Posted by : Unknown

Siapa yang tidak mengenal Kartini? Setiap tahun Orde Baru menjadikannya ikon perempuan yang diperkenalkan sebatas sanggul dan kebaya. Bagi kebanyakan orang, namanya tidaklah asing sebagai pahlawan nasional, namun sedikit sekali yang mengenal pemikiran-pemikirannya. Hal ini wajar mengingat Orde Baru tidak pernah memperkenalkan pemikiran-pemikiran Kartini dalam kurikulum pendidikan maupun dalam media-media. 
Dia, perempuan yang mau dipanggil Kartini saja tanpa gelar kebangsawanan ini, adalah keturunan raja-raja. Ia lahir pada 1879 sebagai anak seorang bupati Jepara dan sedikit beruntung karena ayahandanya memperhatikan pendidikan anak-anaknya, termasuk Kartini. Meski karena Kartini adalah perempuan, ia hanya boleh belajar di rumah, tidak seperti abang-abangnya yang meniti pendidikan sekolah sampai ke Belanda. Kartini, sempat mengenyam pendidikan formal sampai 12 tahun, tetapi kemudian dipaksa menjalani hidup dalam pingitan di usianya yang masih bocah itu. Kartini bocah pun terpaksa belajar di rumah, ayahandanya mengirimkan seorang guru ke rumah untuk mengajar Kartini dan adik-adik perempuannya.
Kartini bocah memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, daya kritisnya membuatnya tumbuh sebagai perempuan yang cerdas. Kondisinya sebagai perempuan bangsawan dan situasi sosial masyarakat saat itu membuatnya membenci kolonial. Ketidakadilan membuat Kartini marah pada kolonial dan marah pada budaya patriarki. Kartini pun berpengharapan perempuan suatu hari bisa merdeka tanpa merasakan hidup dalam pingitan, kebodohan yang dipaksakan hanya karena mereka adalah mahkluk yang bernama perempuan. “Aku sungguh ingin mengenal seorang yang kukagumi, perempuan yang modern dan independen, yang melangkah dengan percaya diri dalam hidupnya, ceria dan kuat, antusias dan punya komitmen, bekerja tidak hanya untuk kepuasan dirinya namun juga memberikan dirinya untuk masyarakat luas, bekerja untuk kebaikan sesamanya”Demikian yang ia sampaikan pada Stella, sahabat penanya dari Belanda. Di masanya, tentu saja pemikiran Kartini adalah pemikiran yang luar biasa, pemikirannya jauh ke depan, mendobrak tatanan sosial yang ada. Hari- harinya di pingitan ia manfaatkan sebaik-baiknya untuk membaca buku dan belajar. Hal inilah yang menjadi hiburan satu-satunya bagi Kartini.
Pemikiran Kartini tersebut bukan tanpa dasar. Pengalaman pahit sebagai perempuan yang terpaksa membuang kehendaknya sendiri untuk meraih mimpi membuat Kartini banyak melahirkan gagasan-gagasan luar biasa itu. Gagasan Kartini adalah bentuk perlawanannya terhadap adat jawa yang mengungkungnya. Kartini pernah berujar untuk sementara, perjuangan kami yang paling sengit adalah di rumah orang tua kami sendiri”Ya, Kartini harus dihadapkan pada orang tua dan keluarganya sendiri karena adat jawa kebangsawanan diwariskan secara turun menurun oleh orang tua sendiri, keluarga sendiri. Ini pula yang menyebabkan Kartini terpaksa harus mengikuti kemauan ayahandanya tercinta. Perjuangan Kartini terpaksa takluk kepada kecintaannya pada sang ayah dengan bersedia dikawinkan oleh Bupati Rembang dan harus menjalani kehidupan poligami yang ditolaknya mati-matian.
Yang berpengaruh besar bagi pemikiran Kartini tidak hanya buku-buku yang dibacanya, tetapi juga surat menyuratnya dengan sahabat-sahabat penanya, termasuk dengan Stela seorang feminis sosialis Belanda. Salah satu buku yang mempengaruhi pemikiran Kartini adalah Hilda Van Sayverberg, Max Havelar karya Multatulis dan banyak buku lainnya. Menurut Kartini, pengetahuan adalah kunci kemajuan peradaban manusia dan buku adalah jendela pengetahuan, sumber segala pengetahuan.
Sahabat penanya, Stella Zeehandelaar banyak berdiskusi dengannya tentang persoalan – persoalan perempuan dan persoalan rakyat nusantara. Pertemuan Kartini dan Hendrik van Khol adalah upaya Stella untuk mendekatkan Kartini dengan kaum pergerakan sosialis di Belanda. Dari pertemuan tersebut Kartini jadi memiliki hubungan dekat dengan gerakan sosialis di Belanda, apa lagi kemudian Kartini menjalin korespondensi dengan Nellie, penulis dan editor terkemuka.
Perkawinan paksa dan poligami adalah salah satu isu yang paling ditolak oleh Kartini. Melalui surat-suratnya, Kartini banyak mengkritisi poligami dan kawin paksa. Dengan segala daya, Kartini berusaha menghindari dua hal ini agar tidak menimpanya, salah satunya adalah dengan sekolah. Karenanya, Kartini mencari jalan agar bisa bersekolah ke Belanda. Kepada ayahandanya pun, ia memohon supaya diijinkan bersekolah ke Belanda namun sayang ijin tak kunjung diberikan. Rasa frustasinya dengan pernikahan tercermin dalam suratnya. “Aku sanggup menerima pekerjaan yang serendah-rendahnya, asalkan memberiku kepuasan hati dan kebebasan daripada aku harus menikah!”
Padahal Kartini sempat mengajukan beasiswa ke negeri Belanda dan disetujui namun akhirnya Kartini memutuskan tidak mengambil beasiswa tersebut karena merasa masih dibutuhkan di Indonesia. Karena keputusannya inilah, Kartini pun tidak terhindarkan dari hal yang paling ia benci. Menikah dan dipoligami. “tahulah anda betapa saya sekarang bahagia, betapa saya terhina, dan betapa saya malu: menjadi tunangan bupati Rembang, seorang duda beranak 6 beristri 3 orang…”.
Perlawanan terakhir Kartini terjadi pada saat pernikahannya, dia mengajukan syarat “saya minta dibebaskan dari segala tetek bengek penganten. Sayapun tidak mau memberi ciuman kaki! Itu terlalu gila!”[1], demikian tulisnya. Dan itu dipraktekkan oleh Kartini pada saat upacara temon, Kartini tidak membungkuk dan mencium kaki suaminya.
Impian Kartini, mendirikan sekolah untuk anak-anak perempuan merupakan cita-cita yang harus ia laksanakan. Bagi Kartini pendidikan sangat penting untuk memunculkan perlawanan bangsa Jawa terhadap kolonialisme. Dan perempuan, harus terlibat di dalamnya, karenanya sekolah bagi anak –anak perempuan adalah kebutuhan mutlak. “kalau orang Jawa dididik, dia tidak akan lagi mengiyakan dan mengamini segala hal yang dikatakan atau ditentukan oleh atasannya”[2].Tidak hanya sekolah bagi anak perempuan tapi juga guru-guru perempuan. bersama adik-adiknya, Kartini mendirikan sekolah kecil di rumahnya dan bertahan cukup lama sehingga mendapat sambutan yang cukup baik dari masyarakat sekitar. Sekolah Kartini tersebut terletak di sebelah timur gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang atau di sebuah bangunan gedung yang sekarang digunakan sebagai gedung Pramuka.
Image
Melalui surat-suratnya, Kartini menyebutkan sang suami mendukung kehendaknya untuk mendirikan sekolah bagi perempuan dan mengembangkan ukiran Jepara. Hal itu semacam menjadi pelipur lara bagi Kartini yang terpaksa menjalani kehidupan poligami yang dibencinya. Berkat kegigihannya, pada tahun 1912, seorang tokoh politik etis, Van de Venter mendirikan sekolah perempuan di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”.
Namun perjuangan Kartini harus berhenti ketika ia harus menderita sakit setelah melahirkan. Ia menghembuskan nafas yang terakhir di usia yang tergolong muda yaitu 25 tahun, Pada tanggal 17 september 1904. karena perjuangan terhadap perempuan yang dulunya tidak boleh sekolah membuat seakan dunia berubah karena perjuangan RA kartini, karena Itulah Muncul Buku yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” oleh Mr.J.H Abendanon.
Buku yang pertama tentu saja Habis Gelap Terbitlah Terang. Pada tahun 1922, oleh Empat Saudara, kumpulan tulisan Kartini disajikan dalam bahasa melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Buah Pikiran dan diterbitkan oleh Balai Pustaka. Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, tercatat sebagai salah seorang menerjemah surat-surat Kartini ke dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Ia pun juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara.
Pada 1938, buku Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam format yang berbeda dan dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Armijn Pane menyajikan surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian tersebut ia lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau perubahan sikap dan pemikiranKartini selama berkorespondensi. Pada buku versi baru tersebut, Armijn Pane juga menciutkan jumlah surat Kartini. Hanya terdapat 87 surat Kartini dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang“. Penyebab tidak dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis Tot Licht, adalah terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain adalah untuk menjaga jalan cerita agar menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane, surat-surat Kartini dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi salah satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam lima bab pembahasan.
Surat-surat Kartini juga diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Pada mulanya Sulastin menerjemahkan Door Duisternis Tot Licht di Universitas Leiden, Belanda, saat ia melanjutkan studi di bidang sastra tahun 1972. Salah seorang dosen pembimbing di Leiden meminta Sulastin untuk menerjemahkan buku kumpulan surat Kartini tersebut. Tujuan sang dosen adalah agar Sulastin bisa menguasai bahasa Belanda dengan cukup sempurna. Kemudian, pada 1979, sebuah buku berisi terjemahan Sulastin Sutrisno versi lengkap Door Duisternis Tot Licht pun terbit.
Buku kumpulan surat versi Sulastin Sutrisno terbit dengan judul Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Menurut Sulastin, judul terjemahan seharusnya menurut bahasa Belanda adalah: “Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsa Jawa”. Sulastin menilai, meski tertulis Jawa, yang didamba sesungguhnya oleh Kartini adalah kemajuan seluruh bangsa Indonesia.
Buku terjemahan Sulastin malah ingin menyajikan lengkap surat-surat Kartini yang ada pada Door Duisternis Tot Licht. Selain diterbitkan dalam Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, terjemahan Sulastin Sutrisno juga dipakai dalam buku Kartini, Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan Suaminya. Surat dari Kartini, Seorang Feminis Indonesia 1900-1904.
Buku lain yang berisi terjemahan surat-surat Kartini adalah Surat dari Kartini, Seorang Feminis Indonesia 1900-1904. Penerjemahnya adalah Joost Coté. Ia tidak hanya menerjemahkan surat-surat yang ada dalam Habis Gelap Terbitlah Terang versi Abendanon. Joost Coté juga menerjemahkan seluruh surat asli Kartini pada Nyonya Abendanon-Mandri hasil temuan terakhir. Pada buku terjemahan Joost Coté, bisa ditemukan surat-surat yang tergolong sensitif dan tidak ada dalam Habis Gelap Terbitlah Terang versi Abendanon. Menurut Joost Coté, seluruh pergulatan Kartini dan penghalangan pada dirinya sudah saatnya untuk diungkap. Buku Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904 memuat 108 surat-surat Kartini kepada Nyonya Rosa Manuela Abendanon-Mandri dan suaminya JH Abendanon. Termasuk di dalamnya: 46 surat yang dibuat Rukmini, Kardinah, Kartinah, dan Soematrie.
Selain berupa kumpulan surat, bacaan yang lebih memusatkan pada pemikiran Kartini juga diterbitkan. Salah satunya adalah Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer. Buku Panggil Aku Kartini Saja terlihat merupakan hasil dari pengumpulan data dari berbagai sumber oleh Pramoedya. Akhir tahun 1987, Sulastin Sutrisno memberi gambaran baru tentang Kartini lewat buku Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya. Gambaran sebelumnya lebih banyak dibentuk dari kumpulan surat yang ditulis untuk Abendanon, diterbitkan dalam habis Gelap Terbitlah Terang
Kartini dihadirkan sebagai pejuang emansipasi yang sangat maju dalam cara berpikir dibanding perempuan-perempuan Jawa pada masanya. Dalam surat tanggal 27 Oktober 1902, dikutip bahwaKartini menulis pada Nyonya Abendanon bahwa dia telah memulai pantangan makan daging, bahkan sejak beberapa tahun sebelum surat tersebut, yang menunjukkan bahwa Kartini adalah seorang vegetarian. Dalam kumpulan itu, surat-surat Kartini selalu dipotong bagian awal dan akhir. Padahal, bagian itu menunjukkan kemesraan Kartini kepada Abendanon. Banyak hal lain yang dimunculkan kembali oleh Sulastin Sutrisno.
Aku Mau … Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903
Sebuah buku kumpulan surat kepada Stella Zeehandelaar periode 1899-1903 diterbitkan untuk memperingati 100 tahun wafatnya. Isinya memperlihatkan wajah lain Kartini. Koleksi surat Kartini itu dikumpulkan Dr Joost Coté, diterjemahkan dengan judul Aku Mau … Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903.

Aku Mau …” adalah moto Kartini. Sepenggal ungkapan itu mewakili sosok yang selama ini tak pernah dilihat dan dijadikan bahan perbincangan. Kartini berbicara tentang banyak hal: sosial, budaya, agama, bahkan korupsi.
Nah, itu tadi kisah tentang sosok Kartini, yang dihadirkan bukan sebatas sanggul dan kebaya namun pemikiran revolusionernya. Bagi kita tentu saja Kartini tidak akan pernah mati karena setiap orang yang berjuang bagi untuk kehidupan, tidak akan pernah mati. Semangatnya selalu hidup di tengah-tengah kita semua.

Total Tayangan Halaman


counter web

Categories

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

- Copyright © Diaspora -- Powered by Blogger - Designed by Efrial Ruliandi Silalahi -