- Back to Home »
- PEREMPUAN »
- Sujatin, Penggagas Kongres Perempuan Indonesia
Posted by : Unknown
Hari Ibu, jatuh pada 22 Desember. Ia bukan hari biasa, ia adalah hari
bersejarah dimana seribu perempuan berkumpul di Jogjakarta untuk
membicarakan gagasan kemerdekaan perempuan dan bangsa. Hari ibu adalah
hari kebangkitan perempuan Indonesia. Ia adalah hari istimewa tempat
berkumpulnya perempuan-perempuan berani dan cerdas yang ingin
kemerdekaan dan kesetaraan perempuan serta bangsanya.
Memperjuangkan hak – hak perempuan sudah menjadi makanan sehari-hari
gadis ini sejak dari belia. Ia dikenal dengan nama Sujatin Kartowijono.
Gagasannya tentang pembebasan perempuan diperolehnya dari membaca sebuah
buku. Buku itu berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Sebuah
buku yang memuat tulisan-tulisan Kartini. Tulisan Kartini
menggerakkannya untuk turut serta mendirikan sebuah organisasi perempuan
yang bernama PERWARI (PERSATUAN WANITA REPUBLIK INDONESIA) Sujatin
aktif di organisasi hingga usia senja.
Kala itu, usia Sujatin masih belia, yaitu 15 tahun, saat ia bergabung
dengan Jong Java, sebuah organisasi pemuda jawa yang berdiri pada tahun
1922. Pada tahun itu, Sujatin masih bersekolah di MULO atau sekolah
menengah pertama di era Belanda. ”Lima belas tahun, aku mulai aktif di
kegiatan luar sekolah, meniru Ayah yang gemar berorganisasi,” katanya.
Sujatin memilih berorganisasi secara sadar dan pilihannya itupun
mewarnai sepanjang perjalanan hidupnya. Ia tak hanya berjuang untuk
kemerdekaan perempuan, namun juga kemerdekaan bangsanya. Karena
keaktifannya membela hak-hak perempuan, Sujatin pun dipilih memimpin
majalah terbitan Jong java, dengan nama penaa Bunga Gerbera. Kerap kali
ia menulis tentang pentingnya pendidikan dalam mengubah nasib bangsa
jajahan.
Tak heran bila Sujatin kerap menulis soal pendidikan, karena
pendidikan adalah dunianya. Sujatin sendiri setelah lulus dari MULO dan
sekolah guru. Ia memilih mengajar di sebuah sekolah swasta karena ia
tidak mau bekerja untuk pemerintah Belanda (kala itu Gubernemen). Sang
ayah, Joyojadirono, adalah sosok penting yang banyak memberi inspirasi
bagi Sujatin untuk memilih jalan hidupnya sendiri untuk berorganisasi.
Hubungan ayah dan anak ini terbilang istimewa. Karena mengharap hadirnya
bayi lelaki, sang ayah hanya menatap bayi mungilnya dengan dingin.
Kasihan bayi mungil yang lahir pada 7 Mei 1907, di Desa Kalimenur, wates
Yogyakarta itu. Namun, kecerdasan dan kepandaian Sujatin merebut kasih
sayang sang ayah. Iapun menjadi anak kesayangan dari Pak Joyo.
Saking sayangnya dengan Sujatin, Pak Joyo memberikan ranjang khusus
di kamarnya. Pak Joyo adalah seorang Kepala Stasiun Kereta Sumpiuh yang
percaya putrinya itu sanggup menuliskan saran perbaikan kepada Pusat
Jawatan Kereta Api.
Dan berkat posisi sang ayah, Sujatin bisa bersekolah di sekolah dasar
Hollands Indlandsche School (HIS). Setelah sudah bisa baca tulis,
Sujatin sangat hobi baca. Bahkan sering ia memanjat pohon setinggi
mungkin, lalu membaca atau mendekam di kolong tempat tidur hanya untuk
membaca dengan menggunakan penerangan lampu minyak. Ia sangat gemar
membaca karya-karya dongeng Hans Christian Andersen, kisah petualangan
Karl May dan kumpulan surat Kartini. Tulisan Kartini merubah jalan
pemikiran Sujatin sedemikian hebat. ”Aneh, aku seolah melihat potret
diri sendiri,” katanya.
Kartini dengan tulisannya telah sanggup memberi inspirasi bagi
Sujatin, keteguhannya untuk memperjuangkan hak perempuan semakin hebat.
Ia pun bertekad bulat bahwa kaumnya harus setara dengan kaum lelaki.
Bagi sujatin jalan pertama untuk merubah nasib perempuan Indonesia
dalah dengan melepaskan diri dari penjajahan Belanda. Dengan bergabung
ke Jong Java, Sujatin menebarkan gagasan persatuan yang bukan perkara
mudah di masa itu. Mereka yang sudah dalam posisi nyaman karena sanggup
mengenyam pendidikan Belanda, takut tergeser dari posisinya bila
menentang penjajah.
Namun, Sujatin tidak gentar. Ia terus gigih memperjuangkan persatuan
rakyat. Di luar jam mengajar, ia sangat rajin berkunjung ke
sekolah-sekolah lain untuk meyakinkan gagasannya. Ia mengajak para siswa
untuk bergabung dalam perhimpunannya. Ia tak gentar berhadapan dengan
direktur sekolah yang tentu saja adalah orang Belanda. Upaya Sujatin
pada akhirnya mendatangkan simpati atas dirinya dan akibatnya anggota
perhimpunan pun bertambah.
Saat Kongres Pemuda Pertama berlangsung di Jakarta pada 1926, yang
dihadiri oleh Jong Java, Sujatin baru saja lulus dari Sekolah Guru.
Bersamaan dengan itu, ia bersama beberapa rekannya mendirikan organsiasi
perempuan bernama Poetri Indonesia, yaitu sebuah organisasi khusus guru
perempuan. Dua tahun kemudian, ia menggagas berlangsungnya Kongres
Perempuan Indonesia pada 22 Desember 1928 yang kemudian dijadikan
sebagai HARI IBU. Hari dimana seluruh perempuan berkumpul membahas
kemerdekaan bangsa dan perempuan. “Orang perempuan saja kok mengadakan kongres, yang hendak dirembug itu apa” celetuk salah satu orang ketika kongres perempuan hendak dilangsungkan.
Komentar sinis demikian bukan hal baru bagi Sujatin atau perempuan
lainnya, dan tak bisa mencegah mereka untuk terus melanjutkan cintanya.
Kongres itu berlangsung dengan sukses. Sujatin yang hadir dalam kongres
tersebut, mewakili Putri Indonesia dimana ia juga menjadi ketua
pelaksana kongres. Dalam kongres ini terdapat 3 poin penting yang
dirumuskan, yaitu Membangkitkan rasa nasionalisme, Menyatukan gerakan
perkumpulan perempuan dan membentuk Perserikatan Perkumpulan perempuan
Indonesia. Dalam sebuah biografinya, Sujatin berujar, ide pertemuan ini
telah mendapatkan persetujuan dari suami istri Ki dan Nyi Hajar
Dewantoro, Dr. Soekiman, Nyonya Soekonto dari kelompok Wanito Tomo.
Semangat menyatukan organisasi pemuda dan gagasan politik satu
Indonesia sangat memikat hati Sujatin. Walah tak bisa hadir di Kongres
Pemuda II di Jakarta dua tahun kemudian, ia tetap terpikat dengan
butir-butir sumpah pemuda yang diketahuinya melalui surat menyurat. Dari
situlah Sujatin bertekad membuat pertemuan serupa, yakni Kongres
Perempuan Indonesia.
Kongres Perempuan Indonesia, bukan tanpa ancaman dari pihak aparat
kepolisian Belanda. Untuk menghindarai mara bahaya, Sujatin beserta
rekan-rekan perempuan lainnya mengakali polisi agar tidak mengendus
pertempuan berbau politik, yakni dengan mengutarakan bahwa Kongres
Perempuan Indonesia adalah pertemuan non politis. Kepada Pemerintah
Belanda, Sujatin menyampaikan bahwa Kongres ini hanya membahas posisi
perempuan dalam perkawinan dan pendidikan. Hanya saja, sesuai dengan
semangat Sumpah Pemuda, kongres ini menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa pengantar. Seusai pembacaan keputusan, kongres pun ditutup
dengan agenda utama pengibaran Merah Putih yang diiringi dengan lagu
Indonesia Raya.
Kongres Perempuan Indonesia tidak hanya berlangsung sekali. Kaum
perempuan ini kembali berkumpul setahun kemudian. Kali ini tempat
pertemuan bukan lagi di Jogjakarta, namun di Gedung Thamrin, jakarta.
Acara ini bertepatan dengan masa berduka karena Soekarno dibuang. Namun,
penangkapan Soekarno justru mengobarkan semangat kaum perempuan yang
sedang berkongres ini. Teriakan “Merdeka Sekarang” menggema di seluruh
ruangan. Akibat teriakan tersebut, hampir saja polisi membubarkan acara,
namun dengan sigap Sujatin mengambil alih pimpinan dan menutup sidang.
Sujatin memilih berada di bagian terdepan perjuangan hak perempuan. dalam bukunya, Perkembangan Gerakan Wanita Indonesia, terbitan
Yayasan Idayu pada tahun 1977, Sujatin menyampaikan, sejak Kongres
Perempuan Indonesia, banyak organisasi perempuan mencurahkan perhatian
pada masalah perkawinan. Sujatin sendiri berperan dalam pembentukan P4A
yakni Perkumpulan Pembasmian Perdagangan Perempuan dan Anak-anak pada
1930.
Kongres Perempuan selanjutnya tak bisa lepas dari isu politik. Pada
tahun 1935, ketika berlangsung Kongres Perempuan lagi, salah satu
rekomendasinya adalah ”Perempuan Indonesia berkewajiban berusaha supaya
generasi baru sadar akan kewajiban kebangsaan.” Pada 1941, rekomendasi
politiknya lebih tegas lagi: menyetujui aksi Gabungan Politik Indonesia
yang mengajukan ”Indonesia Berparlemen” demi memperjuangkan Indonesia
merdeka.
Saat Jepang berkuasa menggantikan Belanda, Sujatin mengerahkan
seluruh tenaga dan pikirannya untuk mengajar selain mengurus keluarga.
Dari pernikahannya dengan Poediarso Kartowijono, pada 1932 ia memiliki 3
anak lelaki dan 3 anak perempuan. Sesekali, Sujatin belajar bahasa
Jepang karena diminta oleh pemerintah supaya menjadi penerjemah pejabat
Jepang ketika berkunjung ke beberapa daerah.
Bagi Sujatin, sosok Poediarso, suaminya adalah lelaki yang mengerti
akan perjuangannya. Sebelum menikah, Sujatin dua kali gagal melanjutkan
pertunangannya ke jenjang pernikahan karena kedua tunangannya tersebut
tak kuasa dengan tekad Sujatin mengutamakan perjuangan sehingga selalu
sibuk dengan aktifitasnya. Pernah suatu kali, kekasihnya itu menyusulnya
ke Kongres dan meminta Sujatin untuk tidak hadir di Kongres Perempuan.
Namun, Sujatin menolak permintaan sang kekasih dan menjawab ”Aku tak ada
pilihan lain, aku tak bisa mengecewakan peserta kongres,”
Keputusan Sujatin meninggalkan tunangan-tunangannya kala itu
membuatnya dijuluki sebagai “tukang bikin patah hati lelaki”. Padahal
kedua tunangannya itu masing-masing bermasa depan cerah, yakni calon
sarjana hukum dari jakarta dan calon sarjana tekhnik dari Bandung.
Namun, sosok Poediarso berbeda. Ia bukan sarjana, bukan pula orang
dengan pendapatan pasti karena tak mau diupah Belanda. Ia juga adalah
murid kursus politik Soekarno. Namun, Poediarso memahami kesibukan
Sujatin dan akhirnya merekapun menikah dengan 6 anak, 3 lelaki dan 3
perempuan.
Dengan Poediarso, Sujatin jarang sekali bertengkar dan dikenal hidup
rukun. ”Saya selalu memperhatikan rumah tangga di tengah kesibukan
organisasi, maka rumah tangga saya kekal,” ujar Sujatin. Setelah kemerdekaan Indonesia, Sujatin terus aktid berorganisasi. Ia
turut mendirikan Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) dan
terpilih sebagai Ketua Badan Federasi Kongres Wanita Indonesia. Selain
itu, ia menjabat Kepala Urusan Wanita pada Jawatan Pendidikan Masyarakat
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ia juga dikenal rajin keliling
daerah, termasuk ke hulu Barito di Kalimantan Selatan. Selain itu, Ia
juga kerap melakukan perjalanan ke luar negeri.
Pada tahun 1960, Sujatin melepas semua jabatannya di organisasi namun
tetap aktif menjadi penasehat PERWARI dan tetap kritis. Saat Soekarno
melakukan poligami, ia mundur dari jabatan di kementerian. Ia getol
mengkritik pilihan Soekarno untuk berpoligami. Di usia senja, setelah 41 tahun menderita penyakit diabetes, pada 1
Desember 1983, Sujatin akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Pidato Pembukaan Kongres Perempuan Ini dibacakan oleh Ketua Kongres, R.A, Soekonto “Sebelum membuka kongres ini kami hendak menerangkan dengan ringkas tujuan kongres ini.
Mula-mula, di Perkumpulan Wanita Utomo, ada usul dari berbagai
perkumpulan yang mengajak kerja sama. Akan tetapi, karena banyak
kesibukan usulan itu tidak dapat terlaksana. Selanjutnya, suatu saat ada
pertanyaand ari perkumpulan pergerakan kaum perempuan, apakah
perkumpulan kita dapat mengirim utusan ke Honolulu, yaitu Kongres
Pasifik. Hal itu tidak dapat dilakukan karena berbagai alasan.
Akhirnya kami bertiga, yaitu Nyi Ajar Dewantoro, Sujatin, dan saya
sendiri berpikir kalau begitu kaum perempuan Indonesia masih kurang
pintar dan ketinggalan dalam hal apapun. Kami merasa bahwa kaum
perempuan Indonesia sangat tertinggal dibanding kaum perempuan di negara
dan bangsa lain. Betul bahwa di Indonesia sudah banyak perkumpulan perempuan, tetapi
bagaimana kita dapat membicarakan nasib kaum perempuan jika perkumpulan
perkumpulan itu tidak pernah berhubungan. Oleh karena itu kami bertiga
mencari upaya supaya kita dapat berkumpul. Kami bertiga berpikir untuk
menyelenggarakan kongres. Akan tetapi sudah tentu kongres tidak akan
ebrjalan kalau diselenggarakan oleh kami bertiga saja. Oleh karena itu
kami bertiga waktu itu dibantu oleh saudara sunaryati sebaga juru tulis.
Kami berempat memohon kedatangan kaum putri di Yogya, baik dari anggota
perkumpulan maupun bukan.
Setelah menjelaskan maksud kami, kaum putri yang tersebut di atas
etuju akan menyelenggarakan kongres ini dan tuan putri dengan suka rela
membantu. Oleh karena itu, dalam satu minggu telah berdiri komite
kongres ini dan kongres ini dberi nama “Kongres Perempuan Indonesia”.
Tuan putri dari perkumpulan mana saja akan dijelaskan oleh saudara
Sukaptinah.
Selain itu, tidak mengherankan bahwa berdirinya komite kongres ini
mendapat rintangan yang bersifat kritik. Kritik ini keluar dari pihak
kaum kuno (kolot) yang masih cinta pada keadaan yang lama. pendeknya,
yang masih suka dengan adat istiadat zaman yang saya tidak ketahui lagi.
Akan tetapi, kritik semacam itu tidak kami pedulikan sebab sudah
menjadi kebiasaan, hukum alam, jika ada yang berniat baik pastilah ada
yang berusaha menggagalkan niat baik tersebut. Demikian pula yang
terjadi dengan terbentuknya Kongres Perempuan Indonesia. Walaupun sudah
jelas kepentingannya, kaum kolot masih merendahkan kaum perempuan saja.
Kritik mereka, “Kaum perempuan tidak perlu berkongres-kongres,” “Kaum
perempuan di dapur tempatnya”, “Kaum perempuan tidak perlu memikirkan
kehidupan, sebab itu kewajiban kaum laki-laki” Ada lagi yang mengatakan “Kaum perempuan Indonesia belum matang,
belum bisa bermufakat tetnang perkumpulan, demikianlah kata kaum
pengganggu. Akan tetapi, orang yang ingin mencapai tujuannya harus
berani melawan kritik melalui pembicaraan dan dengan sekuat tenaga yaitu
bekerja dengan setulus hati. Dewasa ini telah terlihatlah
kepentingannya pergerakan kaum perempuan. Zaman kaum perempuan dianggap
hanya baik untuk tinggal di dapur saja itu zaman kuno. Zaman sekarang
adalah zaman kemajuan. Oleh karena itu, zaman ini sudah waktunya
mengangkat derajat kaum perempuan agar kita tidak terpaksa duduk di
dapur saja.
Sudah pasti perkataan saya ini tidak bermaksud melepaskanperempuan
Indonesia dari dapur. Kecuali harus menjadi nomor satu di dapur, kita
juga harus turut memikirkan pandangan kaum laki-laki sebab sudah menjadi
keyakinan kita bahwa laki-laki dan perempuan mesti berjalan bersama
–sama dalam kehidupan umum. Artinya, perempuan tidak menjadi laki-laki,
perempuan tetap perempuan, tetapi derajatnya harus sama dengan
laki-laki. Jangan sampai direndahkan seperti jaman dulu.
Demikianlah tujuan kami. Selain itu, masih banyaklah kebutuhan
perempuan Indonesia yang pelru diperbaiki. Oleh karena itu, terlihatlah
betapa pentingnya mengumpulkan perhimpunan perempuan dari seluruh
Indonesia untuk membicarakan kebutuhan yang telah disebut tadi. Kebutuhan ini tidak perlu disebutkan lagi sebab nanti akan
dibicarakan oleh utusan-utusan dari perhimpunan perempuan yang hadir
dalam kongres ini.
Sebagai penutup kami hendak menyampaikan hormat dan terimakasih dari
komite pusat, pertama-tama kepada RT Djojodipoero yang sudah termasyur
kemurahan hatinya terhadap semua perhimpunan kebangsaan kita dan yang
telah menyerdiakan tempat untuk kongres kita; yang kedua kami dan
perkumpulan-perkumpulan yang telah memberikan sumbangan dana maupun
perlatan dan tenaga dan memberi tempat penginapan bagi tamu untuk
keperluan kongres ini. Lain tidak saya berharap dan memohon agar kongres ini akan berjalan lancar dan membawa hasil bagi kita, perempuan Indonesia. Dengan ini kongres perempuan Indonesia yang pertama saya buka.
Sumber tulisan:
Tinjauan ulang Kongres Perempuan Indonesia, Susan Blackburn
Posting Komentar