyatan seperti Pemuda Rakyat yang adalah kelanjutan dari Pemuda Sosialis Indonesia atau Pesindo, Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) yang merupakan cikal bakal Gerwani.
Dalam Kongres I Gerwis yang digelar di Surabaya pada tahun 1951, Sudjinah turut hadir sebagai anggota di cabang Yogyakarta.
Pada tahun 1955, seiring dengan kuliahnya yang terhenti di UGM, Sudjinah diserahi tanggung jawab oleh Pemuda Rakyat untuk mewakili Pemuda Rakyat dalam Festival Pemuda Sedunia yang ke -5 di Warsawa, Polandia.
Setelah acara tersebut, Sudjinah juga mendapatkan tugas dari Gerwani untuk bekerja di Sekretariat Gabungan Wanita Demokratis Sedunia (GWDS) yang berkantor di Berlin Timur. Dalam kongres II Gerwis di Jakarta, Gerwis sepakat berubah nama menjadi Gerwani. Perubahan nama itu sekaligus memuat perubahan keorganisasian, Ujar Umi Sarjono. Dimana ketika masih Gerwis, bentuk organisasinya merupakan gabungan dari 7 organisasi perempuan, sementara dengan berubah menjadi gerwani artinya menjadi organisasi tunggal berbasis massa. Gerwis hanya menerima anggota yang sadar sementara Gerwani menerima anggota secara terbuka bagi perempuan berusia 18 tahun ke atas.
Tak hanya aktif di Gerwani, Sudjinah juga aktif sebagai seorang jurnalis di sejumlah Surat Kabar dan penerjemah di kantor berita Pravda milik Uni Soviet. Tulisan-tulisannya banyak dimuat di Surat kabar, termasuk di Harian Rakyat. Pada Tahun 1963, ia diminta membantu sebagai penerjemah bagi delegasi buruh perempuan Indonesia yang akan menghadiri pertemuan di Bukarest, Rumania. Ketua delegasinya adalah Sri Ambar Rukmiati yang memimpin seksi wanita Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
Setelah peristiwa 65 meletus, Sudjinah berkisah ia dan kawan-kawannya berupaya menyelamatkan Sukarno yang menurut mereka hendak disingkirkan. Sujinah berkisah bagaimana ia berganti-ganti nama dan merubah gaya rambut dan potongan baju. “Aku menerbitkan bulletin unruk membela Bung Karno,” ungkapnya bersemangat. Nama bulletin tersebut Pendukung Komando Presiden Soekarno (PKPS).
Sudjinah, bersama Sulami, mengedarkan buletin itu secara diam-diam, di kala tembok-tembok kota di Jakarta sudah penuh dengan cacian dan umpatan pada Gerwani sebagai pemotong pelir para jendral. Bahkan, menurut Sujinah mereka nekat pergi ke sejumlah kedutaan untuk memasukkan buletin tersebut dan bersembunyi di selokan guna menghindari kejaran militer kubu Suharto.
“Aku pernah pakai wig warna-warni,” ujarnya geli sambil mengangkat kedua tangannya ke udara, menggambarkan model wig yang ia pakai.
Apa daya perjuangan Sudjinah dan Sulami berakhir tragis, setragis nasib Sukarno yang dibelanya. Sudjinah akhirnya ditangkap bersama dengan Sulami, Sri Ambar dan Suharti Harsono. Mereka dijebloskan di Bukit Duri dan masuk sel isolasi. Namun sebelumnya, penyiksaan dan penghinaan fisik serta intimidasi psikologis bertubi-tubi menerpa mereka. Padahal beberapa petinggi Gerwani tidak mendapatkan penyiksaan fisik seperti Ketua Umum Gerwani, Umi Sardjono dan Sekjen Gerwani Kartinah Kurdi.
Menurut Umi Sardjono, pembedaan perlakuan itu disebabkan karena militer melihat aktivitas yang dilakukan setelah PKI dan organisasi yang dianggap berafiliasi dengannya dinyatakan sebagai terlarang, masuk dalam golongan aktivis masa epilog. “Orang-orang yang tertangkap dengan tudingan ini biasanya mendapatkan siksaan sangat kejam,” ungkap Umi.
Rekaman penyiksaan itu kemudian muncul melalui cerita – cerita pendek Sujinah, yang salah satu bukunya berjudul “Terempas Gelombang Pasang”. Buku ini diterbitkan oleh Pustaka Utan Kayu pada tahun 2003. Setelah Suharto jatuh, memang ada semilir angin demokrasi untuk bicara dan menerbitkan karya korban 1965. Dalam buku ini, terdapat salah satu cerita pendeknya yang berkisah tentang “rumah setan”. Yang ia maksud dengan rumah setan adalah bangunan bekas sekolah Tiong Hoa di jalan Gunung Sahari yang dipakai sebagai tempat penyiksaan korban ’65. Karena kebengisan penyiksaan di gedung itu, Sudjinah menyebutnya Rumah Setan.
Buku “Terempas Gelombang Pasang” adalah secuil kisah Sudjinah yang pahit kala ia dan kawan-kawan seperjuangannya ditangkap pasca gestapu karena ia adalah aktivis Gerwani. Sudjinah tepatnya ditangkap pada 17 Februari 1967 dan pada Juni 1967, Sudjinah bersama Sulami dipindah ke kamp tahanan lain yang mempertemukannya dengan Sri Ambar dan Suharti Harsono yang ditangkap terlebih dahulu pada bulan September 1966.
Di rumah setan itulah, Sudjuniah dan Sulami ditempatkan di sel kecil yang penuh bercak darah di temboknya. Hampir setiap hari terdengar teriakan kesakitan dari ruang interogasi. Suatu hari, tiba waktunya bagi Sudjinah untuk diinterogasi. Ia dipaksa mengakui aktifitasya dalam gerakan bawah tanah namun perempuan berani ini bungkam seribu bahasa meski pukulan rotan bertubi – tubi mendarat di tubuhnya. Tubuhnya ditelanjangi di depan delapan orang yang menginterogasinya namun ia tetap bungkam. Tak hanya itu, ia dipaksa melihat penyiksaan kawan-kawannya sebagai bentuk intimidasi. Termasuk dipaksa melihat bagaimana salah seorang kawannya telinganya digigit sampai putus oleh sang penyiksa. Sudjinah, tetap bungkam dan malah muntah tepat di muka salah seorang penyiksa. Akibatnya, Sudjinah terus dipukuli dengna rotan dalam kondisi telanjang hingga pingsan.
Orang yang berprinsip tak kan mudah ditundukkan dan digoyahkan. Tampaknya, kalimat ini tepat ditujukan bagi sosok Sudjinah. Pukulan rotan, dan berbagai intimidasi tak membuatnya goyah dan bersuara membuka jati diri teman-temannya yang sedang diincar.
Saya gosok-gosok wajah saya yang bengkak & bibir meradang akibat pukulan bertubi-tubi. Betapapun saya masih hidup. Pada saat itu tidak ada perasaan lain kecuali mencoba agar tidak gugup selama pemeriksaan. Walaupun hati terasa terbakar dalam api, kepala harus tetap dingin & tidak kehilangan pikiran. Saya tidak ingin mati sekarang, meski saya harus melewati kehidupan penuh siksaan.
Bagi Sudjinah, yang penting ia masih bertahan hidup meski penuh bilur. Asal tidak hidup dari penderitaan kawan-kawannya yang lain. Karena itu, Sudjinah bungkam ketika ditanya keberadaan teman-temannya yang lain. Salah seorang pimpinan perempuan,menurut Sudjinah menceritakan segalanya tentang kerja bawah tanah kelompok –kelompoknya. Sudjinah terpukul, karena ada pengkhianat di antara mereka sendiri. Saat itu, kisahnya, ia bahkan tak sanggup menggerakkan lengan dan tangan kanannya. “Namun di atas segalanya, kami tetap tak berputus asa” ujar Sudjinah
Salah satu teman baiknya, Sulami menuturkan 20 tahun penyiksaan dan penahanan bukan waktu yang singkat karena sepertiga dari kehidupan manusia yang sedang berkembang, dipasung dan dibinasakan. Bagaimana tidak, sebagian yang ditahan dan disiksa itu adalah perempuan-perempuan muda namun harus terpisah dari anak, suami, kekasih, saudara dan masyarakat. Terpisah dari alam luar dari keindahan alam, sungai, sawah ladang, gunung sungai, bulan bintang dan tangis bayi. Mereka dirampas hidupnya bahkan hingga keturunannya atas perbuatan yang bahkan mereka rasa tidak tahu apalagi melakukannya. Apa yang salah dari Gerwani, organisasi perempuan terbesar kala itu? Menurut Sulami Gerwani tidak pernah mengjarkan hal-hal jahat. Pengurus Gerwani mengajarkan anggotanya untuk berjuang meningkatkan martabat dan keterampilan agar bisa mandiri. Mendorong anak-anak rajin belajar dan bekerja, menolong sesama,mencintai kehidupan dan kerja. Sulami yang sejak 17 tahun ikut berjuang merebut kemerdakaan tak habis pikir kenapa ia dan kawan-kawannya dituduh berbuat jahat.
Sejarah mencatat, dari ribuan perempuan yang ditangkap secara paksa pasca peristiwa 30 september, hanya 4 perempuan yang dibawah ke meja hijau. Mereka adalah Sudjinah, Sulami , Sri Ambar dan Suharti Harsono. Masing-masing dijatuhi hukuman 18 tahun penjara, 20 tahun, dan 15 tahun.
Baru pada tahun 17 Agustus 1983, ia bebas setelah ditahan selama 16 tahun. Selama dua tahun setelah kebebasannya, Sudjinah masih berada di bawah pengawasan negara untuk menggenapi masa tahanannya yang adalah 18 tahun. Ia menjalani wajib lapor ke kodim setempat setiap seminggu sekali. Jika kedapatan melarikan diri dalam masa dua tahun itu, maka keluarga atau kerabat yang lain harus menggantikan dirinya untuk ditahan. Seusai menghirup udara bebas, Sudjinah berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai interpreter dan guru Bahasa Inggris. Dari pekerjaannya inilah, ia berhasil menulis beberapa buku yang sudah dimulainya sejak masih dalam penjara. Meski memperoleh pekerjaan, hidupnya tak semulus yang dibayangkan. Keluarganya yang tinggal di Solo menolak Sujinah. Akhirnya, ia harus menetap di Panti Jompo, di Jakarta hingga akhir hayatnya.
Malang memang nasib Sudjinah, namun ia tak pernah menyesali jalan hidupnya. Orde Baru mungkin bisa memasung raganya namun tidak pemikiran dan prinsipnya. Sudjnah adalah pemenang sebagai pribadi.
Posting Komentar