Posted by : Unknown

Gender dan Politik - Masuknya Wanita ke Sektor Publik
Di akhir abad ke-20,berbagai konferensi dan konsensus mulai muncul sebagai bentuk kesadaran dunia internasional akan hak-hak wanita. Kongres-kongres tersebut antara lain International Women’s Year Conference (1975) dan The United Nations Fourth World Conference on Women di Beijing (1995). Kesadaran akan perlunya eksistensi perempuan untuk dilindungi pun semakin besar dari masa ke masa. Seperti diharapkan, negara-negara maju sangat mendukung terbentuknya potensi perempuan di negaranya yang lebih kuat lagi. Didukung pula dengan nilai-nilai kesetaraan yang lebih memadai dibandingkan negara-negara sedang berkembang, perlindungan terhadap hak perempuan pun mulai dibangun dan diberikan dasar hukumnya.

Dalam perspektif dunia barat, konsep feminisme dan hak-hak wanita memang masih sedikit terasa asing dan bahkan kurang populer di kalangan perempuan sendiri. Padahal setidaknya ada beberapa hal krusial yang telah ditetapkan sebagai parameter keberhasilan pemberdayaan gender oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu tentang status ekonomi yang relatif, penghasilan yang memadai, serta akses terhadap posisi parlemen dan profesionalitas. Hal-hal seperti itulah yang turut menumbuhsuburkan kejayaan dan kepopuleran feminisme di dunia barat pada khususnya. Perempuan mulai sadar akan haknya dan mulai berjuang untuk mendapatkan kesetaraan dengan laki-laki, terutama dalam hak dan kewajibannya. Transisi paling penting yang menandai perubahan paradigma peranan perempuan ini adalah mulai masuknya perempuan ke dalam sektor publik yang sebelumnya didominasi laki-laki. Pendekatan feminis radikal sangat tepat digunakan dalam kajian yang lebih dalam mengenai peran perempuan dalam sektor publik. Perempuan mulai memperluas fungsinya dari sektor privat atau rumah tangga menuju sektor publik atau disebut pelayanan masyarakat. Keberadaan tersebut ditopang oleh diratifikasinya berbagai konvensi oleh negara maju seperti The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women pada 1999 yang mendesak negara untuk membentuk hukum yang melindungi perempuan beserta hak-haknya.

Sebagai negara pendukung utama hak asasi manusia, Amerika Serikat lagi-lagi menjadi pemain utama dalam penegakan hak perempuan. Sejak diberikannya hak politik bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum di awal kemerdekaan Amerika, peranan perempuan untuk berpartisipasi lebih luas dalam politik terus diakomodasi oleh pemerintah. Selain itu kemerdekaan untuk berpartisipasi atau berkumpul dan berserikat di negara berkembang jauh lebih buruk dibandingkan di negara maju. Feminis radikal berpendapat bahwa keadaan ini bersumber pada satu akar masalah yaitu sistem patriarki yang sangat ketat diberlakukan di negara berkembang. Terbukti dengan partisipasi politik perempuan Indonesia yang sangat kurang walaupun telah diberlakukan kuota parlemen sebanyak 30 % bagi perempuan. Pandangan bahwa panggung politik adalah masih milik laki-laki sangat berperan dalam kasus ini. Belum lagi kurang adanya pendidikan dan penanaman pemahaman kesetaraan gender dalam tingkat keluarga sampai masyarakat luas.

Sedangkan di negara maju, perempuan sudah diakui kontribusinya, terutama bagi negara dan masyarakat. Sistem patriarki perlahan lebih fleksibel dan mengabsorpsi kepentingan perempuan. Adanya kesamaan penghargaan gender membuat iklim bermasyarakat menjadi lebih adil bagi perempuan. Akses terhadap pekerjaan dan patisipasi politik lebih merata berdasarkan prinsip hak asasi yang lebih populer di dunia barat kontemporer. Pada intinya, hambatan budaya menjadi faktor yang signifikan dalam meninjau intensitas peranan perempuan dalam sektor publik. Kegley dan Wittkopf (2001) menjelaskan bahwa tendensi negara berkembang dalam menyikapi peranan gender adalah melalui kacamata tradisi budaya dan kepercayaan setempat, yang dirasa sangat kuat dan adanya asumsi bahwa perempuan tidak membutuhkan apa yang dipunyai laki-laki.

Sedangkan pembedaan gender sudah semakin memudar dalam perspektif barat, di mana isu mengenai hak perempuan serta pemberdayaan perempuan lebih dominan mewarnai dinamika perkembangan perempuan dalam sektor publik. Terlebih lagi sektor privat juga terkena imbas dari perluasan peranan perempuan ini. Terdapat asumsi bahwa terbukanya akses penididikan bagi perempuan biasanya berhubungan dengan penundaan pernikahan, peningkatan peran dalam urusan keluarga, dan adanya kecenderungan untuk melahirkan sedikit anak saja, agar mereka dapat bekerja. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi dan media juga turut mendukung persebaran ide-ide peningkatan peranan perempuan dalam sektor publik. Kampanye dan pemberitaan yang marak memicu masalah gender menjadi signifikan sebagai suatu isu. Intensitas kampanye dan gerakan pemberdayaan perempuan lebih marak di negara maju karena kesadaran mereka lebih tinggi. Contoh yang paling deskriptif mengenai perbedaan penghargaan peranan wanita antara negara maju dan negara berkembang adalah sebagai berikut. Pada 1893, Selandia Baru menjadi negara pertama yang memberikan wanita hak untuk memilih dalam pemilihan umum. Sedangkan perempuan Kuwait pada tahun 1998 masih berjuang untuk mendapatkan hak yang sama. Dengan pemenuhan hak politik dan ekonomi, peranan di sektor publik dapat lebih berkembang dan diterima masyarakat sebagai perubahan perspektif ke arah yang lebih baik terhadap peranan perempuan itu sendiri.


Pemberontakan Boxer terjadi di China, khususnya China utara (Shantung), sebagai basis kaum petani yang termarginalkan dari peradaban China yang lebih maju di pusat pemerintahan. Kaum petani ini terkonsentrasi di tempat yang banyak terdapat tambang dan jalur rel kereta apinya. Kegiatan mereka bersifat rahasia, dan mereka juga berlatih bela diri dengan mempraktekkan jurus meninju, yang diyakini oleh para petani dapat meningkatkan kekebalan fisik mereka dari senjata. Oleh karena itu, orang barat menyebut mereka “boxer”. Yang menjadi sasaran pemberontakan ini adalah bangsa barat, lebih spesifik lagi adalah kepada para misionaris Kristen yang mereka anggap telah merendahkan derajat dan kebudayaan warga asli China. Saat itu China berada di bawah pemerintahan Janda Kaisar Tsu Hsi dalam Dinasti Qing, dinasti terakhir dalam sejarah China.

1. Latar Belakang Peristiwa

Kaum petani ingin menghancurkan Dinasti Qing yang dianggap tidak becus dalam menjaga isolasi China dari pengaruh barat, terutama setelah China kalah dari Inggris pada 1842 dan China terpaksa mematuhi Traktat Nanjing. Kaum petani ingin membebaskan China dari pengaruh-pengaruh asing yang dianggap merusak kebudayaan dan ideologi China, baik melalui bidang perdagangan, politik, teknologi dan juga religi. Selain itu pihak barat juga melarang kepercayaan Confusianisme di China secara sepihak. Kaum petani tidak senang melihat bangsa barat, utamanya para misionaris Kristen, diberi kedudukan sosial yang lebih istimewa dibanding rakyat asli China.

2. Jalannya Peristiwa

Diawali dengan sengketa terhadap suatu kuil di Shandong antara para misionaris dan rakyat. Setelah misionaris menguasai kuil tersebut dan menjadikannya gereja, para petani pemberontak yang selanjutnya disebut kaum Boxer, menyerang dan membakar gereja tersebut. Pada tahun 1899 Kaum Boxer melakukan pembantaian massal pada misionaris Kristen dan orang China yang menjadi pengikutnya. Para diplomat asing dan warga asing lainnya juga dibunuh. Mei 1900, kaum Boxer mulai memasuki ibukota dan menyebarkan seruannya, dan mereka dijadikan angkatan khusus dan digaji oleh Kaisar. Janda Kaisar Tsu Hsi pada 1900 memanfaatkan pemberontakan ini sebagai alat melawan Barat, dengan meningkatkan suplai makanan ke Peking Legation Quarter di mana orang asing dikepung, sembari memerintahkan agar semua orang asing dibunuh.

Kaum Boxer menyerang Tianjin dan Peking sebagai tindak lanjut dari perintah janda kaisar Tsu Hsi. Kaum Boxer juga sukses membunuh menteri Jerman yang ada di China. China mendeklarasikan peraang terhadap sekutu yang sedang menduduki China. Perlawanan Barat Terhadap Kaum Boxer Negara-negara barat tentu saja tidak terima terhadap pemberontakan ini, karena kepentingan mereka untuk menguasai China terganggu. Negara-negara barat selain Inggris yang turut menginvasi China pun memanfaatkan pemberontakan ini untuk semakin memperkuat legitimasi kekuasaan mereka di China. Maka dari itu, negara-negara barat yang tergabung dalam Sekutu Delapan Negara mulai merencanakan berbagai taktik untuk menghentikan pemberontakan ini. Aliansi ini dikomando oleh Edward Seymour dan Alfred Gaselee. Sementara tentara China dikomando oleh Tsu Hsi. Tentara Sekutu yang terdiri dari Inggris, Amerika Serikat, Jerman, Rusia, Perancis, Jepang, Italia, dan Austro-Hungaria membentuk aliansi untuk menahan pemberontakan ini serta melindungi segala kepentingan mereka di China termasuk para misionaris. Mereka tiba di Peking,di mana mereka dilaporkan merampok dan membantai penduduk setempat, sebagai aksi balasan atas pemberontakan Boxer.

3. Penyelesaian Pemberontakan Boxer

Datangnya ekspedisi Tentara Jerman dengan jumlah sekitar 20.000 personil di bawah Marsekal Count Von Waldesse telah membuat kekuatan pemberontak semakin melemah. Sejak saat itu, kebanyakan tentara Eropa ditarik dari wilayah serangnya dan menyisakan tak seorangpun tentara China di basis-basis perjuangan mereka di Shantung, Nanjing, maupun Peking. Tentara Aliansi juga menghancurkan desa-desa yang pernah dipakai sebagai markas kaum Boxer dan membunuh semua yang ada di dalamnya. Kemudian tentara Aliansi juga mengirim sepasukan prajurit ke Beijing dari Tsientin, setelah meredakan pemberontakan di sana. Kaum Boxer, terutama, ternyata tidak dapat menandingi kekuatan Aliansi. Basis-basis asing yang dulu mereka kepung akhirnya dapat direbut kembali oleh tentara Aliansi, dan ganti istana kaisar yang dikepung. Hal ini telah berhasil memaksa Janda Kaisar Tsu Hsi kabur dari singgasananya. Akhirnya tentara Aliansi merayakan kemenangannya dengan berparade di Kota Terlarang dan mengeluarkan kebijakan perdamaian yang tidak seimbang bagi China, sembari menyingkirkan kaum Boxer dari China.

Total Tayangan Halaman


counter web

Categories

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

- Copyright © Diaspora -- Powered by Blogger - Designed by Efrial Ruliandi Silalahi -