Posted by : Unknown


Bulan Desember 1962,  rombongan seniman yang sedianya mengikuti konferensi di Bali singgah di Banyuwangi, Jawa Timur, dan mendapat sambutan hangat dari pengurus Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) setempat. Saat itu, seperti biasanya penghormatan terhadap tamu, seniman banyuwangi yang digawangi Muhammad Arief mempersembahkan pertunjukan musik dan tarian.
Nyoto, salah satu pimpinan Lekra dan juga PKI yang hadir di situ, tiba-tiba terpikat dengan sebuah lagu rakyat. Ya, itu lagu “genjer-genjer”. Lagu rakyat yang digubah oleh Muhamad Arief, ketua Lekra Banyuwangi,  begitu memikat sang penulis pidato bung karno itu. “Lagu Genjer-genjer akan terkenal secara luas dan menjadi lagu nasional,” kata Nyoto seolah meramalkan.
Belakangan, apa yang diucapkan Nyoto itu terbukti adanya. Lagu “genjer-genjer” mulai mengalun melalui RRI dan TVRI, dan dinyanyikan oleh penyanyi tenar kala itu, Bing Slamet. Lagu ini juga sering dihadirkan oleh paduan suara untuk acara-acara tertentu, bahkan pernah dipersembahkan untuk menyambut tamu-tamu Konferensi Asia-Afrika, pertemuan negeri-negeri anti-imperialis itu. Paduan suara gembira, nama grup paduan suara itu.
Lilis Suryani, penyanyi sangat ngetop di era tahun 1960, turut menyanyikan dan mempopulerkan lagu “genjer-genjer”. Begitulah, lagu genjer-genjer menjadi populer dan semakin meluas seiring dengan situasi politik saat itu.
Genjer-genjer nong kedo’an pating keleler
Genjer-genjer nong kedo’an pating keleler
Ema’e thole teko-teko mbubuti genjer
Ema’e thole teko-teko mbubuti genjer
Oleh satenong mungkur sedot sing toleh-toleh
Genjer-genjer saiki wis digowo mulih

Genjer-genjer esuk-esuk didol neng pasar
Genjer-genjer esuk-esuk didol neng pasar
Dijejer-jejer diuntingi podo didasar
Dijejer-jejer diuntingi podo didasar
Ema’e jebeng podo tuku gowo welasar
Genjer-genjer saiki wis arep diolah

Di penghujung 1965, situasi politik mulai berubah, akibat pemerintahan Bung Karno mulai digoyang oleh sayap kanan. Lagu “genjer-genjer” pun terkena imbas politik, sebab diasosiasikan dengan PKI. Pihak militer mengembangkan sebuah cerita bohong, bahwa relawan komunis menyanyikan lagu ini sebelum menyiksa para jenderal-jenderal di lubang buaya.
Segera setelah itu, lagu genjer-genjer menghilang seiring dengan pembantaian keji terhadap jutaan rakyat Indonesia, termasuk pencipta lagu ini, M. Arief. Lagu ini tidak boleh dinyanyikan di masa rejim Soeharto. Kalau ada yang menyanyikannya, maka dia akan segera berurusan dengan tentara.
Paska kejatuhan rejim Soeharto, lagu genjer-genjer mulai dinyayikan kembali dan mendapat tempat di hati sebagian seniman. Sebuah film tentang “Gie” juga menjadikan lagu ini sebagai “sound-track”-nya.
Meski begitu, alam reformasi ini ternyata belum membuat lagu genjer-genjer bebas untuk diperdengarkan. Di Surakarta, pada tahun 2009, sebuah stasiun radio setempat sempat didatangi oleh sekelompok milisi, hanya karena memperdengarkan lagu ini melalui ‘sound-track’ film Gie.
Di kalangan seniman pun mulai berani menyanyikan lagu ini. Sebut saja “Tika and the dissident”, Jawaika (reggae), Alex Band (Pop), Rizal Abdulhadi (ballad folk), Remen Ngunjuk, dan ’Pitoelas Big Band’.

Total Tayangan Halaman


counter web

Categories

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

- Copyright © Diaspora -- Powered by Blogger - Designed by Efrial Ruliandi Silalahi -