Posted by : Unknown

Di Timur Tengah, lahirlah seorang aktivis Mesir Huda Shaarawi yang kemudian melegenda Pada awal 1920an, ia memimpin perjuangan Mesir untuk merebut kemerdekaan politik dan  memimpin perjuangan hak perempuan di Timur Tengah terkait pendidikan, hak suara dan hukum perkawinan.

Sharrawi lahir di Nur  al – Huda Sultan pada tahun 1879 di sebuah rumah mewah di Minya, Mesir. Ayahnya, Sultan Pasha, adalah seorang tuan tanah yang kaya raya dan sekaligus pegawai pemerintahan sebagai Inspektur – Jendral Mesir. Pada masa itu, adalah hal wajar apabila memiliki dua istri, dan Sharaawi terlahir di lingkungan yang demikian. Ia dibesarkan di Kairo dengan seorang ibu yang tdak dinikahi yang bernama Iabal Hanim, istri suaminya, Hasiba, dan anak-anak dari ayahnya. Sharaawi hidup dalam sebuah rumah yang elegan, dengan tiga lantai, langit-langit yang tinggi dan kebun yang dipenuhi dengan buah dan bunga. Saat ia berusia lima tahun, ayahnya meninggal karena sakit ginjal. Ibunya yang belum berusia 25 tahun beserta janda ayahnya, Hasiba pun hidup dalam keputusasaan.
Sharaawi memiliki seorang adik lelaki , Umar Sultan yang lahir pada 1881, sesaat sebelum ayahnya meninggal. Dari awal, shaarawi menyadari bahwa statusnya sebagai anak tertua tidak ada artinya di hadapan adiknya yang terlahir sebagai lelaki. Umar menerima perhatian lebih dari pada dirinya, dan saat ia meminta kuda seperti yang dimiliki adiknya, ia diberitahu bahwa perempuan tidak pantas menaiki kuda. Shaarawi seringkali merasa cemburuh, menjadi perempuan di dalam dunia yang didominasi oleh lelaki, ia pun menyampaikan rasa frustasinya pada Hasiba, janda ayahnya, yang dipanggil Shaarawi dengan sebutan “Umm Kabira” yang artinya “Ibu Besar”. Hasiba tampaknya mengerti ketidakpuasan Shaarawi.
Dalam buku biografi yang ia tulis dan dipublikasikan pada tahun 1987 dengan judul Tahun-tahun Harem: Memoar Seorang Feminis Mesir (1879 – 1924). Shaarawi menggambarkan hubungan tersebut dengan kalimat begini : “Aku mencintai Umm kabira dan ia juga menyayangiku. Ia, sendiri, berbicara secara terus terang kepada ku terkait beberapa hal. Ia tahu apa yang kurasakan ketika orang lebih memperhatikan adik lelakiku melebihi aku hanya karena ia lelaki. Umm Kabira juga selalu berusaha memadamkan rasa cemburuku terhadap adikku tanpa mengurangi rasa sayangku terhadap adik lelakiku itu”
Image
Datang dari keluarga kaya, Shaarawi menerima pendidikan privat dari guru dan menerima pendidikan harian bersama saudara lelakinya. Ia belajar puisi Turki, kaligrafi, Prancis dan piano. Sebelum ia berusia sepuluh tahun, Shaarawi telah hafal sebagian isi Qur’an. Ia merasa frustasi karena ia tidak bisa memahami apa yang ia hafal; tak satupun yang mengajarinya bahasa Arab. Saat Shaarawi meminta pelajaran grammar Arab, ia ditolak karena perempuan tidak boleh belajar bahasa Arab. Dalam ingatannya, Shaarawi mengekspresikan perasaannya waktu itu: “Aku menjadi depresi dan mulai abai terhadap studiku, benci terlahir sebagai seorang perempuan karena itu menjauhkan aku dari apa yang ingin aku pelajari. Kemudian, menjadi seorang perempuan membawaku pada perjuangan yang aku rindukan.”
Shaarawi tidak mengabaikan studinya dalam waktu lama. Segera ia menemukan inspirasinya dari seorang penyair perempuan bernama Sayyida Khadija al-Maghribiyya, yang sering mengunjungi rumah keluarganya. Sayyida Khadija al-Maghribiyya menarik perhatian Shaarawi karena bisa berdikusi tentang puisi , sastra dan budaya dengan para lelaki dan tampaknya  nyaman untuk dijadikan teman. Hal ini mengejutkan Shaarawi karena kebanyakan perempuan yang ia kenal tidak berpendidikan dan mudah terintimidasi ketika berbicara dengan lelaki.  “Mengenal Sayyida Khadija al-Maghribiyya meyakinkan padaku bahwa dengan belajar, perempuan bisa setara dengan lelaki atau bahkan melampaui mereka” Tulis Shaarawi dalam memoarnya, Terinspirasi dengan puisi, Shaarawi membeli buku dari penjaja buku yang berdagang buku dari pintu ke pintu dan menyelinap ke ruang kerja almarhum ayahnya untuk membaca lebih banyak buku lagi. Ia juga membaca buku milik”
Ketika ia menginjak remaja, Shaarawi menyadari ketidaksetaraan dalam budaya masyarakatnya. Ia menghabiskan masa awal remajanya dengan bergaul erat dengan anak lelaki: saudara lelakinya, tetangga, dan anak lelaki dari kerabatnya. Meski demikian ketika ia mencapai usia puber, sekitar 11 tahun, ia dipaksa masuk dalam kehidupan harem dan sebuah tradisi yang dipaksakan pada perempuan, gadis dan merupakan hal umum yang terjadi di Mesir di kalangan atas dan menengah. Perempuan dan lelaki tinggal terpisah, perempuan ditempatkan di tempat khusus yang disebut harem. Bahkan di dalam rumah, jika Shaarawi ingin berbicara dengan seorang lelaki,ia melakukannya secara diam-diam. Pingitan ini mengikuti Shaarawi dimanapun; saat ia pergi keluar, ia harus mengenakan hijab yang menutupi hampir seluruh wajah dan rambutnya.
Pada saat hijab dan pingitan adalah simbol status. Perempuan yang dipingit dikawal oleh kasim, lelaki yang dikebiri yang biasanya adalah budak dari Sudan dan dikenal sebagai perantara antara perempuan dengan dunia luar. Menjalani kehidupan harem adalah hal yang berat bagi Shaarawi. Terpisah dari teman lelaki yang ia kenal sepanjang hidupnya, ia sekali lagi menjadi frustasi akibat gendernya.
Kekecewaan terbesar Shaarawi terjadi pada tahun 1891 ketika ia berusia 13 tahun, ia ditunangkan dengan sepupunya, Ali,yang jauh lebih tua,berusia akhir 40 tahunan. Shaarawi selalu menganggap Ali sebagai ayah atau kakaknya dan tidak ingin menikahinya. Apa lagi, Ali telah beristri dan memiliki 3 anak, yang semuanya lebih tua dari Shaarawi. Untuk membuat segala hal mudah bagi anak perempuannya, dalam kontrak pernikahan, Ibu Shaarawi meminta Ali supaya menceraikan istrinya dan menjalani hidup monogami dengan putrinya. Setelah 15 bulan menikah, istri pertama Ali Shaarawi hamil. Karena itu, kontrak pernikahan Shaarawi batal dan akhirnya dipulangkan ke rumahnya. 
 Shaarawi menghabiskan waktu 7 tahun terpisah dari suaminya, menikmati hidup yang penuh dengan pelajaran dan konser di Opera House Khedival. Ia juga liburan ke Mediterranean Alexandria. Dalam kurun waktu tersebutlah Shaarawi berkenalan dengan beberapa perempuan asing yang menginspirasinya untuk melakukan perubahan.
Salah satu pengaruh terbesarnya dalam hidup Shaarawi adalah Le Brun, seorang perempuan Prancis yang telah menikahai seorang lelaki Mesir. Le Brun menulis beberapa buku tentang kultur sosial Mesir dan pada tahun 1890 ia membuka salon setiap minggu sekali di rumahnya. Sharaawi sering mengunjunginya untuk berdiskusi tentang situasi sosial, termasuk tentang hijab.
Pada tahun 1900, karena tekanan keluarganya, akhirnya Shaarawi kembali pada suaminya. Kemudian dia memiliki dua anak, seorang anak perempuan bernama Bathna, lahir pada tahun 1903 dan seorang anak bernama Muhammad, lahir pada tahun 1905. Bathna sering sakit dan pernah hampir mati. Shaarawi kehilangan kontak dengan teman-teman perempuannya sementara ia mengabdikan dirinya untuk merawat anak-anaknya.
Akhirnya, saat Bathna sudah sembuh dan sudah tidak butuh terlalu banyak perawatan dari ibunya, Shaarawi mulai bersosialisasi dengan dunia luar lagi. Ia berjumpa dengan seorang Perempuan Prancis bernama Marguerite Clement, yang sedang keliling ke Timur Tengah. Kepada seorang dosen, Clement menjelaskan perjalanannya dan pidato publik yang dia lakukan bersama Shaarawi, dan keduanya kemudian ditawari untuk mengajar tentang  isu perempuan. Dengan bantuan   suaminya, Sharaawi mengajar di sebuah Universitas. Dengan adanya perempuan menjadi dosen untuk pertama kalinya, menandai perubahan norma sosial dalam masyarakat karena adalah hal yang tidak umum seorang perempuan bekerja di luar rumah. Terinspirasi di keberhasilannya, Shaarawi membentuk Asosiasi Perempuan Intelektual Mesir pada tahun 1914 yang bertujuan meningkatkan kehidupan sosial dan intelektual perempuan.
Tentu Huda Al Shaarawi bahagia menjadi dosen perempuan pertama di Mesir. Namun perjuangannya belum berakhir. Shaarawi ingin tidak hanya merebut kemerdekaannya sebagai perempuan tapi juga kemerdekaan bangsanya. Suatu hal yang penting dan membahagiakan karena untuk pertama kalinya perempuan dan lelaki saling bahu membahu merebut kemerdekaan Mesir.
Pada akhir Perang Dunia I, Shaarawi mengalihkan perhatiannya ke nasionalisme sebagai rakyat Mesir yang menuntut kemerdekaan dari Inggris. Pada tahun 1919, Mesir membentuk  partai Wafd,sebuah organisasi politik yang bertujuan meraih kemerdekaan. Suami Shaarawi menjadi pimpinan gerakan . pada 16 Maret 1919, ia mengorganisir aksi besar revolusi. Ia menyerukan kepada seluruh perempuan Mesir untuk mendobrak norma sosial, ia menyerukan kepada mereka untuk meninggalkan pingitan dan ikut turun ke jalan. Aksi tersebut berbenturan degan tentara Inggris, yang memblokir aksi mereka. Shaarawi siap berhadapan dengan tentara, meski dia harus mengorbankan kehidupannya; bahkan ia menyadari mungkin ia akan mati akan tetapi ia tak ingin hal itu terjadi. Dalam hal ini, Shaarawi menghentikan aksi massa dan digantikan dengan aksi diam untuk beberapa jam. Lebih dari beberapa bulan, ketika konfrontasi semakin memburuk; demonstrasi tetap berlanjut, meski rakyat Mesir – termasuk perempuan – kadang harus ditembaki atau dibuang/ diasingkan/ dideportasi
Gerakan nasionalis merebut kemerdekaan, rakyat Mesir baik lelaki maupun perempuan bekerja sama untuk pertama kalinya. Dalam memoarnya, Shaarawi menyebut periode ini sebagai periode terbesar dimana ia dan suaminya punya kolaborasi yang baik. Pada tahun 1920, perempuan telah membentuk tubuh politik nya sendiri, disebut Sentral Komite Perempuan Wafdi dimana Shaarawi menjadi presidennya. Ini untuk pertama kalinya terbentuk organisasi politik perempuan pertama.
Pada bulan Januari 1922, Shaarawi mengadakan pertemuan massal perempuan di rumahnya. Mereka memutuskan untuk melakukan boikot ekonomi melawan Inggris, dmana mereka menolak membeli makanan Inggris dan menarik uang mereka dari Bank Inggris. Karena terbatasnya hak mereka sebagai perempuan, perempuan hanya diberikan peranan mengelola uang di dalam rumah tangga melalui belanja harian. Demkian juga, perempuan tidak berhak mendapat warisan berupa uang atau harta benda atas nama mereka sendiri menurut hukum Islam. Dengan menggunakan jaringan yang luas dari pertemanan dan kenalan, kaum perempuan mengkampanyekan isu mereka.   
Menarik memang perlawanan perempuan-perempuan Mesir dengan memboikot barang produksi Inggris. Memegang keuangan rumah tangga kerap kali dianggap sepele, namun bisa memegang peran penting ketika digunakan sebagai serangan terhadap penjajah. Kisah selanjutnya akan kita hadapkan kepada anda para pendengar, setelah tembang lagu berikut ini persembahan MARSINAH FM (lagu)
Pada tahun 1923, Mesir memenangkan kemerdekaannya, meski Inggris telah memberikan beberapa hak. Di bawah konstitusi baru, perempuan menemukan mereka belum mendapatkan hak pilih dan merasa dikhianati oleh Wafd yang telah menyetujui hak pilih bagi perempuan. Menanggapi hal ini, Serikat Feminis Mesir dibentuk pada awal 1923. Tujuan utama kelompok ini adalah memperjuangkan kesetaraan perempuan di bidang politik, sosial dan legal.
Di bulan Mei 1923 Shaarawi melakukan perjalanan ke Roma untuk menghadiri sebuah konferens Aliansi Perempuan Internasional. Saat ia pulang ke rumah, ia disambut oleh pendukungnya. Shaarawi tidak pernah menyangka, ia menanggalkan Hijabnya sebagai simbol kemerdekaannya. Di sisa hidupnya, melalui aksi individunya melepas Hijab, menjadikannya sebagai aktivis feminis Mesir terkemuka.
Shaarawi mengkampanyekan  usia menikah minimum bagi gadis yang biasanya menikah di usia 13 tahun. Serikat Feminis Mesir juga bekerja untuk melakukan perubahan termasuk hak pilih perempuan, peraturan poligami dan hukum perceraian yang lebih ketat bagi lelaki. Karena ia menyadari bahwa pengetahuan berarti kekuasaan, Shaarawi juga bekerja untuk menyebarkan akses pendidikan bagi perempuan dan anak gadis. Pada tahun 1930, Universitas Mesir adalah universitas yang pertama kali menerima siswa perempuan. Serikat Perempuan Mesir juga membuka klinik bagi perempuan dan anak.
Aktivitas Shaarawi membawanya ke internasional, khususnya di awal perjuangan feminisme dan hak pilih perempuan di dunia. Pada akhir 1930an, saat Perempuan palestina menghadapi krisis politik, mereka menghubungi Shaarawi. Mereka meminta bantuan Shaarawi untuk menggalang dana untuk perjuangan mereka dan melakukan aksi politik dan membantu membentuk Serikat Feminis Arab pada tahun 1944. Karena pengorbanannya untuk negaranya dalam meraih kemerdekaan, Shaarawi diberi penghargaan Nishan al – Karmal pada tahun 1945. Ironisnya, bahkan setelah menerima penghargaan terbesar atas jasanya bagi negaranya, Shaarawi masih tetap tak bisa memberikan hak pilihnya.
Setelah kematian Shaarawi pada 12 Agustus, 1947, di Kairo, Mesir, nama Serikat Feminis Mesir berubah menjadi Masyarakat Shaarawi untuk Pencerahan Feminis, dipersembahkan kepada perempuan yang sudah memberikan besar bagi perjuangan.
Meski tidak sempat menikmati hak pilih bagi perempuan yang ia perjuangkan selama hidupnya, Huda Al Shaarawi pasti bahagia karena perjuangannya membuahkan hasil. Memang bila kita berjuang hari ini, belum tentu hasilnya langsung bisa kita nikmati. Hasil dari perjuangan kita bisa dinikmati suatu saat nanti, oleh generasi masa depan kita.

Total Tayangan Halaman


counter web

Categories

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

- Copyright © Diaspora -- Powered by Blogger - Designed by Efrial Ruliandi Silalahi -