- Back to Home »
- RESENSI BUKU »
- Jiwa-Jiwa yang Belum Selesai
Posted by : Unknown
Judul Novel : Istana Jiwa
Pengarang : Putu Oka Sukanta
Penerbit : Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat-J A K E R dan LKK
Cetakan : Pertama, Februari 2012
Jumlah halaman : xviii + 323
Ukuran : 18 x 11,5 CM
Harga : Rp 70.000,
Putu Oka Sukanta merupakan salah satu pengarang Indonesia yang begitu getol mengangkat tema peristiwa di seputar tragedi nasional sebagai rentetan dari peristiwa G 30 S 1965 dalam berbagai bentuk karya sastra seperti novel, puisi dan cerita pendek. Istana Jiwa adalah novel terbaru Putu Oka yang berkaitan dengan peristiwa 1965 dengan tekanan khusus yaitu menceritakan sepak terjang kaum perempuan terutama para isteri yang suami-suaminya di penjara dengan tuduhan terlibat G 30 S/ PKI. Novel lain yang bisa disebutkan yang bertemakan peristiwa 1965 karya Putu Oka Sukanta yaitu Merajut Harkat.
Secara Sastra, novel Istana Jiwa tidaklah begitu menarik. Alur penceritaannya datar, mengalir begitu saja dari rentang waktu sebelum peristiwa 1965 sampai BJ Habibie menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Akan tetapi dalam setiap babnya kita akan disuguhi berbagai info yang bisa jadi mengejutkan. Misalnya pada Bab 17 halaman 289, kita temukan: bagaimana Sudharnoto, pencipta lagu Garuda Pancasila yang lagunya diputar terus-menerus oleh Orde Baru untuk mengganyang komunisme ternyata juga tak mendapatkan penghargaan yang layak oleh Orde Baru. Sudharnoto dikenal sebagai salah satu pimpinan Lekra di bidang musik. “Ia tahu bagaimana caranya hidup. Ia tidak mati sebagai seniman walau hujan badai.”
***
Novel ini dibuka dengan optimisme atas penemuan jalannya revolusi kita melalui Politik Persatuan Nasional dalam melawan Imperialisme menuju masyarakat adil dan makmur atau sosialisme Indonesia. Melalui Maria, mahasiswi FKUI, anggota CGMI sekaligus anggota Partai Komunis Indonesia yang energik tetapi juga seorang Katolik yang taat disampaikan: “…antara CGMI dan GMNI terdapat kesamaan dan bisa bekerja sama (h. 4). CGMI dan GMNI adalah kelompok mahasiswa yang mendukung ideologi Sukarno dengan manifesto politiknya yang anti imperialisme, neokolonialisme, habis-habisan (h.9). Lihat juga halaman 18.
Sejauh pembacaan dilakukan, Istana Jiwa bisa dikatakan juga sebagai novel bertemakan keluarga di tengah gerak revolusi bangsanya dengan setting sejarah atau perspektif sejarah dari penemuan jalannya revolusi kita, kegagalannya, kehancurannya, penyelewengan revolusi oleh Orde Baru dan peluang untuk membangun kembali jalannya revolusi pasca mundurnya Jendral Soeharto atas desakan rakyat pada Mei 1998. Pembaca bisa saja diingatkan pada Keluarga Gerilya Pramoedya Ananta Toer yaitu bagaimana satu keluarga berantakan ketika menghadapi usaha kembalinya kolonialisme di masa revolusi fisik. Di Istana Jiwa, banyak keluarga dibikin berantakan oleh Orde Baru dengan tuduhan terlibat G 30 S/PKI 1965. Walau begitu tetap saja ada keluarga yang teguh mengarungi penghinaan dan penistaan oleh Orde Baru; dengan begitu melakukan perlawanan. Hanya saja keluarga yang diulas secara detail sehingga tampak menjadi “cantus firmus” dalam novel Istana Jiwa ini adalah keluarga Rampi, keluarga yang dikenal komunis sekaligus Katolik.
Rampi, ayah Maria, dikenal sebagai tokoh komunis, anggota Komite Sentral, anggota MPRS yang punya jabatan di pemerintahan, penulis ulasan ekonomi yang tajam dan jernih di Harian Rakyat, tak begitu menaruh perhatian pada jalinan cinta yang dibangun anak gadis satu-satunya, Maria. Rampi begitu fanatik pada politik hingga menurut Maria, “Bapaknya jarang sekali menyediakan waktu bagi keluarga. ” (h.11). Tetapi Ibu Suri, Ibu Maria, yang menikah secara Katolik demi Rampi (h. 292-293) walau kemudian ditinggalkan Rampi bahkan Rampi sempat melakukan KDRT (h.282), justru bimbang jika Maria menikah dengan lelaki (Lasono) beda iman walau menurut Maria satu pemahaman dalam ideologi. Bukankah ia (Lasono, mahasiswa tingkat 5 sekaligus pacar Maria) sahabat dalam politik, sesuai dengan ajaran yang pernah diterimanya? Orang nasionalis, sekutu dalam revolusi melawan imperialisme dan tuan tanah (h.9)
Putu Oka Sukanta menutup cerita ini dengan nada tak yakin, pesimis dan galau.
“Suharto jatuh mewariskan hutang 43 milyard dollar, sama dengan 387 triliun. Anak, cucu dan cicit kita harus ikut membayarnya.”
“Bangsat! Adili dan rampas semua kekayaannya.” Sahut Anton (suami Maria yang seiman dan sepolitik-ideologi..) jengkel.
“Mana mungkin, mana mungkin.” h.316
Kemudian ketika Rakyati, isteri kedua Rampi, mengantarkan buah hatinya hasil hubungan dengan Rampi: Fajar Rampindo yang berarti cahaya pagi penerus Bapak Rampi yang Indonesia, Maria tak begitu menyambut dengan antusias bahkan terkesan sinis dan ketus. Usaha persatuan keluarga Rampi menemukan jalan buntu. Maria melepaskan peluang begitu saja. Tak ada jalan kembali dan “Fajar Rampindo” dibiarkan mencari jalan sendiri
“Mana ada lagi itu. Semua buku sudah diambil perampok. Sekarang sudah zaman reformasi, presiden kita seorang intelektual didikan jerman, mungkin bisa dicari di toko buku loakan di Pasar Senen atau di Perpustakaan Nasional. Siapa tahu sudah dibuka akses ke arah itu.”
Novel ditutup di Jakarta, awal 2010-akhir 2011. ( h.323)
Akan tetapi Joesoef Isak, seorang jurnalis dan dikenal sebagai editor bagi karya-karya Pramoedya Ananta Toer, mantan tapol Orde Baru juga, justru memberikan kesimpulan baru setelah 10 tahun Soeharto jatuh yaitu perlunya kembali Persatuan Nasional melawan Imperialisme sebagaimana diceritakan dengan begitu antusias dan penuh harapan di awal novel ini.
Pada pengantar buku Zhou Enlai, potret seorang intelektual revolusioner, bakti sepanjang usia membangun tiongkok modern, karya Han Suyin, penerbit Hasta Mitra, tahun 2008, Joesoef Isak menulis:
“Sekarang— hari ini — kita tentu berhak bertanya, benar atau salahkah sikap mereka? Sejarah sendiri jangan pernah dilupakan, tetapi generasi baru sekarang tidak perlu dan jangan sampai mengangkat konflik sesama cita-cita di masa lalu menjadi bahan pertengkaran aktual hari ini. …Sejarah harus dipelajari bukan untuk perpecahan tetapi untuk tidak melakukan lagi kesalahan mubasir masa lalu. Dengan kesadaran politik yang tinggi, tugas kita hari ini mutlak menggalang kekuatan pendukung kemandirian Indonesia, tahu secara baik bagaimana menangani perbedaan dalam barisan sendiri, dengan tepat mengelola perbedaan itu untuk justru menjadikannya kekuatan kubu Indonesia mandiri yang ampuh. Dengan sendirinya kubu persatuan itu juga perlu mengenali betul siapa musuh utama sesungguhnya yang harus dilawan bersama. Yang jelas, musuh utama adalah masih tetap imperialisme global berwajah semi-kolonial yang punya lahan pembiakan di dalam negeri dan selama puluhan tahun dipersonifikasi oleh Suharto dengan Golkar sebagai kendaraan politik berikut semua organisasi afiliasinya. Tetapi Suharto di tahun 1998 sudah lengser, tidak usah mutlak kita anggap Golkar dan sisa-sisa pendukung Suharto masih tetap sebagai musuh utama yang harus ditaklukkan. Itu salah besar, kecuali kalau sisa-sisa Orde Baru itu tetap bersikukuh menggantung terus pada Suharto, apalagi menjadi perpanjangan di dalam negeri bagi kekuatan imperialisme global yang memang punya agenda ingin mengatur Indonesia tetap tergantung pada kapitalisme global.
Yang paling celaka, kalau kekuatan yang seyogianya sekubu,…tetapi berbeda pendapat, sebagai lawan utama yang perlu disingkirkan. Menganggap sekutu sendiri yang berlainan pendapat lebih berbahaya daripada musuh utama yang wajib ditaklukkan.”
***
Putu Oka Sukanta menempatkan langkah perempuan, baik yang memang mantan aktivis maupun ibu-ibu biasa yang menjadi (tetap) tangguh dalam melawan penindasan dan penistaan Orde Baru sebagai sentral di Istana Jiwanya. Pada akhirnya menuntut kepastian tentang posisi yang membahagiakan bagi perempuan di tengah perjuangan dan masyarakat yang dicita-citakan. Tentu bukan seperti yang dipikirkan Ibu Suri:
“Selalu dalam keadaan kritis, perempuan ambil semua urusan. Ia menjadi barisan terdepan. Kalau sudah aman, laki-laki datang menggeser kita ke dapur saja.” h. 195.
Novel ini layak dibaca oleh generasi sekarang dan berbagai komponen bangsa karena menyuguhkan berbagai persoalan yang tak selesai di Indonesia akibat peristiwa G 30 S 1965. Bukan saja realitas kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi yang menuntut penyelesaian yang adil tapi juga menuntut evaluasi menyeluruh segenap komponen bangsa terutama peranan media agar Indonesia yang mandiri, adil dan makmur sebagaimana cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 1945 menemukan kembali jalannya.
Posting Komentar