Posted by : Unknown

Image
Perempuan itu bernama Dilma Rousseff. Sebagai aktivis yang menentang kediktatoran, ia pernah disiksa dan dipenjarakan di tahun 1970an. Predikat tahanan politik pun tersemat di pundaknya. Di usianya yang ke 62 tahun, Dilma mengukir sejarah baru di Brazil dengan memenangi pemilu di tahun 2010 sebagai presiden Perempuan pertama di Brazil. Lawan Dilma dalam pemilu tersebut bukan sembarangan, Dilma berhasil mengalahkan Jose Sera, mantan  gubernur Sao Paulo. Pada 31 Oktober 2010, dikabarkan ia mengantongo 55,6% dari total suara. Dari kemenangan tersebut, Dilma pun mulai memimpin sebagai presiden pada 1 Januari 2011, menggantikan Luiz Lula da Silva yang turut mendukung pencalonannya.
“Mulai besok kita akan memulai babak baru demokrasi. Saya akan memimpin semuanya, berbicara dengan semua rakyat Brazil, tanpa kecuali,” ujar Rousseff seperti dilansir kantor berita Associated Press.
Dilma sendiri adalah seorang mantan gerilyawan sayap kiri yang pernah dipenjarakan pada tahun 1970 dan selama 3 tahun ia menjalani penyiksaan tak terperi. Dilma sudah mulai menjadi pemberontak sejak usia 19 tahun. Oleh Junta militer sayap kanan, Dilma dituduh melakukan tindakan subversif.
Kepada sebuah majalah bernama Istoe  pada tahun 2008, Dilma membeberkan penyiksaan yang dialaminya selama dalam tahanan. Dia mengaku disetrum oleh penguasa militer Brazil supaya mengaku dan membocorkan aktivitas kelompoknya, Komando Pembebasan Nasional.
Image
“Saya mengalami pendarahan, tapi saya tetap diam. Bahkan saya tidak mengatakan dimana saya tinggal,” ujarnya seperti dilansir dari laman stasiun televisi CNN.

Baru pada tahun 1972 Dilma dibebaskan. Di tahun itu, selain lolos dari siksaan Juta militer, Dilma pun lolos dari penyakit kanker kelenjar getah bening. Ibu dari satu anak ini dinyatakan sembuh pada tahun 2009. Memang di Tahun 2009 itu , ia didiagnosis mengalamai limfoma stadium awal. Setelah berbulan-bulan menjalani kemoterapi, ia dengan bangga mencopot wig-nya di depan kamera ketika dinyatakan sembuh.
Rousseff, yang mulai menjabat sebagai Presiden Brasil pada 1 Januari 2011, mengakui bahwa menjadi seorang perempuan di kantor tidaklah mudah. Ia pun mengeluh dengan perlakuan media terhadap dirinya sebagai “perempuan besi” Brasil setelah sejumlah pembantunya komplain terhadap cara dia dalam memperlakukan bawahan. “Menjalani pemerintah terkadang seperti menjadi seorang ibu,” katanya kepada TV Globo. “Anda harus menanyakan hasil.”
“Salah satu bagian dari kisah hidup Dilma mengingatkan saya dengan Nelson Mandela,” ujar Lula. Nelson Mandela adalah mantan presiden Afrika Selatan yang pernah dipenjara karena menentang politik rasis yaitu politik apartheid.
Presiden Brazil ke 36 ini juga menjadi perempuan pertama yang ditunjuk Presiden Lula da Silva kala itu untuk menjadi Kepala Staff Presiden Brazil.
Dilma lahir dari keluarga menengah ke atas. Ayahnya adalah seorang pengacara dan wiraswasta, sementara sang ibu adalah seorang guru sekolah. Awal Dilma mengenal dunia politik terjadi pada tahun 1964 ketika ia mulai bersekolah di sekolah menengah ke atas. Pada tahun 1967, Dilma memutuskan serius terjun di dunia politik dengan bergabung di Politik Pekerja (Politica Operaria atau POLOP). POLOP adalah sebuah organisasi yang didirikan pada tahun 1961 sebagai salah satu faksi Partai Sosialis Brazil. Pada masa inilah, Dilma kemudian bertemu dengan Claudio Galeno Linhares, yang kemudian dinikahinya pada tahun 1968 setelah memadu kasih selama satu tahun.
Dilma tidak main-main berjuang, ia dan  Linhares terlibat aktif dalam perjuangan militan, yang tidak diketahui oleh keluarganya. Keaktifannya dalam pemberontakan pun membuat perjalanan pernikahannya tidak mulus sehingga perceraian tidak terhindarkan di tahun 1969. Di tahun yang sama, Dilma kemudian menikah dengan Carlos Franklin Paixao de Araujo, Ketua Partai Komunis Brazil (Partido Comunista Brasileiro, PCB). Kemudian, Araujo menggabungkan partainya dengan beberapa partai lain membentuk Vanguarda Armada Revolucionaria Palmares yang akrab dengan nama VAR Palmares. Keterlibatan ibu satu anak ini kemudian berujung pada penangkapan oleh pihak militer pada tanggal 16 Januari 1970 dan dibebaskan pada tahun 1972. Akibatnya, Dilma dikeluarkan dengan tidak hormat dari Universitas tempat ia mengenyam pendidikan yaitu di Universitas Federal Minas Gerais dan dilarang melanjutkan kuliahnya. Karena itulah ia memutuskan pindah ke Universita Federal Rio Grande do Sul dan lulus di tahun 1977. Aktivitas politiknya baru berlanjut kembali ketika ia di Institut Ilmu Politik dan Sosial meski tidak dalam bentuk militan.
Sebenarnya, setelah dibebaskan pada tahun 1972, pemerintah militer melarangnya melakukan kegiatan politik. Namun dengan kembalinya demokrasi di Brazil pada pertengahan 1980an, Dilma kemudian menduduki beberapa posisi politik. Salah satu diantaranya adalah menjadi sekretaris energi di negara bagian Rio Grade do Sul. Di negara bagian itu, dia mendapat pujian atas penanganannya terhadap masalah pemadaman listrik dan mengembalikan negara bagian itu ke sebuah peta jalan yang menjadikannya sebagai pusat energi. Ia  dipuji Rousseff dipuji karena melakukan demokratisasi energi Brasil melalui sebuah program yang disebut Luz Para Todos (Terang bagi Semua) yang membawa listrik untuk para petani miskin.
Organisasi-organisasi gerilyawan tempat ia aktif terlibat seperti Komando Pembebasan Nasional, berusaha mendapatkan kontrol atas pemerintah secara paksa. Pilihan ini berinspirasi dari revolusi Kuba dan kelompok pemberontak Amerika Latin lainnya seperti FARC di Kolombia. Kepada sebuah wawancara di sebuah TV, Jo Soares di tahun 2008, Dilma menolak berkisah bahwa ia mengetahui bagaimana mengoperasikan AK-47. Ia menyatakan bahwa keterlibatannya adalah secara politis. “Saya dulu punya miopia dengan derajat 9 atau 10” yang artinya penglihatannya tidak lah bagus.
Memang, beberapa pengecam Dilma mencela keterlibatan perempuan ini dalam gerakan gerilya. Bahkan, dalam sidang Kongres tahun 2008, ia membungkam seorang senator dengan menjawab kritik tersebut dan mendapatkan tepuk tangan meriah. Dalam sidah itu, seorang senator menuduh bahwa Dilma telah melanggar hukum tahun 1960 karena berbohong pada polisi Brazil dan terlibat dalam kegiatan subversif anti militer. Dilma pun menjawab “Senator, saya berusia 19 tahun, saya berada di penjara selama 3 tahun dan saya disiksa secara barbar.  “Siapa pun yang berani mengatakan kebenaran kepada para penyiksa, mereka akan membahayakan kehidupan teman-teman mereka. Mereka akan mengantarkan teman-temannya kepada kematian.”
Di akhir tahun 2006, Kantor Komisi Khusus untuk Perbaikan Hak Asasi Manusia untuk Rio de Janeiro menyepakati permintaan ganti rugi bagi Dilma dan 8 tahanan politik lainnya. Total besar kompensasi yang dibayarkan kepada korban penganiaan politik mencapai 72.000 reais. Namun demikian, bagi Dilma, ganti rugi ini hanya simbol belaka. Dilma dan suaminya, Araujo kemudian memilih menghabiskan waktu mereka untuk menyukseskan Alceu Collares sebagai Wali kota Porto Alegre di tahun 1985. Setelah Collares terpilih sebagai walikota, ia menunjuk Dilma sebagai Sekretaris Bendahara Kota dimana ia menjabat hingga tahun 1988. Pada tahun 1990, Collares terpilih sebagai Gubernur dan menunjuk DIlma sebagai presiden Lembaga Ekonomi dan Statistik,yang dilakoni Dilma sampai akhir 1993. Di tahun 1998. Gubernur Olivio Dutra menunjuknya menjadi Sekretaris Energi kembali.
Karir politik semakin menanjak ketika terpilih sebagai Menteri Energi oleh Presiden Lula da Silva pada tahun 2001. Menurut Gilberto Carvalho, sekretaris pribadi presiden, Dilma menarik perhatian Lula da Silva karena berani menghadapi situasi sulit dan keahlian teknisnya. Pada tahun 13 Juni 2010,  Dilma mengumumkan pencalonan dirinya sebagai presiden dari Partai Buruh untuk Pemilu tahun 2010.
Kala itu, ketika dilantik sebagai presiden perempuan pertama Brazil, setelah upacara sumpah jabatan berlangsung di hadapan kongres, Dilma menyampaikan pidato pertamanya sebagai presiden. Dalam pidato tersebut, Dilma mengatakan seluruh perempuan Brazil mesti bangga karena bangsa tersebut kini memiliki seorang presiden perempuan. Momen ini, lanjut Dilma merupakan awal sebuah era baru, dan a berjanji akan tetap mempertahankan pemerintah rakyat.
Terkait agenda pemerintahannya, Dilma menyampaikan kemiskinan tetap menjadi prioritas utama pemerintah. Tidak akan ada lagi rakyat yang hidup tanpa rumah, tanpa makanan dan tidak akan ada lagi anak-anak terlantar. Ia juga menekankan reformasi pajak, perlindungan lingkungan, peningkatan layanan kesehatan, pengembangan daerah dan perlindungan perekonomian bangsa dari aksi spekulasi oknum internasional.
Dalam masa pemerintahan Presiden Dilma, Brazil akan menjadi tuan rumah pelaksanaan FIFA World Cup pada tahun 2014, dan persiapan pelaksanaan Olimpiade musim panas 2016.
Di masa pemerintahan Dilma inilah , diterapkan pembiayaan gratis pencabutan implan payudara buatan Prancis dan Belanda yang membahayakan kesehatan mereka. Tercatat sekitar 12.500 perempuan Brasil menggunakan implan payudara tersebut.
Di bawah Dilma Rousseff, Brasil mengambil alih posisi Inggris sebagai negara dengan perekonomian terbesar keenam dunia pada Maret 2012. Brasil juga memiliki catatan sukses luar biasa dalam mengangkat masyarakat keluar dari zona kemiskinan. Tak hanya itu, demi meningkatkan hubungan kerja sama dengan negara – negara benua Afrika, Dilma membatalkan atau merestrukturisasi utang negeri –negeri Afrika tersebut senilai US$ 900 juta. Kebijakan ini menguntungkan setidaknya 12 negara Afrika seperti Tanzania, Zambia dan Kongo – Brazaville. Hal ini menurut Dilma setimpal dengan keuntungan kerja sama ekonomi antara Brazil dan Negara Afrika.
“Menjaga hubungan khusus dengan Afrika adalah strategi kebijakan luar negeri Brasil.”
Dia menambahkan kebanyakan utang yang direstrukturisasi adalah akumulasi utang yang terjadi pada tahun 1970-an dan telah mengalami negosiasi ulang sebelumnya. Sementara itu, Dilma tidak menggrubris desakan Amerika Serikat untuk mengikuti perdagangan bebas dan tidak melindungi produk Brazil dengan tarif yang tinggi.
18 bulan mendatang, pemilihan presiden akan digelar lagi di negeri samba tersebut. Dilma, menurut hasil survei masih menjadi favorit untuk memenangi pemilihan presiden tersebut dengan angka 52%. Jajak pendapat itu menanyai 2.002 pemilih dari 142 wilayah di Brasil. Sementara batas kesalahan survei itu sebesar 2 persen.
Dalam jajak pendapat itu, juga ada catatan kalau 10 persen pemilih akan memilih mantan senator Marina Silva. Perempuan yang menjadi pesaing Rousseff ini sudah kali ketiga ikut pemilihan presiden.
Data pun menunjukkan kalau separuh dari responden tidak mau memilih Jose Serra. Tokoh ini berada satu setrip di bawah Dilma dalam pemilihan umum presiden beberapa waktu lalu. Serra berasal dari partai oposisi utama, yakni Sosial Demokrat.
Secara total, andai dibandingkan dengan mantan presiden sebelumnya, Luiz Inacio Lula da Silva, presiden petahana Dilma Rousseff masih memiliki pendukung pemilih 63 persen. Survei Ibope sebelumnya malahan cuma menempatkan Luiz Inacio di posisi 39 persen.

Total Tayangan Halaman


counter web

Categories

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

- Copyright © Diaspora -- Powered by Blogger - Designed by Efrial Ruliandi Silalahi -