- Back to Home »
- RESENSI BUKU »
- Hukum Progresif
Posted by : Unknown
Pandangan terhadap hukum secara komprehensif, tidak hanya secara tekstual sebagai pasal perundang-undangan tetapi juga secara kontekstual sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat, merupakan langkah awal dalam memahami hukum progresif Pemikiran tentang hukum progresif ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru dalam komunitas hukum. Namun demikian, belum banyak pemerhati hukum di Indonesia yang bersedia menyajikan pemahaman hukum progresif, khususnya melalui suatu tulisan ilmiah. Buku berjudul Penegakan Hukum Progresif ini dapat dikatakan sebagai pioneer yang menyuarakan eksistensi dari hukum progresif dalam kehidupan modern ini. Buku ini merupakan bunga rampai tulisan Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH yang membedah dan menguraikan pandangan hukum progresif yang melekat pada berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.
Secara umum, hukum progresif memandang realitas kehidupan masyarakat dalam berhukum yang tidak hanya terpagari oleh tekstualisasi undang-undang tetapi juga eksistensi perilaku manusia yang senantiasa dinamis dan bergejolak. Penekanan utama penulis adalah kemampuan hukum dalam melakukan rule breaking atau mematahkan dan menerobos hukum yang ada dalam hal hukum dihadapkan pada kondisi yang luar biasa (Halaman 23, 83, 140, 141, 169, 219).
Menyikapi Kekakuan Hukum
Dalam kenyataannya, hukum sewaktu-sewaktu akan dihadapkan pada situasi yang luar biasa, situasi yang mungkin tidak tereksplisit dalam teks hukum. Dalam situasi luar biasa, hukum tidak dapat menolak dan beralasan bahwa hukum belum dipersiapkan untuk kondisi tersebut. Dengan demikian, hukum harus menggunakan tata cara yang luar biasa dalam menghadapi kondisi luar biasa dimaksud. Cara berhukum yang luar biasa inilah yang menjadi inti dari hukum progresif. Meskipun menerapkan cara luar biasa, para pelaku hukum progresif tidak dapat dikatakan telah menyimpang karena cara berhukum luar biasa merupakan bagian inheren dalam hukum itu sendiri (Hal. 73). Contoh tindakan luar biasa antara lain hak deponeering oleh Jaksa Agung demi kepentingan yang lebih besar.
Kekuatan hukum progresif mampu meruntuhkan pandangan kekakuan dalam hukum. Kaca mata hukum progresif memandang hukum sebagai sesuatu yang luwes dan mengalir. Melalui hukum progresif ini, hukum diberikan kebebasan dalam bertindak maupun berpikir sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya, mengabdi kepada masyarakat. Kelihaian hukum progresif dalam menyatukan diri dengan kehidupan masyarakat didukung beberapa karakteristik kuat hukum progresif itu sendiri.
Karakteristik pertama, paradigma dari hukum progresif adalah “hukum untuk manusia”. Dalam paradigma ini, manusia berada di titik pusat perputaran hukum. Keberadaan hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan keadaan status quo karena akan memberikan efek bahwa hukum adalah tolak ukur untuk semuanya dan manusia adalah untuk hukum. Ketiga, tata cara berhukum dengan mengatasi berbagai permasalahan dan hambatan yang terdapat pada hukum tertulis. Masyarakat tidak dapat dibiarkan sepenuhnya tunduk pada hukum tertulis. Hukum dimaksud belum tentu dapat mencakup seluruh gagasan yang ingin dituangkan, sehingga terkadang diperlukan judicial reviewuntuk mengatasi keterbatasan muatan gagasan tersebut. Keempat, hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam hukum. Peranan manusia dalam hal ini merupakan konsekuensi terhadap pengakuan bahwa sebaiknya manusia tidak berpegangan secara mutlak kepada teks formal peraturan (halaman 61-66).
Hukum dalam bentuk teks muncul karena dorongan kondisi masyarakat modern yang harus selalu terstruktur dan terkonstruksi. Namun, hukum tertulis ini masih memiliki beberapa kelemahan yaitu tidak dapat mewadahi seluruh gagasan masyarakat, bersifat statis, dan cenderung kaku. Hal tersebut mengakibatkan perubahan pandangan bahwa teks hukum tidak dapat dipercaya sepenuhnya sebagai representasi kehidupan hukum yang ideal. Sebagaimana karakteristik hukum progresif, masyarakatlah yang akan menciptakan dinamika dalam hukum. Perilaku masyarakatlah yang akan merubah teks hukum. Masyarakat tidak menjadi tertib dan teratur karena kehadiran hukum, melainkan karena perilaku para anggota masyarakat di situ.
Meskipun hukum progresif telah menyajikan realitas hukum yang dibutuhkan oleh masyarakat namun masih ada pula pihak yang menolak eksistensinya. Alasan penolakan pertama, berkaitan dengan rasa keamanan yang ditimbulkan oleh kebiasaan yang selama ini dijalankan. Secara psikologis, terdapat keengganan manusia untuk keluar dari suasana kehidupan yang teratur dan tenteram. Kedua, masih adanya pandangan bahwa ketertiban dan ketidaktertiban sebagai dua hal yang bertolak belakang secara mutlak.
Tindakan Progresif
Implikasi dari pengesampingan penegakan hukum secara progresif dapat menimbulkan dampak ketidakberdayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri. Perkembangan hukum modern merubah hukum menjadi institusi artifisial dan semakin menjauh dari masyarakat. Pandangan terhadap hukum menjadi berubah, proses hukum bukan lagi sebagai pergulatan manusia untuk memperoleh keadilan tetapi sekedar pergulatan peraturan, undang-undang, dan prosedur (trials without justice). Hal tersebut tercermin pada berbagai peristiwa hukum, misalnya, pengadilan kasus korupsi di Indonesia. Putusan pengadilan membebaskan seseorang yang telah diyakini oleh publik sebagai pelaku korupsi (hal. 224). Persidangan kasus besar OJ Simpson di Amerika Serikat juga menggambarkan kondisi serupa. Pengacara Simpson bukan berkonsentrasi untuk membuktikan ketidaksalahan Simpson, melainkan pada aspek prosedural yaitu kecerobohan polisi. Pada akhirnya, meskipun publik meyakini bahwa Simpson adalah pelaku pembunuhan, pengadilan berakhir dengan pembebasan Simpson (hal. 62, 252).
Keterbatasan hukum yang membelenggu kehendak masyarakat berakibat pada ketidakpuasan masyarakat terhadap keadilan yang diharapkan. Cara progresif perlu diterapkan untuk mengatasi keterbatasan tersebut yaitu dengan melakukan pengujian terhadap batas kemampuan teks perundang-undangan. Dalam hal ini, diperlukan peran strategis para penegak hukum sebagai garda terdepan dalam upaya memunculkan keadilan yang tertimbun oleh teks perundang-undangan. Hakim dalam proses pengadilan tidak hanya berperan menjadi corong undang-undang tetapi harus menemukan keadilan yang terkandung didalamnya.
Pengadilan mempunyai tanggungjawab besar dalam menempatkan hukum sesuai dengan kehendak masyarakat. Dengan demikian, pengadilan tidak dapat lagi dipahami secara sempit sebagai institusi yang hanya berurusan dengan pengkongkretan undang-undang tetapi sudah menjadi institusi sosial yang peka terhadap dinamika masyarakat. Pengadilan harus mengedepankan semangat keadilan, pembelaan rakyat, dan nasib bangsa sehingga dapat dikatakan bahwa pengadilan mempunyai hati nurani (conscience of the court). Hakim sebagai figur sentral dalam pengadilan tidak cukup lagi menggunakan kacamata yuridis tetapi juga kacamata sosial, menyertakan hati nurani dalam mengambil keputusan serta didukung dengan keberanian dalam menampilkan komitmen. Hakim progresif akan selalu bersinergi dengan kehendak rakyat meskipun harus melawan dominasi kekuasaan otoriter. Penulis menguraikan sikap progresif semacam itu pada Hakim Adi Andojo Soetjipto pada saat melawan kekuatan Orde Baru dalam memberikan putusan kasus Muchtar Pakpahan (Hal 192-193). Secara institusional, Mahkamah Agung sebagai supremasi lembaga peradilan juga perlu berpikir dan bertindak progresif dalam rangka perbaikan dan peningkatan kualitas berhukumnya.
Langkah hukum yang berwawasan ke depan dan keluar dari suatu rutinitas penegakan hukum yang kontraproduktif merupakan suatu keharusan dalam memajukan kehidupan hukum. Penulis menekankan bahwa sejarah kemajuan dalam hukum tidak dapat dicapai dengan langkah-langkah biasa melainkan harus melalui langkah yang visioner. Perluasan fungsi supreme court Amerika Serikat setelah adanya deklarasi dari Chief Justice John Marshall (Hal 169) merupakan contoh nyata bahwa keputusan di luar pakem dapat memberikan kekuatan besar dan perubahan radikal dalam berhukum. Setelah melalui penyampaian argumentasi beserta contohnya, tujuan penulis dieksplisitkan melalui harapan perbaikan pada lembaga peradilan di Indonesia sehingga dapat selalu sepaham dengan kehendak masyarakat.
Pada bab akhir buku, kompilasi tulisan lebih mengarah pada upaya membumikan hukum kepada masyarakat. Hukum progresif dalam hal ini dipandang dari peran dan realitas di masyarakat. Publik mempunyai peran dalam memperbaiki kondisi hukum. Pertama, kemampuan hukum yang terbatas sehingga dalam pelaksanaan fungsinya membutuhkan bantuan serta dukungan dari publik. Kedua, masyarakat masih mempunyai kekuatan otonom untuk melindungi dan menata diri sendiri. Hal tersebut tampak pada kekuatan mahasiswa yang mampu memaksa presiden untuk turun setelah parlemen gagal mengontrol eksekutif (Hal. 209).
Kehidupan hukum memang tidak mungkin terlepas dari masyarakat. Hukum terus berubah dan berkembang dari waktu ke waktu. Penggerak perubahan hukum tersebut tidak lain adalah masyarakat itu sendiri. Hukum tidak bisa lagi dipahami sebagai masalah peraturan semata namun juga masalah manusia. Dengan demikian, faktor-faktor seperti sikap, perasaan, keyakinan, dan rasa malu yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat akan selalu menyertai. Penulis memperjelas realitas tersebut dengan mengkomparasikan kehidupan berhukum orang Jepang dengan Amerika Serikat (Hal. 228, 247-248). Orang Amerika berhukum dengan menggunakan akal pikiran sedangkan Jepang berhukum dengan menggunakan hati. Pada perbandingan tersebut, tampak bahwa Jepang merupakan negara yang memandang hukum sebagai persoalan manusia daripada sekedar peraturan. Kedisiplinan yang telah tertanam dalam individu orang Jepang membawa mereka selalu bersikap tertib dalam kondisi apapun, hingga penulis berkesimpulan bahwa seandainya hukum di Jepang dicabut maka masyarakatnya akan tetap tertib.
Kondisi masyarakat mencerminkan eksistensi hukum progresif yang mengharuskan adanya cara berpikir dan bertindak secara progresif dalam berhukum. Indonesia yang sudah mendeklarasikan diri sebagai negara hukum perlu memberikan jalan masuk kehadiran hukum progresif ini. Selanjutnya, efektivitas hukum progresif tersebut akan tercapai melalui sinergi penegak hukum dengan seluruh komponen masyarakat. Pada akhirnya, masyarakat Indonesia berhak memiliki harapan terwujudnya hukum yang terbebas dari permainan kepentingan dan tercipta hukum yang menjunjung tinggi keadilan dan berorientasi untuk membahagiakan rakyat.
Buku ini menarik karena memberikan sudut pandang yang berbeda serta membuka dimensi lain dalam dunia hukum. Pandangan semula bahwa hukum hanya sajian teks perundang-undangan akan meluas menjadi hukum sebagai aktualisasi kebutuhan dan tindakan masyarakat. Disamping itu, argumentasi bahwa penegakan hukum dapat mengesahkan pengorbanan keadilan dan kebahagiaan manusia akan terpatahkan semua oleh pemikiran penulis mengenai kaidah alami dari hukum yang diperuntukkan bagi manusia. Kritik utama dari buku ini yaitu kurang terangkatnya aspek kepastian hukum. Meskipun penulis berpendapat bahwa hukum tertulis bersifat kaku dan seringkali mengorbankan aspek kehendak masyarakat, namun aspek kepastian yang terkandung dalam hukum tertulis ini tidak dapat ditinggalkan sepenuhnya. Sebagaimana parameter hukum yang efektif yaitu apabila tercakup keadilan, kemanfaatan, dan kepastian dalam hukum, aspek kepastian harus diupayakan mendekati titik keseimbangan dengan aspek lainnya yaitu keadilan dan kemanfaatan. Akhirnya, peresensi memberikan rekomendasi buku ini untuk dibaca oleh seluruh kalangan yang tertarik memperdalam kajian mengenai kemasyarakatan. Mengingat ilmu hukum progresif bersifat interdisipliner maka buku ini tidak terbatas pada pembaca yang berlatar belakang sarjana hukum.
Posting Komentar