Posted by : Unknown





-Tulisan ini disadur dari novel Antonio Skarmeta yang berjudul Il Postino (judul dalam versi Inggris dan Indonesia ) atau Ardiente Paciencia (judul dalam versi Spanyol)-

Oleh: Ragil*

Hari itu, ketika aku menerima telegram yang sangat penting dalam sejarah hidupku, tukang pos sahabatku itu nrocos tentang cinta yang membakar hatinya. Mau tidak mau, sebelum membacanya—dan telegram itu masih tergenggam ditanganku---aku harus mendengarkan curahan hati sang tukang pos itu—yang menjadi cerewet karena cinta itu dan menjadi sok pujangga ketika menggambarkan montoknya payudara sang perempuan (dengan tidak malunya, metafor-metafor yang diambilnya berasal dari puisi-puisiku). Sampai akhirnya aku berkata—karena ia terus meluncurkan kata-katanya yang tanpa rem itu: “Dengar, Nak. Kau mengantarkan sepucuk telegram penting untukku dan kalau kita terus-terusan membicarakan Beatriz Gonzales pesan ini akan membusuk ditanganku”—sebuah usiran yang halus sebetulnya. Tukang pos itu tidak pergi, tetap berdiri ditempatnya, seperti tonggak yang tertancap—dan aku benar-benar tidak tega mengusirnya—sehingga, aku biarkan saja ia ditempatnya. Aku pun membaca telegram itu, ternyata telegram dari Komite Sentral Partai (Partai Komunis Chili): AKU DICALONKAN MENJADI PRESIDEN.
Pecalonanku itu segera membawa anganku mengembara ke masa lalu, masa-masa ketika aku masih muda. Anganku segera berhenti pada tahun 1945, ya, masa-masa ketika aku bergabung dengan Partai Komunis dan terpilih menjadi senator Republik. Tahun itu merupakan tahun yang penuh represif, penindasan, kesewenang-wenangan. Masa-masa Presiden Gonzalez Videla sangat represif, terutama peristiwa tahun 1947 itu, ketika dengan kejam dan brutal ia menghadapi aksi buruh. Aku memprotes dengan keras tindakan bar-bar itu, sampai akhirnya aku harus bergerak dibawah tanah sebelum akhirnya harus keluar dari Chile dan baru pulang “kampung” lagi tahun 1952. Sungguh kejadian-kejadian yang tidak dapat terlupakan, hidup dalam suasana yang menegangkan, yang jantung selalu berdebar-debar ketika melihat orang yang mencurigakan. Pada masa bergerak dibawah tanah itu, aku sempat bepergian ke Uni Soviet. Bagiku, Soviet adalah negeri yang perpustakaan-perpustakaannya, kampus-kampusnya, dan teater-teaternya terbuka untuk semua orang. Sungguh sangat senang aku berada disana, Rakyatnya memberikan penghargaan Lenin Peace Prize dan Stalin Prize—yang tentu tidak akan aku lupakan sepanjang hidupku. Masa-masa bawah tanah juga memberikan kesempatan kepadaku untuk belajar sejarah Amerika Latin, Marxisme. Hasilnya, kumpulan puisi yang aku beri judul Canto General (1950), yang berisi 340 puisi, dan sempat dilarang di Chili. 
Terus terang, Garcia Lorca yang gugur dalam perang saudara di Spanyol itu, yang banyak memberikan pengaruh dalam memilih kata-kata dalam puisi maupun dalam aktivitas politikku. Sejak kenal Lorca, puisiku mulai berorentasi politik dan peduli pada masalah-masalah sosial. Ya, karyaku España en el Corazón –Spain in My Heart (1937) yang telah menjadi tonggak baru kehidupan kepenyairanku. Gaya penulisanku menjadi lebih langsung dan sesederhana mungkin, agar lebih mudah dipahami oleh Rakyat tertindas. Aku mulai memihak mereka yang ditindas. Aku tersenyum kecut, mengingat-ingat peristiwa masa lalu itu, aku ternyata pernah melakukan sesuatu yang sebetulnya diluar keberanianku. 
Bayangan masa lalu itu segera kabur setelah tukang pos tiba-tiba meminta pamit, aku segera menyadari bahwa masih ada orang disampingku. Segera aku lepas kepergian tukang pos dengan pandangan mataku. Setelah tukang pos hilang dari pandangan mata, aku segera membalik badan, masuk menuju beranda rumah. Sambil duduk diberanda rumah yang menghadap ke laut, kupandangi teregram itu. Ya, Aku hanya punya waktu dua hari untuk berkemas-kemas. Sebetulnya masih ada puisi yang belum aku selesaikan—karena dua hari setelah telegram itu sampai kepadaku, sebuah truk yang hingar bingar penuh dengan tempelan poster-- “Neruda for President”-- datang ke tempatku, pulau kecil di Isla Negra. Truk itu kemudian membawaku keluar dari daerah-daerah yang dipenuhi nelayan-nelayan miskin itu, menuju hingar bingarnya kota. Bertepatan dengan peristiwa itu, Ku goreskan dalam buku harianku kalimat-kalimat berikut ini:

“Kehidupan politik menyerbuku bagi halilintar dan merenggutkan aku dari karyaku. Massa besar manusia adalah guru yang paling agung yang pernah kupunyai. Aku bisa mendekati mereka dengan rasa malu bawaan seorang penyair atau kehatian-hatian seorang pemalu, tetapi begitu berada ditengah mereka, aku merasa berubah. Aku adalah bagian dari mayoritas hakiki; aku hanyalah sehelai daun dari pohon besar itu.

Mulailah proses pemilu itu, juru kampanye-juru kampanye masuk ke daerah-daerah terpencil, yang bahkan baru dikunjungi sekali dalam rentang hidup. Di kota-kota terpencil, kami dari partai komunis bicara kepada Rakyat, bahwa mereka miskin bukan karena malas, tapi karena ada sekelompok orang yang merampas hak-hak mereka. Di perkampungan nelayan kami bicara, bahwa hidup nelayan bisa makmur kalau tidak ada sekelompok orang-orang rakus, yang bisa hidup kaya rasa dengan memakan uang Rakyat. Begitu juga di perkampungan kumuh, dikampus, selalu kami sampaikan, bahwa kemiskinan bukan karena malas, tapi karena kapitalisme. Di manapun tempatnya, kami selalu katakan, bahwa sosialismelah jalan keluar untuk mengatasi kemiskinan itu. Ya, sosialisme, suatu tatanan hidup yang menghargai setiap tetes keringat kerja manusia, dimana orang akan memperoleh hasil sesuai dengan kerja mereka. Dalam hati aku gembira, ketika melihat mata Rakyat yang selama sebelumnya sayu, tapi, begitu mendegar kata-kata kami, tatapan-tatapan sayu itu digantikan tatapan yang berbinar-binar.
Dua bulan kemudian—tidak terasa aku telah menjelajahi kota demi kota di Chile selama dua bulan-- aku kembali ke kampung nelayan itu. Truk yang membawaku berhenti tepat di depan rumahku —nelayan-nelayan miskin itu menyambutku, termasuk tukang pos itu. Aku memberikan pidato singkat. Rakyat menyambut pidatoku yang sebenarnya biasa-biasa saja. Kembali aku ke rutinitas semula, membuat puisi, menjawab surat-surat, memandang deburan ombak, mendengarkan kicau burung camar di lautan lepas yang kadang menukik ke lautan menangkap ikan-ikan pindang, bermain-main dengan kepiting yang jalannya terseok-seok karena terlalu berat membawa capitnya, membuat jam pasir, melihat-lihat koleksi patung dadaku, mendengarkan musik. Sampai kemudian kabar yang mengembirakan itu sampai kepadaku, 4 September, Allende memenangkan pemilihan umum di Chile yang mengantarkannya menjadi presiden. Inilah sejarah pertama kalinya bagi partai marxis di dunia yang menaiki tampuk kepemimpinan lewat pemilu. Tidak ketinggalan Rakyat di daerahku juga menyambut kemenangan ini dengan penuh suka cita —bagi mereka inilah saat-saat kemenangan orang miskin, orang miskin yang biasanya selalu di bawah bisa berkuasa saat ini, Hidup Allende! Hidup Sosialisme!--teriakan-teriakan mereka dengan suka cita.
Aku sendiri, setelah masa suka cita itu, diangkat menjadi duta besar di Prancis. Ah, kembali kutinggalkan tempatku yang sunyi itu, tetapi ketika aku jauh darinya selalu menjadi tempat yang aku rindukan dan kerinduan ini sering kali menjadi kata-kata dalam puisiku —tetapi sepeninggalku, kampung itu menjadi ramai karena pemerintah Allende mulai menggalakkan pariwisata di tempat itu, buruh-buruh yang berlibur disarankan untuk pergi ke pantai yang dulunya sepi itu, sejak saat itu, apalagi setelah saluran listrik masuk ke kawasan itu, restoran-restoran berdiri, televisi mulai masuk, pendek kata, mulai hiduplah kota itu. Prancis memang negara yang paling sempurna, dalam makna revolusinya, sehingga disana berkembang segala peradaban dunia—ilmu pengetahuan, mode-modenya yang sudah populer di seluruh pelosok dunia, harum parfum yang selalu menjadi dambaan perempuan-perempuan itu, anggurnya yang bisa menghangatkan tubuh dua kekasih yang sedang kedinginan, pendidikannya, bangunan-bangunan tinggalan masa lalu yang bisa terawat dengan baik, museum-museumnya, perpustakaan-perpustakaanya. 
Sebuah pengalaman berharga ketika ada di Prancis, aku mendapat hadiah Nobel dalam bidang kesusastraan. Hadiah ini —walaupun membanggakan— tetapi lebih banyak merepotkanku, aku harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kadang tidak kenal waktu, menghadiri undangan ini undangan itu, wawancara di televisi yang jarang aku lakukan sebelumnya yang tentunya apabila ahli mimik melihatku tentu akan menertawakan penampilanku, dan yang tersulit adalah membuat kata sambutan untuk penerimaan hadiah Nobel yang rencananya akan dibacakan tanggal 13 Desember 1971, belum lagi aku harus menemukan judul yang pas, sebuah judul yang sederhana tetapi berisi —juga harus berbau puitis karena aku seorang penyair. Ya, walaupun aku harus habiskan waktu malamku di meja tulis, sehingga wajahku kelihatan pucat, selesai juga akhirnya kata sambutan itu, aku beri judul tulisan tersebut: Menuju Kota Agung. 
Tidak perlu semuanya aku sampaikan kepada Anda isi pidatoku itu —karena sebagian besar, seperti kisah lelaki-lelaki sejati yang sedang mengembara untuk menguji kesejatianya— sehingga aku sampaikan bagian-bagian yang penting saja. Inilah bagian-bagian yang aku anggap penting itu dari pidatoku:

“Dengan menyentuh konsekuensi-konsekuensi ekstrem tugas kepenyairan tersebut, entah benar entah keliru, saya menetapkan bahwa sosok saya dalam masyarakat dan di hadapan kehidupan adalah sosok yang dengan cara sederhana memilih berpihak. Saya putuskan demikian ketika saya menyaksikan begitu banyak kemalangan yang bermartabat, kejayaan yang sunyi, dan kekalahan yang aku. Di tengah arena perjuangan Amerika saya mendapati bahwa tugas kemanusian saya tak lain adalah bergabung dengan kekuatan besar massa rakyat yang terorganisir, bergabung dengan kehidupan dan jiwa yang akrab dengan derita dan harapan. Sebab hanya dari arus besar rakyat inilah perubahan yang diperlukan muncul, demi sekian pengarang dan demi bangsa. Dan seandainya sikap saya ini melahirkan penolakan yang sengit atau keberatan yang bersahabat, yang jelas saya tidak bisa menemukan cara lain bagi seorang pengarang di negeri-negeri kami yang teramat luas dan kejam. Itulah cara paling sederhana jika kita menghendaki kegelapan menjadi taman bunga, jika kita ingin membagi perhatian kepada berjuta-juta rakyat yang tidak pernah belajar membaca apa yang kita tulis atau bahkan tidak belajar membaca apa pun sama sekali, yang tidak bisa menulis apalagi menulis kepada kita. Keberpihakan membuat saya merasa di rumah sendiri di kawasan terhormat ini dan tanpa itu mustahil bagi kita untuk menjadi manusia utuh.
Kami mewarisi kehidupan rakyat yang merana ini, yang menyeret-nyeret beban kutukan selama berabad-abad, rakyat yang paling mempesona, paling murni, yang dengan bebatuan dan logam mereka ciptakan menara yang menakjubkan dan berlian yang memukau kilaunya —rakyat yang mendadak-sontak dirampok dan dibungkam di zaman gelap kolonialisme yang masih membekas hingga kini.”

Ya, hadirin yang ada diruangan itu menyambutku dengan gemuruh tepukan tangan —semoga bukan tepukan yang kosong. Aku memang sudah menambatkan pilihanku: aku memihak mereka yang lemah, yang selalu kalah—dan itulah menurutku tugas seorang penyair sepertiku. Aku tidak bisa hanya bermain dengan kata-kata, tetapi harus memahami bagaimana darah orang-orang miskin mengalir, bagaimana degupan jantung mereka setelah pulang kerja tetapi hasilnya tidak sebanding dengan keringat yang telah mereka keluarkan, bagaimana nyanyian-nyayian alami yang berasal dari irama musik dalam perut yang kelaparan, aku harus tahu bagaimana anak-anak orang miskin belajar hidup, bagaimana buruh-buruh menghasilkan barang tetapi mereka tidak mengenal barang apa yang telah mereka buat, ya, yang jelas aku harus berada ditengah-tengah mereka, yang miskin bukan karena takdir, tetapi karena memang dimiskinkan oleh sistim yang dibuat orang-orang yang berkuasa. Bukan, bukan aku hendak menjadi mesias bagi orang miskin, tetapi memang itulah tugas yang harus aku jalankan sebagai seorang penyair. Inilah alasanku kenapa aku ambil bagian dalam proses perubahan di Chili —sebuah negeri yang terbelakang— yang sekarang sedang merangkak dengan penuh harapan menuju sejarah yang cerah. 
Hari terus berjalan, matahari terus bersinar sesuai dengan hukumnya, begitu juga dengan keadaan ini. Awalnya semua berjalan dengan optimis, masa-masa penuh gairah itu, masa-masa Pemerintahan Allende. Tetapi, adakah musuh kebaikan akan tinggal diam? Dan memang ini yang terjadi. Kekuatan-kekuatan oposisi —yang sebetulnya kekuatan kanan, yaitu kaum pengusaha dan tentara-- mulai mengerogoti Pemerintahan Allende. Aku memang tidak mengetahuinya secara pasti, bagaimana sebenarnya “kemunduran” itu mulai terjadi, tetapi apabila aku baca surat dari tukang pos sobatku itu, situasinya mungkin sebagai berikut:

“Don Pablo, barang-barang mulai sulit didapatkan, seakan-akan semuanya hilang ditelan bumi. Mula-mula daging untuk membuat sup yang raib, sehingga sup itu hanya berisi sayur mayur yang mengapung-apung dan tulang-tulang tanpa sesayat daging pun, kemudian menyusul minyak, gula, deterjen, beras —semuanya menjadi barang yang langka, menjadi barang mewah. Selain itu, pasar-pasar gelap juga merebak, menyelundupkan barang-barang dari luar negeri. Di pelabuhan, ikan-ikan yang ditangkap oleh nelayan banyak yang membusuk karena truk-truk berpendingin --yang sebagian besar milik orang-orang kaya-- yang biasa membawa ikan-ikan itu, sopir-sopirnya pada mogok— selama Allende memerintah, nelayan diberikan kredit lunak untuk meningkatkan produksi ikan, sehingga bisa mengurangi pengeluaran pemerintah untuk daging impor, hasilnya, produk nelayan meningkat, truk-truk yang berpendingin pergi dari pelabuhan selalu dengan muatan yang penuh. Maka, ketika truk-truk berpendingin itu mogok —serikat-serikat buruh truk, yang didominasi orang-orang kaya itu, mengumumkan mogok sampai waktu yang tidak ditentukan— akibatnya, ikan-ikan itu hanya menumpuk di tempat pelelangan, lama kelamaan membusuk dan kemudian menebarkan aroma yang tidak sedap, yang menyebar ke seluruh kampung, mengundang datangnya pasukan lalat dan tikus, tidak ada pilihan lain bagi nelayan, selain membuang bangkai-bangkai ikan itu ke laut lagi —tapi aneh Don Pablo, setelah ikan-ikan itu dibuang kembali ke lautan, angkutan-angkutan beroperasi lagi—inilah yang meneguhkan kenyakinanku, memang semuanya yang terjadi telah direkayasa, bukan kebetulan, tetapi ada tangan-tangan yang bermain dibalik krisis yang sedang melanda seluruh Chili ini, tangan-tangan ini yang menginginkan Pemerintahan Allende yang sosialis itu runtuh, sehingga kelompok-kelompok kanan bisa berkuasa lagi. Lahan yang subur memang bagi kekuatan anti pemerintah Don Pablo, kekacauan-kekacauan ekonomi ini dijadikan amunisi bagi kekuatan-kekuatan kanan, mereka berkampanye-kampanye di semua tempat —seperti awal pemilu—termasuk di kampung kita, mereka mulai berkoar-koar bahwa ini akibat ketidak-becusan dari pemerintahan Allende, mereka membuat perbandingan-perbandingan, bahwa kemiskinan yang terjadi di Chili lebih parah bila dibanding yang terjadi di Etiophia dan Soviet. Mereka itu yang menyerukan kepada perempuan-perempuan Chili —yang kemudian diikuti orang-orang kaya, termasuk mertuaku-- maksudnya mertua tukang pos— untuk memukul panci, wajan, sebagai tanda protes dan menuntut agar Allende Mundur. Semakin hiruk pikuklah Chili dan kampung kita Don Pablo, tentu kalau kau ada disini akan membariskan kata-katamu dalam puisimu.” 

Situasinya memang semakin memburuk, krisis, akibat konspirasi kekuatan-kekuatan anti sosialisme. Saat-saat itu akhirnya tiba juga, ketika semua radio mengumandangkan lagu-lagu perang dengan hentakan-hentakan iramanya—aku sedang sakit ketika itu, sudah tidak di Prancis lagi, tetapi sudah kembali di kampung nelayan itu, Isla Negra. Menurut penuturan tukang pos sahabatku itu, ketika ia hendak pergi ke kantor pos, ternyata kantor itu sudah dijaga oleh tentara, jalanan sunyi senyap, hanya disana-sini terdengar suara tembakan yang kadang dalam frekuensi yang lambat, kadang dengan frekeunsi tembakan yang cepat. Ya, rumahku sendiri ternyata sudah dijaga oleh segerombolan tentara, sedangkan dikejauhan, sebatas aku masih bisa memandang, terlihat sorot lampu tentara yang sedang mengadakan patroli, tidak ketinggalan suara helikopter sering berputar-putar di sekitar pelabuhan. Ya, saat kudeta itu telah dimulai. Jendral Pinochet dengan sandinya Operasi Jakarta itu, tepat pada tanggal 11 September 1973, menyerbu istana presiden, Allende ditembak tepat dikepalanya sampai terburai otaknya —istrinya sendiri tak diperkenankan untuk melihat jasatnya, walaupun untuk terakhir kalinya. Tentara terus melaju, masuk kepedalaman-pedalaman yang dianggap basis komunis, melakukan penangkapan-penangkapan kepada siapa saja yang dianggap pro komunis, ada yang dijebloskan ke dalam penjara, ada yang ditembak dipinggir jalan, mayatnya dibiarkan begitu saja sampai anjing-anjing yang kelaparan mengerogoti bagian demi bagian dari mayat itu. Pembersihan itu telah dimulai oleh Pinochet
Sementara itu, kondisiku semakin memburuk, mungkin ajal sudah akan segera tiba, ya aku teringat apa yang diucapkan Mercutio saat tertusuk pedang Tybalt: “Tidak, ini tiadalah sedalam sumur, tiada pula selebar pintu gereja; tapi cukuplah, cukup berpengaruh: temui aku besok, dan kau harus mendapatkan seorang tukang kubur untukku”. Dalam saat-saat terakhir hidupku ini —yang telah dikucilkan dari kehidupan— sahabatku hanya tukang pos itu. Sudah saatnya aku lantunkan puisiku:

“ Aku pulang ke laut dibungkus langit,
kesenyapan antara dua gelombang
menciptakan tegangan wingit
kehidupan mati, darah berhenti
lalu gerak baru mengembang
dan suara ketak-berhinggaan kembali berkumandang”

Epilog:
Pablo Neruda akhirnya meninggal dunia 23 September 1973 di Klinik Santa Maria. Rumahnya, di kaki gunung San Cristibol di Santiago dijarah, jendelanya dipecahkan, semua barang yang ada digenangi dengan air. Keesokan harinya, ditengah hunusan bayonet tentara fasis, penduduk membanjiri pemakaman sang penyair, untuk memberikan salam yang terakhir. Di dekat gundukan kuburannya, orang-orang melantunkan lagu Internationale —untuk Sang Penyair, Allende dan untuk sosialisme.
Terlahir pada tanggal 12 Juli 1904, di Parral dengan nama Neftalí Ricardo Reyes Basoalto. Ayah Pablo Neruda adalah Don Jose del Carmen Reyes Morales, seorang buruh rel kereta api yang miskin. Ibunya Rosa Baoalto de Reyes, seorang guru, yang mati akibat terkena TBC saat Neruda masih bayi. Mulai menulis puisi sejak usia sepuluh tahun. 
Pada umur 12 tahun ia bertemu dengan seorang penyair Chili, Gabriela Mistral, yang juga pemenang penghargaan nobel sastra lainnya dari Chili pada tahun 1945. Perempuan Amerika Latin pertama yang memenangkan Nobel. Gabriela Mistral juga kepala sekolah sebuah sekolah menengah atas di kampung halaman Pablo, yang mendorong Pablo untuk menekuni kebiasaan menulisnya.

Total Tayangan Halaman


counter web

Categories

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

- Copyright © Diaspora -- Powered by Blogger - Designed by Efrial Ruliandi Silalahi -