Posted by : Unknown

Image
Alam adalah ibu bagi manusia, kehidupan manusia bergantung pada alam. Karenanya manusia wajib merawat alam agar terus lestari, alam yang rusak oleh manusia hanya akan membahayakan jutaan manusia. Suku pribumi Molo adalah salah satunya yang berelasi erat dengan alam. Untuk menjaga kelestarian alam inilah, Mama Aleta berjuang. Siapakah Mama Aleta? Bagaimana kisah perjuangannya? 
Di setengah bagian barat Indonesia, tepatnya di Pulau Timor, Gunung Mutis, Nusa Tenggara Timur, terdapat satu wilayah yang kaya akan keanekaragaman hayati. Gunung Mutis adalah daerah hulu untuk semua aliran sungai utama Timor Barat, yang menjadi sumber air minum dan irigasi bagi mayoritas penduduk di pulau itu.
Penduduk Molo amat bergantung pada sumber – sumber daya alam ini, yang juga dianggap sakral. Hutan menjadi sumber obat-obatan bagi warga, mereka menanam hasil bumi di tanah yang subur ini. Di hutan ini pula warga memanen zat pewarna tanaman yang diperlukan untuk bertenun – sebuah keterampilan tradisional menjadi jati diri bagi kaum perempuan di desa-desa sekitar hutan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Hubungan spiritual yang erat antara warga dan lingkungan hidup terjalin dengan baik. Kedalaman hubungan ini tercermin dalam penamaan rakyat Timor yang sesuai dengan tanah, air, batu, dan pohon yang melambangkan daging, darah, tulang dan rambut mereka. Bagi warga asli Moro, kerusakan lingkungan hidup sama artinya dengan hilangnya sebagian dari jati diri mereka.
Di tahun 1980an, pemerintah daerah mengeluarkan izin bagi perusahaan – perusahaan tambang untuk memotong batu-batu marmer di pengunungan di kepulauan Molo. Hal ini dilakukan secara tidak sah karena tidak berkonsultasi dengan warga terlebih dahulu. Warga justru dianggap sebagai penghalang program pembangunan. Akibat pertambangan pun mulai dirasakan warga, terjadi penggundulan hutan, tanah longsor, pencemaran air dan banyak menimbulkan penderitaan bagi warga yang tinggal di daerah hilir.
Aleta Baun, yang akrab dipanggil dengan sapaan Mama Aleta, lahir dari keluarga petani. Ibundanya meninggal dunia ketika ia masih mudah. Kemudian Aleta kecil diasuh oleh kaum perempuan dan sesepuh desa yang mengajarkan padanya untuk menghargai lingkungan hidup sebagai sumber jati diri rohani dan nafkah.
Ia akrab dipanggil Mama Aleta karena mengambil peran pemimpin dalam komunitasnya. Disebarkannya pengetahuan tradisional yang ia warisi dari sesepuhnya. Di kala perusahaan- perusahaan tambang mulai membabat hutan dan memotong batu marmer dari gunung, Mama Aleta paham bahwa aktivitas mereka tersebut akan mengancam hak – hak orang Molo atas wilayah mereka – dan juga terhadap kelanjutan hidup mereka. Bagi Mama Aleta, kehidupan masyarakat desa tidak bisa dipisahkan dari alam. Ini yang kemudian menjadi pesan utama yang terus menerus Mama Aleta sebarkan kepada berbagai komunitas lain di sekitar gunung. Gerakan Mama Aleta ini dimulai dari gerakan kecil bersama dengan tiga perempuan lain, tepatnya pada tahun 1999. Mereka melakukan perjalanan kaki dari satu desa terpencil ke desa lain  yang kadang bisa memakan waktu lebih dari enam jam.
“Mulai 1999, sejumlah kecil perempuan dan saya memutuskan kami harus bertindak untuk menghentikan penambangan. Kami merasa satu-satunya cara dengan pergi dari satu rumah ke rumah lain. Dari satu desa ke desa lain dan menjangkau sebanyak mungkin orang untuk menyampaikan pesan kami. Rumah-rumah dan desa-desa terletak berjauhan. Kadang kami harus berjalan enam jam untuk mencapai desa satu ke desa lain. Kami meyakinkan orang-orang untuk bergabung. Kami ingatkan mereka akan keyakinan kami tidak akan dapat hidup tanpa semua unsur-unsur dari alam. Kami juga menekankan pada para perempuan bahwa hutan menganugerahi kami dengan zat-zat pewarna tenun. Ini bagian penting dalam hidup kami.”
Karena kegiatannya inilah, Mama Aleta menjadi bulan-bulanan bagi kepentingan usaha pertambangan dan para pejabat daerah. Tak tanggung-tanggung, mereka bahkan menawarkan hadiah kepada siapa saja yang bisa membunuh Mama Aleta. Namun, Mama Aleta tidak gentar, ia terus melakukan upayanya bahkan ketika usaha percobaan pembunuhan tersebut semakin sering dilakukan. Suatu hari, Mama Aleta lolos dari usaha percobaan pembunuhan yang sebenarnya hampir saja berhasil. Mama Aleta lari dan bersembunyi di dalam hutan bersama bayi mungilnya. Sejumlah warga desa pun tak luput dari siksaan, mereka berkali-kali ditahan dan dipukuli.
Image

Intimidasi, percobaan pembunuhan tidak menghentikan langkah Mama Aleta. Mama Aleta terus mengembangkan gerakannya hingga mencakup ratusan warga desa. Puncak gerakannya diwujudkan dalam gerakan pendudukan sambil menenun. Sekitar 150 perempuan melakukan aksi pendudukan lokasi pertambangan marmer sambil menenun. Dengan tenang, 150 perempuan pemberani ini menenun pakaian tradisional sebagai bentuk protes mereka.


“Perempuan punya alat-alat tenun, kapas dan pewarna dari alam. Kami pun protes dengan menenun pakaian tradisional. Hutan kami tak boleh rusak. Kalau rusak, perempuan tak bisa beraktivitas. Itu tempat kami cari makanan, bikin pewarna benang sampai obat-obatan. Jadi harus kami pertahankan.” Kata Mama Aleta. Aksi protes dalam bentuk pendudukan dan menenun ini menyiratkan pesan bahwa kaum perempuan tradisional bertanggung jawab untuk mencari makan, zat pewarna. Di sisi lain, sementara kaum perempuan melakukan aksi pendudukan, kaum lelaki mendukung aksi kaum perempuan ini dengan melakukan aktivitas rumah tangga seperti memasak, membersihkan rumah dan menjaga anak. Sebenarnya, menurut Mama Aleta, dalam kebudayaan Molo, perempuan diharapkan menjadi ibu rumah tangga dan merawat keluarga. Namun saat protes berlangsung, kaum perempuan Molo menyadari bahwa mereka bisa melakukan banyak hal. Dalam adat Molo, perempuan adalah juga pemilih tanah yang sah. Hak inilah yang digunakan kaum perempuan yang kala itu belum aktif mengungkapkan pendapat untuk melindungi tanah mereka. Suku Adat Molo yakin, perempuan mesti berada di garis depan protes dan berperan sebagai juru runding.
“Kamilah yang memanfaatkan hutan untuk bertahan hidup. Kaum pria mendukung kami, namun tidak menempatkan diri di garis depan karena kemungkinan besar mereka akan terlibat dalam perkelahian atau konflik dengan perusahaan – perusahaan pertambangan dan menjadi target serangan- serangan. Jadi saat perempuan aksi, para pria berperan di rumah tangga dari memasak sampai menjaga anak-anak”.
Aksi protes warga desa menuai hasil. Aksi protes pendudukan dan menenun makin berkembang dan mendapat perhatian pemerintah. Pada tahun 2010, karena menghadapi tekanan yang amat besar, perusahaan – perusahaan tambang menghentikan penambangan di 4 lokasi di wilayah Molo dan meninggalkan operasi tambang mereka.
Kini, Mama Aleta bekerja bersama dengan berbagai komunitas di seluruh wilayah Timor Barat untuk memetakan hutan tradisional mereka. Hal ini dilakukan sebagai langkah pencegahan untuk menjaga hak – hak wilayah kaum pribumi dan melindungi tanah mereka dari proyek pertambangan di masa depan, serta dari berbagai ancaman pertanian komersial dan pengembangan minyak dan gas. Di sinilah, ia memimpin berbagai usaha untuk menjadi sumber pendapatan bagi warga desa melalui pertanian berkelanjutan, bertenun dan kegialan lainnya yang mempunyai peluang ekonomi mandiri.
“Saya hanya ingin melindungi tanah kelahiran dan keindahan alam seperti apa adanya, Banyak masyarakat di sana yang sudah terlalu lelah berjuang, seperti kehilangan semangat, lalu akhirnya mengalami depresi. Saya dengan segala cara memberi kekuatan untuk menyemangati dan mendampingi mereka,” ujar Mama Aleta berkisah.” Ucap perempuan berusia 41 tahun ini, suatu kali ketika menghadiri diskusi terbatas kesehatan jiwa nasional di Hotel Le Meridien, Jakarta, Oktober 2008 silam.
Dalam acara tersebut, Mama Aleta berkisah bagaimana ia berhadapan dengan aparat, pemerintah dan beberapa perusahaan pertambangan. Ia mengisahkan, ketertarikannya menjadi pejuang dan pembela Hak Asasi Manusia berinspirasi dari pengalaman masa kecilnya. Terlahir dari keluarga petani, anak ke enam dari delapan bersaudara ini mengaku sudah dekat dan menyatu dengan alam. Tanah kelahiran bagi Mama Aleta memiliki keindahan yang sangat mempesona. Belum lagi tanahnya yang memiliki situs batu bersejarah yang mengandung pualam dan marmer.“Ya, siapa yang tidak tertarik pada pertambangan yang menghasilkan banyak uang. Tetapi mereka lupa, struktur tanah tempat kami tidak baik untuk pertambangan. Bila dipaksakan justru akan mengakibatkan longsor atau erosi besar-besaran,” ungkapnya dengan wajah serius.
Keputusan Mama Aleta demikian bulat untuk berjuang bagi kehidupan warga di kampungnya yang berada di sekitar batuan raksasa sepanjang Pegunungan Molo. Gunung- gunung itu dalam bahasa setempat disebut dengan fatu atau faut yang berarti “bukit batu”. Sembilan tahun silam, gunung batu tersebut mulai disebut-sebut sebagai gunungan batu marmer oleh Pemerintah dan Pengusaha Tambang.
benar apa yang dikatakan Mama Aleta, cadangan atau deposit marmer di Pulau Molo mengundang daya tarik bagi pertambangan. Bagaimana tidak? Cadangan marmer di Pulau Molo diperkirakan sekitar 3,5 tirliun meter kubik. Baik pemerintah maupun pengusaha memiliki kemauan sama, yaitu agar gugusan gunung batunya digali, ditambang dan dipotong menjadi petak-petak kubus raksasa berwarna putih, dijual ke jawa lalu dibentuk menjadi peralatan rumah tangga. “Memang banyak perusahaan telah memiliki izin menambang batuan marmer di sini, meskipun rakyat kami berkeras menolak,”
Padahal fatu-fatu merupakan penghubung masyarakat dengan leluhur, nenek moyang, alam, sumber air, bahkan lahan bawang dan wortel. Itulah mengapa gunung-gunung batu tersebut memiliki nama, dari yang terbesar dan tertinggi, terlihat kukuh di kejauhan bernama Fatu Naususu, Anjaf di Desa Fatukoto, Fatu Peke di Desa Tune, Fatu Pe’ di Desa Fatumnutu, Fatu Nua Molo di Desa Ajaobaki, Fatu Naitapan di Desa Tunua, Fatu Faenman, Fautlik di Desa Fatumnasi. Adalah Yayasan Lingkungan Hidup Goldman yang memberikan penghargaan kepada Mama Aleta. Goldman memberikan penghargaan kepada 6 orang yang berjuang untuk lingkungan hidup. Pengumuman dan pemberian hadiah ini berlangsung di San Fransisco Opera House, Amerika Serikat, tepatnya pada jam 5 sore, Senin, 15 April 2013.  “hadiah ini diberikan untuk para pemimpin yang tanpa rasa takut melawan semua rintangan demi melindungi lingkungan hidup dan komunitas mereka” jelas Yayasan tersebut.
Pemberian Hadiah Lingkungan Hidup Goldman ini bertujuan untuk mendukung orang-orang yang berjuang keras untuk lingkungan hidup meski dihadang oleh berbagai ancaman. Keberadaan orang – orang ini menginspirasi khalayak untuk mengambil tindakan luar biasa guna melindungi dunia. Penghargaan ini dirintis pada tahun 1989 oleh pemimpin masyarakat dan dermawan Richard N.Goldman dan istrinya, Rhoda H.Goldman.  Para peraih penghargaan tersebut dipilih oleh dewan juri internasional berdasarkan nominasi rahasisa yang diserahkan oleh jaringan kerja organisasi dan orang-orang dalam bidang lingkungan hidup. Para peraih penghargaan akan terlihat dalam suatu perjalanan 10 hari ke San Fransisco dan Washington D.C untuk upacara dan penyerahan hadiah, konferensi pers, pertemuan media dan sejumlah pertemuan dengan berbagai pemimpin negara, kebijakan umum, dan lingkungan hidup. Penghargaan ini sendiri berusia ke 24 dengan hadiah sebesar US$ 150 ribu per orang atau hampir 1,5 miliar. Namun, Mama Aleta tetap rendah hati, dengan suaranya yang lembut Mama Aleta berujar “Terima kasih, saya melakukan ini demi perjuangan rakyat pegunungan Molo,” “Banyak masyarakat di sana yang sudah terlalu lelah berjuang, seperti kehilangan semangat, akhirnya mengalami depresi. Saya dengan segala cara memberi kekuatan untuk menyemangati dan mendampingi mereka,”
Kini, Mama Aleta sibuk mengajarkan keterampilan menenun bagi kaum perempuan Molo. Sempat ada ketergantungan besar dengan benang- benang kota atau dari perusahan besar. Sehingga, nasib penenun tergantung dari perusahaan. Namun bukan Mama Aleta bila mudah menyerah. Ia terus meyakinkan kaum perempuan Molo bahwa semua telah disediakan oleh alam dari benang sampai warna. Sebelumnya, sebenarnya sudah ada warna – warna warisan dari generasi sebelumnya, namun Mama Aleta dan teman- teman perempuannya terus mencari temuan-temuan warna lain. Pada Bulan Maret 2013 mereka membuat tenunan dari benang buatan sendiri dengan warna-warna alam. 
Image
Warna – warna alam ini sebenarnya hasil dari eksperimen yang sudah dimulai sejak lama namun baru mulai digerakkan kembali di awal tahun ini. Warna tersebut dihasilkan dari berbagai tanaman di lingkungan sekitar. Proses eksperimen berlangsung selama tiga Minggu. Akhirnya pada Maret 2013, mereka berhasil menemukan berbagai warna alam. Warna cokolan tua berasal dari tanaman matani, coklat dari angkai, orange dari daun kesum. Kiss kase untuk warna pink, hijau dari daun suji dan kacang hutan. Lalu, warna merah dari kulit pohon nila.
Harapan saya, para perempuan kembali pada pengetahuan lokal yang dimiliki dan mencintai lingkungan. Kepada pemerintah, saya berharap agar mampu mengembangkan produk-produk tradisional rakyat yang tak menghancurkan lingkungan dan alam
Ya, perjuangan masih harus berlanjut, Mama Aleta dan teman-teman perempuan di pulau Molo terus menerus berjuang untuk memelihara kelestarian lingkungan nya. Bagaimana dengan kita? Masihkah kita takut dan takluk pada situasi tak adil yang melingkupi kita?

Total Tayangan Halaman


counter web

Categories

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

- Copyright © Diaspora -- Powered by Blogger - Designed by Efrial Ruliandi Silalahi -