- Back to Home »
- PEREMPUAN »
- DARI KORBAN JADI PEJUANG: SOMALY MAM MELAWAN PERDAGANGAN PEREMPUAN
Posted by : Unknown
Salah satu negeri di kawasan Asia Tenggara, dan memiliki
beberapa kemiripan dengan Indonesia. Malah situasi di Kamboja kadang
disebut lebih buruk dibanding Indonesia. Bukan hanya upah buruh yang
lebih murah, rakyat Kamboja juga menanggung tekanan akibat sistem
kekuasaan yang lebih represif.
Tentu saja, pada masyarakat yang
menghadapi banyak masalah, kaum perempuan menerima beban lebih berat.
Dan sosok Perempuan ini muncul di negeri yang penuh
persoalan itu, hadir dari situasi Kamboja yang miskin dan tidak
demokratis. Dia
bernama Somaly Mam, perempuan yang sejak sebelum remaja jadi korban
perdagangan perempuan, dipaksa jadi pelacur, mengalami beragam
kekerasan, dan dihimpit kemiskinan, namun kemudian berkarya sebagai
pembela hak perempuan dan melawan perdagangan perempuan.
“Saya
tidak kenal ibu atau orangtua saya. Saya tidak tahu apakah nama
‘Somaly’ memang nama saya sebenarnya. Saya hanya tahu, saya terus dijual
karena warna kulit saya yang gelap.” Inilah kalimat yang sering
dinyatakan Somaly Mam, ketika ditanya tentang asal-usul keluarganya. Ya,
Somaly merasakan langsung penderitaan sebagaimana dialami banyak
perempuan di Kamboja dan negeri lainnya. Somaly lahir di desa Bau Sra,
satu desa di Kamboja yang miskin. Jika ditanya kapan dilahirkan, semua
orang bisa menjawab dengan pasti. Tapi tidak dengan Somaly Mam, dia
tidak tau kapan dilahirkan. Somaly hanya bisa menerka dilahirkan antara
tahun 1970 atau 1971. Yang pasti Somaly ingat adalah dia terlahir dalam
keluarga miskin, kemudian diasuh oleh neneknya. Itu saja asal-usul yang
bisa diceritakan Somaly tentang dirinya, menggambarkan betapa beratnya
masalah yang dihadapi masyarakat sekitar Somaly pada waktu itu.
Kemiskinan bukan satu-satunya masalah yang dirasakan Somaly pada usia
kanak-kanak. Masih ada lagi yang tak kalah besar membuat penderitaan,
yaitu perang. Ya, perang terus berkecamuk di Kamboja, termasuk yang
melibatkan pihak asing. Ketika masih usia balita, Amerika Serikat
menyerang Kamboja. Tentu saja perang banyak mengorbankan rakyat, apalagi
perempuan dan anak-anak. Dengan segala upaya dan besarnya persenjataan,
Amerika berusaha memenangkan perang, tapi gagal. Kegagalan dalam perang
berakibat Amerika meninggalkan Kamboja. Tapi bagi rakyat Kamboja,
akibat yang ditanggung jauh lebih besar.
Setalah Amerika Serikat pergi, muncullah kekuasaan baru di Kamboja
antara tahun 1975 hingga 1979, yaitu Khmer Merah. Rejim Khmer Merah
sangat militeristik, segala hal tentang kehidupan rakyat diatur dengan
paksaan senjata. Pada saat inilah Somaly Sam berpisah dengan sang nenek
yang mengasuhnya sejak bayi. Dan Somaly menjadi anak terlantar. Sampai
akhirnya ada keluarga yang memberikan pengasuhan pada Somaly, yaitu oleh
Keluarga Taman.
Harapan memiliki orang terdekat yang memperhatikan dan memelihara,
adalah perasaan yang diinginkan Somaly, sebagaimana perasaan anak-anak
pada umumnya. Oleh karenanya, ketika diterima dan diasuh oleh Keluarga
Taman, dianggap Somaly sebagai akhir penderitaan dan kesendiriannya
sebagai anak.
Somaly Mam setelah terlantar, diasuh dan hidup bersama Keluarga
Taman. Ternyata tidak lama kehidupan Somaly dalam keluarga ini. Kisah
hidupnya kembali membuatnya berpindah keluarga, ketika ada tamu Keluarga
Taman yang dikenalkan sebagai kakek. Taman yang selama ini mengasuhnya,
menyampaikan bahwa kakek ini akan membantu Somaly kembali ke
keluarganya. Betapa senang Somaly kecil, bahkan meyakini bahwa si kakek
adalah kakek aslinya dan akan mengajaknya berkumpul sebagai keluarga
yang saling menyayangi. Somaly pun dengan senang ikut serta pada sang
kakek.
Namun ternyata hidup bersama sang kakek, membawa Somaly pada
kehidupan lebih keras dan tidak manusiawi. Somaly dipaksa bekerja pada
orang lain, dan upah kerjanya diambil sang kakek. Jika dianggap
melakukan kesalahan, tak jarang kemarahan bahkan pukulan diterima Somaly
dari sang kakek. Sebagai anak, Somaly menganggapnya sebagai kehidupan
yang harus diterima. Namun kenyataan pahit terus dialami oleh Somaly
kecil, hingga dia sebagai perempuan kemudian diperdagangkan oleh si
kakek. Somaly dipaksa jadi budak seksual, untuk si kakek bisa
mendapatkan uang.
Peristiwa pertama yang membawa luka sangat dalam bagi Somaly, adalah
ketika oleh si kakek ternyata tubuh Somaly dijadikan untuk melunasi
utang. Saat itu Somaly hanya tahu disuruh untuk mengambil minyak ke
tempat biasa Somaly biasa belanja barang. Tapi ternyata sang penjual
memperkosa Somaly. Dan akhirnya Somaly tahu bahwa sang kakek lah yang
menjadikannya sebagai pembayar utang terhadap si penjual minyak.
Penderitaan Somaly terus berlanjut. Di usia remaja, si kakek akhirnya
menjual Somaly ke rumah bordir atau pelacuran. Penderitaan semakin
bertambah dan membawa kemarahan pada diri Somaly, terhadap sang kakek
dan pemilik rumah bordir.Tapi dia tidak menyerah. Beberapa kali Somaly
berusaha kabur, tapi selalu gagal. Dan setiap berusaha kabur, berakibat
pada siksaan yang lebih besar. Hingga dewasa terpaksa Somaly hidup di
pelacuran, bersama perempuan-perempuan lain yang juga menjadi korban,
dengan latar belakang beda-beda.
Sebelumnya bersama kita simak kisah pilu pengalaman Somaly kecil
hingga dewasa, hingga dipaksa sebagai penghuni rumah bordir. Kehidupan
lebih baik baru didapatkan setelah Somaly akhirnya keluar dari rumah
pelacuran. Kehidupan yang jauh bertolak belakang dengan pengalaman
sebelumnya, saat Somaly bertemu dan berkenalan dengan Piere, seorang
lelaki Perancis yang bekerja di lembaga kemanusiaan di Kamboja. Piere
jatuh cinta dan akhirnya mengajak Somaly Mam menikah. Setelah menikah
dan bebas dari arena perdagangan manusia, menjadi kesempatan bagi Somaly
bukan untuk dirinya sendiri. Segera Somaly mengambil kesempatan
kebebasannya tersebut untuk menyelamatkan perempuan lain yang jadi
korban perdagangan manusia dan dipaksa hidup di rumah pelacuran.
Awalnya ketika datang ke tempat kerja suaminya, sebuah lembaga
kemanusiaan bernama MSF, kepada bos suaminya dengan berani Somaly
menawarkan diri sebagai relawan. Apalagi MSF juga mempunyai program
membantu para PSK yang terkena penyakit kelamin. Bersentuhan dengan para
perempuan yang bahkan jauh lebih muda dari dirinya, yang menjadi korban
pelacuran paksa, semakin membulatkan tekad Somaly untuk bekerja demi
kemanusiaan. Tekad itu diwujudkan pertama dengan Somaly aktif mendatangi
rumah bordir, untuk membagikan kondom agar mengurangi resiko penyakit
kelamin diantara para PSK.
Somaly tahu masalah yang dihadapi jauh lebih berat dari mencegah dan
mengobati PSK yang sakit. Sebab baginya, anak-anak di dunia pelacuran
adalah korban perdagangan manusia yang keji. Tak jarang anak-anak itu
adalah korban jekahatan orang tua sendiri yang menjual anaknya ke
pelacuran. Untuk lebih besar berperan dan mengajak yang lain berjuaang,
Somaly kemudian mendirikan organisasi bernama ‘Aksi bagi Perempuan Dalam
Kesulitan’. Dengan organisasi inilah di waktu kemudian Somaly banyak
mendapat penghargaan karena berhasil menyelamatkan ribuan anak-anak dari
dunia pelacuran.
Somaly memang punya masa anak-anak yang luar biasa menyedihkan, namun
dirinya tidak mau hidup hanya untuk mengenang masa lalu, Somaly lebih
mau hidup untuk membantu perempuan dan anak-anak yang mengalami
penderitaan serupa dengan masa kecilnya. Seperti pernah dia nyatakan,
“..yang ingin saya katakan adalah saya sangat sedih bila harus
menceritakan kisah saya kembali. Sekarang saya sudah bebas, dan hanya
ingin membantu para korban lain.” Dan dengan organisasinya, Somaly terus
berjuang bagi para korban perdagangan manusia. Ia membangun rumah aman
bagi para gadis yang diselamatkan dari perbudakan seks. Di rumah itu,
mereka mendapat makanan, perawatan kesehatan dan pendidikan atau
pelatihan kerja. Somaly mengatakan, “Di tempat penampungan ini ada
perempuan dari usia lima, enam, tujuh, atau sembilan tahun”.
Organisasinya telah membantu 3000 bekas pekerja seks dan ia tak melihat
kerjanya ini akan berakhir.
Somaly
terus giat pada upaya melawan perdagangan perempuan. Kepada pemerintah
pun dia tegaskan, “Saya ingin pemerintah memperhatikan betul
perusahaan-perusahaan yang membawa anak-anak untuk bekerja di luar
negeri karena beberapa di antaranya menjual anak-anak itu ke rumah
bordil. Kami menampung korban yang dijual ke rumah bordil yang sudah
kembali ke Kamboja. Jadi kita harus hati-hati.” Somaly sadar, tanpa
sikap tegas pemerintah dalam melindungi rakyat dan perempuan, akan sulit
masalah diatasi. Karena masalah perdagangan perempuan ini sangat
terkait dengan masalah-masalah lainnya. Menurut Somaly masalah perdagangan manusia juga terkait erat dengan
masalah korupsi. Dia menganggap penegak hukum dan pejabat pemerintah
menerima suap untuk memfasilitasi perdagangan orang dan perdagangan
seks. Somaly menegaskan “Jika pengadilan masih korup bagaimana bisa
menghukum pelaku? Polisi menyelamatkan para perempuan itu dan menangkap
pelaku. Tapi mereka menyogok pengadilan dan dilepaskan lalu membuka
rumah bordil lain.”
Setiap hari, korban perdagangan orang menghadapi dunia tanpa ada
harapan. Para korban ini memikul beban berat yang lebih buruk dari yang
bisa kita bayangkan, tambahnya. “Pertama saya ingin mengatakan, saya sudah berkali-kali membawa
korban perkosaan ke pengadilan, tapi para pelaku kekerasan ini
memberikan uang ke pengadilan lalu mereka bebas. Di luar, mereka kembali
melakukan hubungan seks dengan anak-anak. Yang kedua, seperti
kebanyakan warga Kamboja, anak-anak itu tak tahu apa artinya korban.
Mereka bilang ini salah mereka, padahal bukan. Siapa yang ingin menjual
tubuhnya? Anak-anak usia empat lima tahun? Tidak, sikap mental ini
sangat buruk.
Bagi Somaly, masalah perdagangan orang tak hanya masalah Kamboja
tapi masalah dunia. 3000 perempuan, yang telah diselamatkan Somaly,
sekarang punya hidup yang lebih baik. Semua itu belum cukup, sebab
perdagangan perempuan juga terus berlangsung dan sindikat-sindikat yang
lebih terorganisir. Somaly tahu tantangannya, bukan menyerah, tapi malah
makin giat melawan perdagangan perempuan.
Bukan tanpa hambatan, perjuangan Somaly penuh resiko. Somaly terus
berjuang, tapi sadar apa yang dilakukannya membuat punya banyak musuh
dan ia kerap diancam akan dibunuh. Bukan hanya ancaman, lebih berat bagi
Somaly ketika putrinya yang berusia 14 tahun pernah diculik, diperkosa,
dan dijual ke rumah bordil beberapa tahun lalu. Menjadi pukulan berat
bagi Somaly, tapi membuatnya makin bertekad melawan perdagangan manusia,
sebab ada banyak anak perempuan yang jadi korban penculikan dan
perdagangan. Kini anak Somaly telah diselamatkan, dan bertekad sama
dengan ibunya, ikut berjuang memerangi perdagangan manusia.
Perdagangan orang adalah kejahatan teroganisir kedua terbesar
di dunia. Ini bahkan lebih besar ketimbang perdagangan obat-obatan
terlarang. Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengungkapkan bisnis
ini menghasilkan hampir 10 milyar dolar atau sekitar 117 triliyun rupiah
pertahun. Ya, tak mungkin hanya Somaly Mam, tak cukup hanya satu
negeri, untuk menghentikan perdagangan perempuan. Semua perempuan di
dunia sangat mungkin jadi korban perdagangan perempuan. Sudah semestinya
semua berjuang untuk menghentikan perdagangan perempuan.
Posting Komentar