Posted by : Unknown

Marsinah mati muda
sementara kami beranjak remaja
Ia marah pada Kodim
kami cemas pada NEM
Ia bela keadilan kawan-kawannya yang di-PHK
kami bersaing agar lebih pandai dan gampang cari kerja

Padahal,
Marsinah tak butuh nilai tinggi hingga jadi berani
atau kerja patuh untuk jadi kaya
Marsinah tak kuliah hukum agar dapat tulis surat protes pada pengusaha
Tak pun bergelar sarjana hukum untuk tegak muka pada aparat kodim, pembela pengusaha
Marsinah, buruh biasa

Sembilan belas tahun telah lewat
Soeharto-Orde Baru sudah tiada
Namun, keadilan baginya masih pekat
Karena politik dan tentara
tetap pelayan pengusaha dan pendukung Orba

Jangankan penghargaan semu
nama jalan baru
atau tugu
yang ada hanya pengadilan palsu
penghargaan pelipur pilu
sepotong film dan lagu dari pemandai seni pemintal masa lalu

Sementara,
Kami perlu berjilid-jilid buku
oleh orang-orang yang mau maju
menggugat sejarah lalu
mengurai hubungan tentara, pengusaha, dan orde baru
penyebab ia tak kembali, malam itu

Kami butuh tahu
Tak saja siapa pelaku,
kemana ia pergi di hari Rabu
hingga terbaring celaka di pinggir sawah, seratus kilometer dari pondokannya, saat itu.
Namun juga,
kenapa ia disiksa,
pikiran apa yang rasuk masuk kepala manusia,
hingga tega menyiksa,
memukul, menyeret-nyeret, mengikat, menghancurkan tulang panggul, dan merusak vagina.
Darimana kejahatan itu datang, yang membuat manusia sanggup luluhlantakkan kemanusiaan manusia lainnya?

Seketika Marsinah bukan lagi buruh biasa,
Ia buruh perempuan
yang melawan.
dengan kehormatan dan nyawa sebagai taruhan!

Kini Marsinah jadi sejarah
Pabrik dan rumah habis disantap Lapindo dengan kuah lumpur tanah
tak disebutkan di sekolah-sekolah
apalagi dibicarakan di rumah-rumah
Tetapi diingat dalam pesan-pesan unjuk rasa di jalan
Surat protesnya diteruskan dalam jilid-jilid selebaran
Keberaniannya jadi inspirasi agar tak mudah kalah,
Berserikat atau tanpa serikat, berkumpul atau seorang diri,
harga diri adalah martabat dan hak yang tak boleh patah
Solidaritas adalah kasih sayang yang memperpanjang umur perjuangan
Dan itulah saja senjata kita, perempuan-perempuan pelawan zaman

Sehingga Marsinah tetap hidup,
Bukan dalam gua dan doa,
tapi dalam pikiran dan rongga dada,
buruh-buruh perempuan yang tegak muka dan bicara
dalam serikat-serikat pekerja,
di rumah tangga,
di jalan raya,
di hadapan personalia dan pengusaha,
dalam berkas dan sidang perkara,
dari suara toa,
dalam ceramah-ceramah agama,
menuntut dikembalikannya imbal kerja dengan setara
melawan kejahatan terhadap tubuh dan jiwanya.

Untuk itu,
Kami tidak bisa haru biru
Atau meratap pilu dengan lidah kelu
Kami perlu rezim baru
hasil perjuangan kaum yang sama nasib dengannya
agar harapan, keadilan, dan pengadilan, menjadi nyata
Tak hanya baginya, juga semua manusia yang dijahati Orba, pengusaha, dan tentara.

*Zely Ariane,
Tebet, 080512, 10:56

Total Tayangan Halaman


counter web

Categories

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

- Copyright © Diaspora -- Powered by Blogger - Designed by Efrial Ruliandi Silalahi -