Posted by : Unknown

Image
Nawal El Saadawi, bukanlah nama yang asing bagi para aktivis perempuan dunia. Namun, bagi masyarakat awam di Indonesia mungkin belum banyak mengenalnya. Perempuan bernama Nawal El Saadawi ini terlahir di Mesir, tepatnya di Kafr Tahla – Tepi Sungai Nil. Di usianya yang 81 tahun sekarang, Nawal justru semakin garang dalam menyuarakan apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Nawal El Saadawi tidak hanya dikenal sebagai aktivis perempuan, tapi juga seorang dokter dan penulis.
Melalui novelnya, Nawal selalu menonjolkan kritik pedas atas realitas sosial di masyarakatnya, di Mesir. Terutama terkait kondisi perempuan di Mesir. Salah satu tulisan awal Nawal adalah sebuah cerita pendek berjudul “I Learned Love” atau “Aku Mempelajari Cinta” (1957) dan novel berjudul “Memoirs of a Woman Doctor” (1958). Karya itu mendapatkan respon yang cukup bagus serta membuat nama Nawal mulai dikenal. Nuansa pemberontakan sudah kental dalam karya-karya awal Nawal. Dalam Kabar dari Penjara terlihat juga bagaimana karakter pemberontakan Nawal sangat kental. Dalam novel itu Nawal mengisahkan tentang sesosok perempuan muda, seorang sarjana, yang punya obsesi serta idealisme yang tinggi. Tapi apa yang dicita-citakannya itu berbenturan dengan realitas sosial yang terjadi, di mana ketidakadilan dan penindasan seperti menjadi kelaziman.
Hal inilah yang membuat geram kaum intelektual dan pemerintah Mesir. Hal itupun harus dibayarnya dengan mahal. Pada 6 September 1981, Nawal dijebloskan ke dalam penjara di masa pemerintahan Anwar Sadat dengan tuduhan perbuatan kriminal melawan pemerintahan yang sah. Akan tetapi, Nawal tidak diam. Di dalam sel penjara, Nawal terus berkarya, meski ia harus menulis di atas kertas toilet dengan menggunakan pensil alis. Semua itu dilakukan Nawal dengan diam-diam. Setelah ia keluar dari penjara, tulisan itu lalu diberi judul “Memoar dari Penjara Perempuan”. Dalam buku inilah, ia berkisah tentang bagaimana ketimpangan ekonomi dan jender menjadi penyebab masuknya perempuan ke dalam sel penjara itu.
Tidak hanya kegetiran penjara yang ditanggung oleh seorang Nawal akibat tulisan-tulisannya. Menteri Kesehatan Mesir telah menghentikannya dari jabatan Direktur Pendidikan Kesehatan dan Pemimpin Redaksi Majalan Health. Sebagai seorang pejuang pembebasan perempuan, ia seringkali harus menanggung banyak resiko di tengah kehidupan bernegara, bermasyarakat yang masih sangat kental budaya patriarkinya. Namun, justru hantaman demi hantaman inilah yang membuat Nawal terus menulis, menyuarakan haknya. Diakuinya, semakin bertambah usianya, perempuan kelahiran 27 Oktober 1931 ini semakin radikal dan terbakar amarah.
Image
Nawal dilahirkan sebagai anak tertua dari sembilan bersaudara pada 27 Oktober 1931. Ayahnya adalah seorang pejabat pemerintahan di Kementerian Pendidikan yang berjuang melawan kekuasaan Raja dari Inggris dalam revolusi tahun 1919. Karena keterlibatannya melawan kekuasaan Raja dari Inggris inilah, sang ayah diasingkan di sebuah kota kecil di Delta Sungai Nil dan pemerintah menghukumnya dengan tidak mempromosikan dirinya selama 10 tahun.
Dari ayahnya ini pula, Nawal belajar menjadi seorang yang maju. Ayahnya mengajarkan kepada putrinya supaya menghormati diri sendiri dan menyuarakan pemikirannya. Kematian kedua orang tua Nawal memaksa Nawal menjadi tulang punggung keluarga.
Pada tahun 1955, Nawal lulus sebagai dokter dari Unversitas Kairo. Ketika menjalani praktek medis itulah, Nawal mengamati masalah fisik dan psikologis perempuan dan menghubungkannya dengan praktik budaya yang menindas, yakni penindasan patriarkal, penindasan kelas dan penindasan imperialis. Ketika bekerja sebagai dokter di desa kelahirannya, Kafr Tahla, Nawal mengamati kesulitan dan kesenjangan yang dihadapi perempuan pedesaan. Setelah mencoba melindungi pasiennya dari kekerasan dalam rumah tangga, Nawal dipanggil kembali ke Kairo untuk melawan berbagai jenis penindasan terhadap tubuh perempuan, termasuk sunat perempuan. Buku itu ditulis dari pengalamannya sendiri, yang pernah menjalani mutilasi genital saat berusia enam tahun. Buku Seks dan Perempuan  inilah yang menjadi teks dasar bagi gelombang feminisme kedua. Setelah menulis buku ini, Nawal dipecat dari posisinya sebagai Direktur Umum Kesehatan masyarakat di Departemen Kesehatan.
Image
Di usianya yang senja, Nawal turun ke jalan bersama gelombang massa rakyat Mesir menggulingkan Presiden Mubarak. Akhirnya Mubarak terguling pada 2 Februari 2011. Di tengah aksi massa, Nawal ikut berorasi, tanpa kenal lelah meski usianya waktu itu sudah menginjak 80 tahun. Tentang revolusi Mesir ini, Nawal berpendapat “Sejak kecil saya hidup dalam represi, dari masyarakat atau negara. Kini, saya sangat antusias melihat para pemuda memperjuangkan kemerdekaannya. “Seandainya saya masih berusia 20 tahun.”
Lebih lanjut lagi, Nawal berujar “Saya seperti terlahir kembali. Revolusi seperti ini, melihat orang memperjuangkan pendapatnya, adalah mimpi saya sejak masa kecil. Ini adalah hari saya. Seperti berusia 20 tahun, saya tak capek sama sekali. Biasanya saya gampang lelah, tapi sekarang saya bisa sepuluh jam lebih di Tahrir. Berteriak, berdiskusi, saya tak pernah  berhenti bicara di sana.”
Konflik antara Nawal dan Mubarak bukan hal baru. Mubarak marah besar ketika Nawal menuntut dirinya atas pemenjaraan selama 3 bulan oleh Anwar Sadat, presiden sebelumnya. Tentang hal itu, Nawal berkisah pada Majalah Tempo tahun lalu
“Itu dimulai pada awal pemerintahannya. Saat saya bertemu dengan Mubarak di rumahnya pada 1981, tak lama setelah saya dibebaskan dari penjara, dia bilang: “Anda sekarang bebas.” Saya bilang, “Ya, tapi bagaimana dengan kejahatan yang ditimpakan kepada saya dalam penjara yang amat buruk selama tiga bulan?” Maka saya berkata lagi ke Mubarak: “Tidak, tidak bisa begitu saja. Saya akan mengajukan tuntutan kepada Anda karena sekarang Anwar Sadat sudah meninggal. Saya membawa Anda dan  pemerintah ke pengadilan karena Anda harus memberikan kompensasi-baik material maupun nonmaterial-atas penahanan saya selama tiga bulan di  penjara, termasuk atas pembunuhan karakter saya.” Sadat melakukan propaganda lewat media bahwa kami adalah pengkhianat bangsa. Saya akhirnya memang mengajukan tuntutan itu terhadap Mubarak, dan dia marah besar karena hal itu. Dan saya menang dalam kasus itu. Saya meminta sejuta pound Mesir, tapi pengadilan hanya mengabulkan 2.000 pound. Ha-ha-ha…. “

Akibat tindakannya itu, selama 30 tahun pemerintahan Mubarak, Nawal diasingkan dari kehidupan intelektual. Sementara Istri dari Mubarak, Suzanne Mubarrak melarang semua organisasi yang didirikan Nawal bersama teman-temannya, seperti organisasi yang sudah didirikannya, Serikat Perempuan Mesir dihentikan oleh kekuasaan yang dimiliki Suzanne Mubarrak.
Menurut Nawal, ada perbedaan ideologi antara dirinya dan Mubarrak, yakni tentang posisi terhadap sistem kapitalisme.  Nawal menyatakan ketidaksetujuannya pada sistem kapitalisme. Mestinya, menurut Nawal, Mesir jangan mau didominasi oleh Amerika Serikat atau Israel. Mesir haruslah independen secara ekonomi, sosial, politik dan moral. Penerimaan bantuan ekonomi dari Amerika Serikat menyebabkan Mesir terjerumus dalam ketergantungan Ekonomi. Nawal berujar “Yang harus ada itu perdagangan yang adil, bukan bantuan…”
Nawal memiliki kelebihan dalam mempengaruhi orang sehingga banyak ditakuti oleh penguasa. Hal ini tampak ketika wartawan Indonesia dari Tempo bersamanya menaiki taksi menuju Tahrir Square. Kepada supir taksi itu, Nawal bertanya tentang pendapat Sopir taksi tersebut terhadap revolusi di Tahrir. Sopir Taksi tersebut ternyata pendukung Mubarrak. Supir taksi itu berujar bahwa ada yang ia setujui dan ada yang tidak dari demonstrasi itu. Kepada sopir itu kemudian Nawal menjelaskan dengan sabar tentang revolusi, kapitalisme dan perjuangan pembebasan. Kepada wartawan Tempo tersebut, Nawal menyampaikan bahwa supir tersebut terlalu banyak menonton televisi Mesir sehingga pikirannya dicuci. Nawal memang jago berdebat, belum setengah perjalanan, supir tersebut sudah berubah pikiran dan meminta Nawal agar menyampaikan aspirasinya tentang perbaikan nasib supir taksi. Bahkan dengan teliti, Nawal mencatat satu demi satu tuntutan dan aspirasi sang supir.
Terkait pemerintahan baru Mesir, Nawal berpendapat biarlah kaum  muda yang memimpin. Sesampainya di Tahrir, Nawal berpapasan dengan seorang lelaki dari kelompok agama garis keras yang tidak setuju dengan pemikiran Nawal. Kepada Nawal lelaki itu berteriak “Keluar kau, Keluar!”. Melihat sikap lelaki itu, seorang yang kebetulan lewat melindungi Nawal dan memarahi lelaki tersebut. Namun Nawal justru mendekati lelaki itu dan mengajak berdialog “Biarkan, saya ingin bicara dengannya. Mari kita berdialog, Anakku.” Benar saja keduanya terlibat perdebatan seru. Namun karena lelaki itu makin emosional, orang-orang menarik Nawal dan memprotes lelaki tersebut.“Ini adalah tempat menentang rezim. Jika ada yang ingin menentang kemerdekaan, cari tempat lain, kata seorang pria tinggi di belakang Nawal”
Seorang Nawal, yang berani berdebat dan berdialog dengan mereka yang berbeda pendapat dengannya membuat ia tidak hanya dihargai oleh kawan tapi juga pihak yang bertentangan dengannya, seperti Al- Ikhwan. Kepada Nawal, seorang anggota kelompok Al Ikhwan berkata “Kami tidak setuju dengan sejumlah pendapat Anda, tapi kami menghormati Anda. Kita harus memiliki pandangan yang sama.”
Meski berhadapan dengan banyak kekuatan yang tidak suka dengan pemikirannya, Nawal menyatakan TIDAK TAKUT. “Saya tak takut kepada Al-Ikhwan. Amerika Serikat, Israel, dan rezim Mubaraklah yang mencoba menakut-nakuti kami dengan Al-Ikhwan”
Bagi gerakan perempuan Mesir sendiri, menurut Nawal, revolusi ini sangat penting.
“Pertama, secara mental dan politik, revolusi ini telah membuat perempuan merdeka. Ada harapan di sana. Pemerintah Mubarak membuat perempuan tak terorganisasi, maka setelah revolusi ini perempuan akan terorganisasi. Bagi saya pribadi, revolusi ini telah mengeluarkan saya dari pengasingan di rumah sendiri.”
Revolusi bagi Nawal adalah damba. Bagi penguasa, revolusi adalah kerusuhan, makar, penggangu ketertiban. Namun Nawal tidak gentar bahkan di usianya yang semakin senja. Bila kata orang semakin tua semakin kompromis, maka Nawal membuktikan hal yang sebaliknya. Baiklah sahabat Marsinah, kita akan dengarkan lagi kisahnya setelah lagu persembahan saya berikut ini (lagu)
Masih kita ikuti kisah Nawal El Saadawi, yang berjuang membela hak perempuan hingga sekarang pada usia di atas 80 tahun. Bersama Memey di sini, kita lanjutkan Perempuan Pelita ke-19.
Sejak muda memang Nawal sudah tergerak untuk memerdekakan diri sendiri dan kaum perempuan. Banyak hambatan dan rintangan, apalagi bagi perempuan desa seperti Nawal. Meskipun banyak pembatasan bagi perempuan desa dalam tradisi kebudayaan arab dan sistem politik ciptaan penguasa kolonial, Nawal masih bisa menempuh studi di Universitas Kairo dan lulus pada tahun 1955 dengan gelar dokter dalam psikiatri. Ia menjadi lulusan terbaik dari 50 orang perempuan diantara  ratusan mahasiswa lelaki pada tahun kelulusannya. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Nawal membuka praktek psikiatri mengabdi pada negara dan akhirnya naik menjadi Direktur Kesehatan Masyarakat Mesir. El Saadawi bertemu suaminya Sheriff Hetata yang sama-sama berprofesi seorang dokter, saat bekerja di Departemen Kesehatan di mana keduanya berbagi kantor bersama-sama. Mereka menikah pada tahun 1964 dan memiliki seorang putra dan seorang putri. Hetata bersama El Saadawi  dipenjara selama 13 tahun atas partisipasinya dalam partai oposisi sayap kiri.
Sebagai seorang intelektual sekaligus pejuang hak-hak perempuaan, El Saadawi beberapa kali mengadakan kegiatan ilmiah, antara lain; penelitiaan dan kajian sosial tentang perempuan, terutama masalah tentang bias jender ataupun ketidakadilan jender. Pada tahun 1969 ia melakukan penelitian dan perjalanan ilmiah ke Sudan. perjalanannya ke Sudan ini dalam rangka melihat lebih dekat praktek-praktek penyunatan terhadap perempuaan yang dilakukan secara tradisional, menyakitkan dan sangat berbahaya terhadap keselamatan bagi perempuaan itu sendiri.
Melihat praktek-praktek penyunatan terhadap perempuaan tersebut, di Mesir sendiri penyunatan itu dilakukan dengan cara hanya memotong sebagiaan dari klitoris, tetapi di Sudan pemotongan tersebut dilakukan pada klitoris dan dua bibir luar vagina. Akibat dari penyunatan yang tidak mengenal medis itu, banyak dari kaum perempuan yang terkena infeksi akut sehingga mereka tersiksa selama hidupnya. Bahkan diantara mereka tidak sedikit yang kehilangan nyawanya sebagai akibat dari cara-cara yang primitif dan tidak manusiawi dalam praktek sunat perempuan tersebut.
Ia mulai menulis lebih dari 25 tahun yang lalu saat ia melakukan praktek medisnya sebagai seorang dokter dan di sana banyak mengamati masalah perempuan secara fisik dan psikologis, lalu menghubungkan mereka dengan praktek-praktek budaya yang menindas, penindasan patriarkal, penindasan kelas dan penindasan imperialis. Karya buku Nawal telah berkonsentrasi pada perempuan, terutama perempuan Arab, seksualitas dan status hukum mereka. Sejak awal, tulisan-tulisannya dianggap kontroversial dan berbahaya bagi masyarakat, dan dilarang di Mesir. Akibatnya, Nawal terpaksa menerbitkan karya-karyanya di Beirut, Lebanon.
Pada tahun 1972, tulisan pertamanya dalam buku non-fiksi, berjudul Perempuan dan Masalah Seks. Semua karyanya saat itu terkait dengan subjek yang sangat tabu; yakni tentang feminisme, jender, perempuan dan seksualitas, termasuk tentang budaya patriarkhi, politik dan agama. Nawal melihat diskriminasi perempuan sebagai masalah struktural yang sama peliknya dengan masalah negara. Dalam buku al-Mar’ah wa al-Jins (atau Perempuan dan Masalah Sex), El Saadawi memberikan potret sosial bangsa Arab yang lusuh dan cara pandang negatif kaum lelakinya tentang perempuan dan sex. Publikasi ini membangkitkan kemarahan pejabat politik dan pemuka agama saat itu, sehingga Departemen Kesehatan Mesir memaksanya untuk mengundurkan diri dan memecatnya. Di bawah tekanan yang sama ia kehilangan posisinya sebagai Pemimpin Redaksi sebuah jurnal kesehatan dan sebagai Asisten Sekretaris Jenderal di Asosiasi Medis di Mesir.
Dari tahun 1973 sampai 1976 Nawal menjadi seorang peneliti tentang perempuan dan neurosis. Hasil penelitiaanya diumumkan termasuk tentang kasus perempuan di penjara-penjara dan rumah sakit. Penelitian ini juga memberinya inspirasi untuk menulis novelnya yang terkenal, “Perempuan di Titik Nol”.
Novel “Perempuan di Titik Nol” berdasar kisah nyata perempuan yang ditemui Nawal. Novel ini berkisah tentang perjalanan hidup seorang perempuan Mesir bernama FIRDAUS, yang memiliki masa kecil di desa, hingga saat dewasa menjadi pelacur, lalu mendapat  vonis hukuman mati  dikarenakan ia membunuh seorang germo. Firdaus dituliskan Nawal sebagai perempuan korban budaya patriarki, budaya yang menomorduakan perempuan. Sosok perempuan yang biasanya di anggap lemah, tapi mampu melahirkan kekuatan yang hebat, mendatangkan ketakutan karena telah  membuka tameng kemunafikan yang terselimuti oleh religi dan prasangka.
Sejak masih kecil Firdaus telah di tinggal mati oleh kedua orang tuanya, kemudian ia hidup dan tinggal bersama pamannya. Hingga suatu saat setelah beranjak dewasa, pamannya jualah yang pertama memperkosanya. Pamannya ini lalu mengawinkannya dengan seorang yang menjadi algojo penyiksaannya, yang menyiksa Firdaus setiap saat. Firdaus melarikan diri dari suami penyiksa tersebut, namun berlanjut pertemuan dengan pria-pria pemerkosa. Sampai akhirnya Firdaus bertemu dengan germo yang menjual dirinya untuk mendapatkan keuntungan, tanpa peduli pada Firdaus. Dari germo inilah kemudian Firdaus mendapat pelajaran bahwa kita sendirilah yang menentukan harga untuk diri kita. Hingga kemudian Firdaus bisa mematok harga tertinggi dari pelacurannya. Pada akhirnya Firdaus meninggalkan sang germo, untuk mencari pekerjaan layak. Bermodal ijasah sekolah dasar dan sekolah menengahnya, Firdaus berjuang hingga menjadi seorang karyawati biasa. Sampai saat Firdaus merasakan jatuh cinta pada Ibrahim, cinta yang membawa rasa sakit yang terlalu dalam buat Firdaus.
Itulah sepenggal kisah dari novel “Perempuan di Titik Nol”, karya Nawal El Saadawi yang mengungkap besarnya beban hidup perempuan Arab oleh karena budaya yang menomorduakan perempuan atau patriarkhi, yang merupakan temuan dari penelitian Nawal tentang perempuan yang dipenjara.  Tapi tidak sebatas perempuan di penjara, Nawal El Saadawi juga mengadakan penelitiaan tentang aborsi. Hasil penelitiaan ini sangatlah mengejutkan dimana tindakan aborsi marak dilakukan oleh keluarga yang mampu, tiga kali lipat lebih banyak dibanding dengan keluarga yang tidak mampu.
Melihat dari itu semua kasus-kasus diatas bisa terjadi karena sangat berhubungan erat dengan persoalan konsep patriarki. Kaum perempuan berada pada pihak yang termarginalkan, tertindas, terkekang sementara kaum lelaki malah melanggengkan kekuasaan penindasan tersebut. Dalam tradisi sunat perempuaan, khususnya di daerah Arab yang pernah El Saadawi jelajahi, perempuan ada pada pihak yang termarjinalkan dan menderita. Dalam kasus kekerasan seksual perempuanlah yang menjadi korbannya dan berada pada pihak yang sangat dirugikan. Begitu juga dalam kasus aborsi perempuanlah yang menjadi objek masalahnya dan menyampingkan kaum lelaki yang sebenarnya  menjadi subjek utama dari kasus ini semua. Perempuan selalu harus berhadapan dengan hukum, sedangkan kaum lelaki begitu mudah bebas dan lepas dari jeratan hukum tersebut.
Sungguh hebat tokoh Perempuan Pelita kali ini. Kecerdasannya tidak dia curahkan semata untuk kemegahan hidup sendiri, tapi diberikan bagi masyarakat luas, terutama bagi pembebasan kaum perempuan. Nawal sadar bahwa bisa saja dia memilih untuk hidup aman tanpa resiko, tapi bukan itu pilihannya. Seperti dia nyatakan setelah keluar dari penjara:
Ketika saya keluar dari penjara, ada dua rute yang saya bisa diambil. Saya bisa menjadi salah satu dari mereka dengan menjadi budak pada yang berkuasa, sehingga memperoleh keamanan, kemakmuran, hadiah negara, dinamai  ”penulis besar”, dan saya bisa melihat foto saya di koran dan di televisi. Atau saya bisa melanjutkan jalan yang sulit, salah satu yang telah membawa saya ke penjara… Bahaya telah menjadi bagian dari hidup saya sejak saya mengambil pena dan menulis. Tidak ada yang lebih berbahaya daripada menempatkan kebenaran di dunia. Tidak ada kekuasaan di dunia yang dapat melucuti tulisan-tulisan saya dari saya.
Begitulah Nawal El Saadawi, memilih terus berjuang. Dia hadapi segala rintangan demi kemerdekaan perempuan. Banyak inspirasi kita dapat dari perjuangan Nawal, semoga bisa menjadi terang bagi kita semua.

Total Tayangan Halaman


counter web

Categories

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

- Copyright © Diaspora -- Powered by Blogger - Designed by Efrial Ruliandi Silalahi -