Posted by : Unknown


Sejumlah pesohor tumpah ruah dalam satu film. Ada Jackie Chan, Jet Li, Andy Lau, Zhang Ziyi, Leon Lai, Donnie Yen, dan Tony Leung (Tony Besar, bukan Tony Kecil yang panas berduet bareng Tang Wei dalam “Lust, Caution”). Cuma dapat peran minor. Menyokong propaganda? Jangan berharap terlalu banyak aksi silat ciamik meski trio pefilm laga lagi kumpul. Jackie Chan dan Jet Li sedang tidak mengulang manisnya “Forbidden Kingdom”. Demikian halnya Donnie Yen, ia tak hendak reuni dengan Jet Li usai “Hero” –Zhang Ziyi juga terlibat dalam film ini. Ini kali kedua Jackie tak memamerkan olah aksi stunt, setelah “Shinjuku Incident”. Meski ada scene pertempuran, film ini sama sekali tak menampilkan aksi kung fu. “The Founding of a Republic” bercerita soal bagaimana Negara Republik Rakyat Cina lahir. Tentu saja, yang menjadi tokoh paling menonjol adalah dua orang yang saling berseberangan (tepatnya bermusuhan, malah), Mao Zedong dan Chiang Kai-shek.
Dua peran besar itu diserahkan kepada duo aktor senior yang sangat tenar di negeri sendiri, namun belum go-international. Tang Guoqiang melakoni Mao sedangkan Zhang Guoli jadi Chiang Kai-shek. Mereka dikelilingi oleh para pelaku sejarah yang tak kalah pentingnya. Ada janda Sun Yat Sen, Soong Ch’ing-ling. Ada juga tangan kanan Mao, Zhou Enlai. Adik Soong Ch’ing Ling, Soong May-ling adalah istri Chiang yang gencar melobi Amerika. Sayang, tak nampak satu lagi dari tiga Soong bersaudara, Soong Ai-ling (“Soong Sisters” juga jadi film apik pada 1990-an yang dibintangi Maggie Cheung dan Michele Yeoh).
Saya pernah membaca kumpulan pamflet perjuangan tulisan Soong Ch’ing-ling dalam bahasa Inggris, ketika kuliah. Dalam tulisan itu, terkesan ia perempuan tangguh, pemberani, garang, berapi-api, sekaligus cerdas. Agitator-propagandis ulung. Namun, dalam film ini, Soong Ch’ing-ling digambarkan sebagai wanita yang lembut, cantik memang, tetap cerdas, bedanya dengan pembawaan yang kalem. Cina, negeri berjumlah penduduk seperempat sedunia, tahun ini berusia 60 tahun –sejak jadi republik, tentunya. Pemerintah hendak memperingatinya lewat film. Perusahaan Film Negara, China Film Group, segera mendapuk sutradara Huang Jianxin. Huang berduet dengan Kepala CFG, Han Sanping. Bujetnya agak cekak, “hanya” 60-70 juta yuan (AS$8,8-10 juta). Tak ayal, para bintang tenar di atas rela diupah di bawah standar mereka. Lagipula mereka cuma melakoni satu-dua take, numpang lewat.
Dasar dibandari Negara, arah film ini mudah ditebak: propaganda. Mao digambarkan sebagai tokoh agung yang dicintai rakyat, menyukai anak kecil, berpembawaan hangat, rela menderita, akomodatif terhadap semua pendapat. Di sisi seberang, Chiang hidup di tengah kemewahan dan blunder dalam megambil langkah penting. Uniknya, Pemerintah Taiwan –yang didirikan oleh Chiang setelah “terusir” dari daratan Cina, tak berniat menyensor film ini. Meskipun, hingga kini, film ini belum edar juga di sana. Maklum, kuota film Cina daratan yang masuk Taiwan adalah sepuluh biji. Film ini kudu antre tayang, hingga 2010. Sebelumnya, “Lust Caution” yang menggambarkan kekejaman spionase Kuo Min Tang pun lolos sensor.
Meski begitu, film ini tak coba menampilkan perbedaan Mao dan Chiang demikian hitam-putih. Keduanya tetaplah tokoh besar, dengan keagungan dan kearifan pemikiran masing-masing, cuma berbeda jalan. Dalam sebuah rapat malam-malam, Mao memadamkan lilin. Alasannya, untuk berhemat. Rapat berarti bicara bersama, “bukan melihat bersama,” katanya. Ada seorang juru masak yang demikian memuja Mao sehingga ia rela menyimpan, tidak menyulut sebatang rokok pemberiannya untuk sekadar kenangan. Hingga Mao memberikan satu pak rokok itu padanya. Untuk memulai long-march yang legendaris itu, Mao berucap, “mempertahankan rakyat dan melepas tanah, kita akan mendapatkan keduanya. Mempertahankan tanah dan meninggalkan rakyat, kita akan kehilangan keduanya. Aku rela melepas (daerah) Yan’an untuk menggantinya dengan seluruh Cina.”
Chiang Ching-kuo (diperankan oleh Chen Kun), putra Chiang Kai-shek, digambarkan sebagai tokoh muda, ambisius, idealis. Ia hendak memberantas korupsi. Di tengah kelesuan ekonomi sehingga Negara harus menetek dana dari Amerika, didapatinya sejumlah konglomerat Shanghai menimbun barang. Celakanya, salah satu pelakunya adalah kerabat sendiri, keluarga Kung, yang notabene adalah penyokong dana partai. Kung adalah pengusaha terkaya di Shanghai pada masa itu. Ia mengawini Soong Ai-ling, bungsu dari tiga bersaudara Soong. Lain kata, Kung adalah ipar Chiang Kai-shek. David Kung, putra pebisnis itu, sepupu Chiang Ching-kuo, dengan enteng berujar, “aku pebisnis, bukan filantropis.” Di tengah dilema itu, Chiang kecil mengadu ke ayahnya. Chiang Kai-shek bertutur apik, “Memberantas korupsi memang berat. Melakukannya akan berimbas pada partai. Namun, tidak melakukannya, akan menyengsarakan Negara.”
Ada beberapa adegan yang dramatis dan berkesan. Usai merebut kemenangan dalam pertempuran di Sungai Yangtse, malam itu para dedengkot Komunis minum. Mabuk-mabukan. Zhou Enlai dan dua kamerad melingkari meja makan. Mao duduk deleg-deleg di belakang, sudah teler. Bertiga, kecuali Mao, mereka menyanyikan bait terakhir “Internationale” dengan gempita. Berangkulan. Mao menyusul gabung.
“Perjuangan penghabisan Bangkit dan melawan Internasionale Pasti jaya di dunia,Perjuangan penghabisan Bangkit dan melawan Internasionale Pasti jaya di dunia…”

Dalam sebuah rapat Liga Demokratik pasca kemenangan Komunis memukul Nasionalis, Mao dan kawan-kawan hendak menentukan bendera Negara. Hampir semua sepakat bendera Cina adalah merah-kuning, perlambang Sungai Yangtse. Tian Han (Donnie Yen), WR Supratmannya RRC, beda sendiri. Ia mengusulkan bendera merah berbintang kuning lima. Satu bintang besar simbol Partai Komunis yang dikelilingi empat bintang kecil pertanda empat kelas yang melingkari partai. Usulan Tian Han mentah. Hingga satu kali, Mao berkumpul dengan aktivis gerakan perempuan. Para wanita menuangkan pandangan mereka, lebih condong memilih bendera merah berbintang lima. Termasuk, Gong Peng (Zhang Ziyi). Pendapat mereka diperkuat oleh Soong Ch’ing Ling. Bendera itu berkesan khidmat.
Ada lagi penentuan lagu kebangsaan. “March of Volunteers” adalah karangan Tian Han. Lagu ini tercipta pada saat perang Cina melawan Jepang pada 1934 (ketika masih bersatu, sebelum pecah antara Komunis dan Nasionalis). Rapat berdebat sengit. Ada yang bilang lirik harus diganti karena sudah tidak sesuai dengan zaman. Ada yang berpendapat lirik tak perlu diubah karena ini menyangkut sejarah. Hingga akhirnya rapat sepakat, lirik lagu nasional itu ajek. Pada bagian akhir cerita, Jenderal Yu Jishi (Andy Lau) menghadap Chiang Kai-shek. Mereka berada di balkon lantai atas. Di luar hujan. Yu melapor pesawat tempur siap berangkat mengebom Beiping –sejak 1949, berganti nama jadi Beijing. Sore hari pukul tiga, di Lapangan Tiananmen (artinya gerbang surga kencana), Mao bakal mendeklarasi Republik Rakyat Cina. Namun, sambung Yu, Amerika urung membantu pengisian bahan bakar.
“Apa artinya?” tanya Chiang. “Pesawat tak bisa kembali,” jawab Yu. “Sudah takdir. Kuo Min Tang hancur oleh tangannya sendiri. Urungkan misi,” perintah Chiang. Yu menjawab berat, “baik.” Yu meninggalkan Chiang. Sebelum pergi dari ruangan, Yu berbalik memandang presiden yang kini lari ke tanah baru itu. Chiang masih berdiri melihat hujan. Di tempat lain, lautan massa gegap gempita menyambut lahirnya republik baru, pada 1 Oktober 1949. Pada saat itu, langit Beiping cerah. Tak pernah ada pesawat Taiwan yang lalu-lalang. Negeri baru lahirlah sudah, Chiang Kai-shek tak bisa mencegahnya.

Total Tayangan Halaman


counter web

Categories

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

- Copyright © Diaspora -- Powered by Blogger - Designed by Efrial Ruliandi Silalahi -