- Back to Home »
- RESENSI FILM »
- Persepolis: Ketika Tuhan dan Karl Marx Tidak Berkonflik
Posted by : Unknown
Hidup paling menyedihkan adalah lahir sebagai sapi dan mati sebagai keledai. Kalimat dari neneknya itu tertanam di bawah sadar Marjane Satrapi sejak kecil. Menurut nenek yang bijak itu, sapi adalah binatang penakut, tidak berani mengambil risiko. Karena itu, sapi selalu rela dicucuk hidungnya. Dan keledai adalah binatang yang tidak kalah pengecutnya dari sapi.
Sepanjang hidupnya, Marjane jelas tidak pernah jadi penakut, apalagi pengecut. Bahkan ketika ia sadar sudah salah langkah. Marjane sempat terjatuh, tapi kemudian bangkit lagi. Ia mengambil risiko, kembali maju ke medan kehidupan, berjuang mencari jati diri dan menancapkan eksistensinya di dunia yang memang jadi pilihannya sendiri.
Karena itulah, ia akhirnya berhasil menerbitkan novel grafisnya, Persepolis, yang sering di sejajarkan dengan Maus, novel grafis karya Art Speigelman yang memenangi Pulitzer. Karena itu pulalah, tanpa disadari oleh Marjane, Persepolis berkembang menjadi lebih besar dari yang bisa dimimpikan seorang gadis kecil yang selalu berkhayal ngobrol dengan Tuhan. « Dan seperti mendapat tiupan arwah, tiba-tiba saja saya menyaksikan Persepolis hidup, terpampang di layar lebar, » kata Marjane.
Persepolis memang penuh gairah hidup meski visualnya berwarna hitam putih, kecuali adegan pembuka dan beberapa sisipan yang dibuat berwarna. Pilihan ini, menurut Satrapi adalah ide dari koleganya, Vincent Paronnaud yang juga menyutradarai Persepolis. « Persepolisdiceritakan dengan struktur flashback, karena itu kami perlu membedakan antara apa yang terjadi sekarang dan kilas balik itu, » kata Paronnaud.
Saya bersyukur, duet Satrapi-Paronnaud ngotot mengadaptasi film ini sesetia mungkin pada bukunya, bahkan gaya minimalis ciri khas Satrapi. Setiap karakter digambar dengan datar dan garis hitam tebal. Saya tidak bisa membayangkan jika Persepolis diadaptasi sesuai pinangan Hollywood, dengan Brad Pitt berperan sebagai bapak dan Jennifer Lopez berperan sebagai ibu Marjane.
Pilihan untuk menggunakan voice-over adalah yang paling tepat. Sulih suara untuk Marjane kecil dilakoni oleh Gabrielle Lopes dan Marjane remaja oleh Chiara Mastroianni. Sedang pengisi suara sang ibu adalah artis legendaris Prancis, Catherine Deneuve –dan juga ibu Chiara. Suara sang bapak dilakoni oleh Simon Abkarian dan, suara sang nenek bijak diisi oleh artis senior Prancis, Danielle Darrieux. Kolaborasi mereka makin menghidupkan karakter-karakter minimalis di Persepolis.
Animasi yang orisinil dan cerita personal yang universal inilah yang membuat Persepolis pantas mendapat Jury Prize Award di Festival Film Cannes 2007. Film ini adalah film animasi kedua yang pernah memenangi penghargaan bergengsi di festival tersebut setelah The Fantastic Planet karya René Laloux pada 1973.
Persepolis bercerita tentang seorang gadis kecil yang tumbuh di tengah keluarga modern yang berpikiran sangat terbuka. Si kecil Marjane terbiasa berpikiran kritis berkat asahan orang tua dan neneknya yang melek politik dan berhaluan sosialis. Sampai suatu masa, keharmonisan keluarga itu tergoncang oleh kekuatan tak terduga di luar rumah mereka: Revolusi Islam !
Revolusi ini mengubah Iran dari sistem pemerintahan monarki ke sistem republik Islam. Tiba-tiba, normalitas dijungkirbalikkan. Segalanya berubah ke arah yang berlawanan. DanPersepolis kemudian memaparkan kisah pararel tentang gadis kecil yang tumbuh remaja di sebuah negeri yang juga sedang tumbuh ke arah yang dianggap lebih baik. Dan tentang sebuah negeri yang berevolusi sehingga memengaruhi pertumbuhan seorang gadis kecil.
Bagian awal Persepolis bertutur dari sudut pandang Marjane kecil. Bagian ini diceritakan oleh Satrapi dengan innocent, tanpa pretensi. Pada masa ini, seperti juga pada umumnya anak-anak, Marjane memandang perubahan itu dengan naïf. Marjane kecil misalnya menganggap bahwa pahlawan adalah mereka yang menghabiskan banyak waktu di penjara. Ia juga tidak bisa mengontrol prasangka-prasangka buruk yang menghinggapi dirinya.
Dalam salah satu sekuen di Persepolis, si kecil Marjane bersama teman satu geng menguber-uber seorang anak lelaki yang ayahnya kebetulan seorang penjaga penjara. Anak-anak kecil itu mendengar, bahwa ayah teman mereka inilah yang bertanggung jawab atas penyiksaan dan kematian sejumlah pahlawan mereka di penjara. Salahkah Marjane? Salahkah anak-anak itu?
Dari sini, Persepolis berkembang searah dengan perkembangan Marjane kecil yang mulai remaja. Marjane adalah gadis puber yang gelisah. Tidak mudah untuk tumbuh remaja di tengah revolusi yang berkobar dan rezim yang mengikat kebebasan warganya. Bagaimana rasanya tumbuh remaja di era ’80-an tanpa mendengar musik rock? Tanyalah Marjane. Ia merasa hampir tak bisa bernafas.
Untuk itulah Marjane akhirnya dikirim ke Vienna, Austria, ketika berumur 14 tahun. Agar ia bisa bernafas lega, menikmati kebebasan berpikir dan berkarya. Tapi mungkin karena ia masih terlalu muda, jauh dari orang tua dan bergaul dengan anak-anak sekolah menengah di Vienna yang sudah terbiasa berurusan dengan kebebasan, Marjane malah kebablasan. Ia tidak bisa mengatasi euforia kebebasannya. Dan Marjane menyadari, ada yang salah.
Film Persepolis kemudian menunjukkan, bahwa Marjane bukan sapi, apalagi keledai. Marjane remaja bangkit, mengambil risiko, kembali terjatuh dan bangkit lagi. “Apa menariknya hidup jika kita selalu takut? Saya belajar bahwa kebebasan juga berarti harus berani mengambil risiko. Semua saling tergantung. Saya lebih memilih untuk menghadapi risiko dan sesekali akan merasakan sakit. Itulah hidup yang ada dibenak saya,” kata Satrapi, sang sutradara.
Karakter Marjane jelas menunjukkan prinsip tersebut. Toh seperti yang dikatakan Satrapi, tidak mudah memang. Persepolis membuat kita ikut merasakan kesepian yang dialami Marjane. Seorang manusia yang merasa tidak memiliki tempat di mana pun karena benaknya yang terus gelisah mencari identitas. Marjane mencoba untuk diterima dan menerima apa yang dianggap normal di setiap komunitas persinggahannya. Itupun sering gagal.
Untungnya, Marjane punya teman setia, Tuhan dan Karl Marx. Dan untungnya lagi, Tuhan dan Karl Marx-nya Marjane ini tidak pernah berkonflik. Kepada mereka Marjane curhat dan bertanya tentang apakah Tuhan benar-benar menginginkan Revolusi Islam. Atau apakah Om Marx mendefinisikan revolusi seperti yang terjadi di Iran. Di dalam dunia Marjane, Tuhan dan Karl Marx rupanya saling mendukung. Karl Marx sempat bilang, “keep up the fight!” dan Tuhan pun ikutan bilang, “yes, keep up the fight!” (Di dalam komiknya, Marjane kecil sempat mengusir Tuhan khayalinya, dan berkata tak akan percaya Tuhan lagi.)
Meski terdengar sangat serius dan berlatar belakang revolusi yang juga keras, Persepolis jauh dari kesan film yang berat. Penonton bisa tertawa melihat kenaifan Marjane kecil atau geleng-geleng kepala menyaksikan kebandelan Marjane yang sedang puber. Persepolis juga tidak lantas menggaristebalkan nuansa politik yang melatarbelakangi kisah ini. Toh ini adalah kisah hidup Marjane Satrapi yang kebetulan saja menjadi saksi disebuah peristiwa sejarah terbesar dunia setelah revolusi Prancis dan Bolshevik.
Untungnya, sebagai sutradara dan pemilik cerita, Satrapi tidak keceplosan. Ia mampu menjaga karakter Marjane dalam frame dengan komposisi yang pas. Karakter Marjane tidak terlihat jadi seperti pahlawan kesiangan yang butuh tepuk tangan. Persepolis adalah sebuah kisah hidup yang memang perlu diceritakan atau didongengkan kepada generasi muda yang tumbuh dalam era globalisasi yang makin membengkak ini. Dan kisah personal Marjane ini, tanpa disadari, memuat pesan yang universal. Bahwa di mana pun dan bagaimana pun situasi dan kondisi tempat kita berada, perlu untuk tetap saling menghargai, memercayai pilihan hidup kita, dan menjadi diri sendiri.***
PERSEPOLIS
Sutradara : Vincent Paronnaud dan Marjane Satrapi
Penulis skenario : Marjane Satrapi dan Vincent Paronnaud
Pengisi suara : Chiara Mastroianni, Catherine Deneuve, Danielle Darrieux, Gabrielle Lopes
Produksi : 2.4.7 Films
Posting Komentar