Posted by : Unknown


Siang itu, Selasa, 9 Oktober 2012; di sebuah kota kecil Lembah Swat, di Pakistan, Malala, gadis remaja Pakistan,  berusia 14 tahun pulang sekolah bersama teman-temannya dengan bus sekolah. Namun, hari itu bukanlah hari biasa bagi Malala. Rombongan pasukan Taliban menghentikan bus sekolah tersebut dan dengan senjata api menanyakan seorang gadis bernama Malala. Tentu saja, dengan mudah pasukan taliban ini bisa menemukan Malala. Tanpa banyak kata, seorang taliban menembak Malala tepat di kepala dan lehernya dari jarak dekat. Tidak hanya Malala yang ditembak, kedua temannya yang duduk di sebelah Malala juga ditembak. Suara jeritan ketakutan riuh memenuhi seluruh bus sekolah tersebut, sementara kelompok Taliban segera lari meninggalkan jejak kengerian. Sang guru sekolah yang ada di bus sekolah itu segera meminta sopir bus untuk melarikan busnya ke Rumah Sakit terdekat. Malala, gadis kecil itu bertarung dengan maut diiringi doa dari seluruh rakyat Pakistan dan dunia.

Berita tersebut menghebohkan seluruh penjuru dunia. Sesaat setelah penembakan, juru bicara Taliban di Pakistan memberi ancaman bahwa apabila Malala selamat dalam penembakan kali ini maka sampai kapan pun nyawanya akan terus diincar. Kini, setelah dirinya dilarikan ke London untuk proses penyembuhan, Malala sudah siuman dan sudah bisa berdiri maupun menulis.
 Penembakan Taliban terhadap Malala, membawa duka hampir sebagian besar umat manusia di dunia. Di Pakistan, seluruh siswa sekolah menggelar doa bersama mengiringi perawatan Malala. Bahkan, Presiden Pakistan, Zardari, menyatakan akan membiayai semua pengobatan Malala hingga gadis kecil ini pulih. Dukungan dari berbagai pihak mulai mengalir bagi Malala beserta keluarga. Doa, dan dukungan yang terus mengalir tidak sia-sia. Kondisi Malala memang membaik setelah  peluru diangkat dari kepalanya dan mendapat perawatan lanjutan di London yang dikenal memiliki perlengkapan yang paling lengkap untuk perawatan anak dengan penyakit berat.

Menghadapi ancaman Taliban yang akan terus meneror Malala dan keluarga, keluarga Malala menyatakan tetap akan tinggal di Pakistan. “Bertahan atau tidak putri saya, kita tidak akan meninggalkan negeri ini. Kami memiliki ideologi dan kami adalah orang-orang yang mencintai tanah air,” kata ayah Malala, Ziauddin, seorang guru dan seorang penyair.
Malala, gadis berusia 14 tahun ini bernama lengkap Malala Yousafzai. Nama Malala diambil dari nama seorang pendekar perempuan dan penyair bernama Malalai dari Mawaian. Sementara nama Yousufzai berasal dari nama sebuah konfederasi suku Pashtun yang ada di kota kecil Swat Valley, tempat ia dibesarkan. Di rumahnya di Mingora, dimana tinggal bersama dengan dua adik lelakinya, orang tuanya, dan dua ayam peliharaannya.
Kepribadian Yousafzai mendapatkan banyak pengaruh dari ayahnya, Ziauddin Yousafzai yang seorang penyair, kepala sekolah dan seorang aktivis pendidikan. Ia dikenal mengelola sekolah yang bernama Sekolah Umum Khushal. Suatu kali, Malala pernah berstatemen dalam suatu wawancara bahwa ia ingin menjadi seorang dokter,messki sesudahnya ayahnya mendorongnya menjadi seorang politisi. Hal ini juga mengindikasikan bahwa ia mungkin ingin juga menjadi pilot. Ziauddin memperlakukan mereka sebagai sosok yang sangat spesial, mengijinkannya keluar di malam hari dan berbicara tentang politik bahkan setelah kedua saudara lelakinya sudah berangkat tidur.
Yousafzai secara terang benderang mulai berbicara tentang hak pendidikan di awal September 2008. Ayahnya membawanya ke Peshawar untuk berbicara di klub pers lokal. Dalam pers lokal tersebut, Malala berujar  “Berani sekali Taliban mengambil hak pendidikanku?” Pernyataan tersebut ditayangkan dan diliput di hampir semua koran dan televisi, di seluruh daerah.  Saat itu Malala masih berusia 11 tahun.
 
Perjuangan Malala dimulai lewat aktivitas menulis untuk BBC Urdu. Kala itu, sang ayah, Ziauddin, diminta oleh temannya Abdul Hai Kakkar, seorang reporter BBC dari Pakistan, supaya mencarikan seorang perempuan yang mau menuliskan tentang kehidupan di bawah kekuasaan Taliban. Di masa itu, gerakan militan Taliban yang dipimpin oleh Maulana Fazlullah mengambil alih kekuasaan di Swat Valley, mematikan televisi, musik dan kesempatan pendidikan bagi perempuan, melarang perempuan pergi berbelanja. Jenazah kepala polisi digantung di pusat kota. Awalnya, seorang gadis bernama Aisha murid ayahnya setuju untuk menulis sebuah diary, namun kemudian orang tua gadis tersebut melarangnya karena takut dengan ancaman Taliban. Satu-satunya peluang hanyalah Malala, anaknya sendiri yang empat tahun lebih muda dari Aisha dan masih duduk di kelas tujuh. Namun Editor BBC menyetujuinya. Belum jelas hingga sekarang apakah ayahnya yang menganjurkan Malala untuk menulis, atau Malala sendiri yang mengajukan dirinya sendiri.
Untuk melindungi keselamatan Malala, editor BBC memakaikan nama pena bagi Malala, yakni Gul Makai (bahasa Urdu yang artinya bunga jagung), sebuah nama yang diambil dari tokoh karakter dalam cerita rakyat Pashtun.
“Aku bermimpi buruk kemarin, dengan helikopter militer dan Taliban. Aku sudah pernah bermimpi semacam itu sejak dimulainya operasi militer di Swat. Ibuku membuatkanku sarapan dan aku pergi ke sekolah. Aku takut pergi ke sekolah karena Taliban melarang seluruh anak perempuan untuk berangkat sekolah.
Hanya 11 murid yang menghadiri kelas dari 27 murid. Jumlah murid berkurang karena ancaman Taliban. Tiga teman sekolahku telah pindah ke Peshawar, Lahore dan Rawalpindi bersama keluarganya karena takut dengan ancaman Taliban.
Dalam perjalananku dari sekolah ke rumah, aku dengar seorang lelaki berkata “Aku akan membunuhmu”. Aku segera berjalan dengan cepat, jika lelaki itu masih berjalan di belakangku. Tapi kemudian aku merasa lega, setelah kutahu ternyata ia sedang berbicara di hapenya dan sedang mengancam seseorang lewat hapenya itu”
Kalimat di atas ditulis oleh Malala di blog BBC Urdu pada tgl 3 Januari 2009 yang kemudian membuatnya terkenal. Malala menulisnya dengan tulisan tangan dan kemudian memberikannya pada seorang reporter yang akan men-scan tulisannya lalu mengomelkannya pada BBC. Blog tersebut mampu menangkap problem psikis Malala ketika perang Swat, menjadi awal dilakukannya operasi militer yang kemudian mengakibatkan makin sedikit gadis yang bersekolah, dan akhirnya sekolahnya pun ditutup.
Di Mingora, Taliban telah membuat para gadis takut bersekolah setelah 15 Januari 2009. Mereka telah melarang lebih dari seratus gadis untuk bersekolah. Pelarangan tersebut berlangsung beberapa hari, dan sekolah tempat Malala mengenyam pendidikan telah menginstruksikan murid-murid perempuannya supaya tidak lagi mengenakan seragam sekolah tapi pakaian polos supaya tidak menarik perhatian. Meski demikian, Malala justru memilih pakaian favoritnya, yaitu pakaian berwarna pink. Semua gadis di sekolah juga memakai baju warna-warni dan sekolahnya juga berpenampilan sederhana.
Suatu malam, terjadi baku tembak antara Taliban dan pihak pemerintah yang membuat Malala terbangun beberapa kali sehingga esok paginya Malala terlambat bangun pagi. Namun kemudian teman-teman Malala datang dan mendiskusikan pekerjaan rumah seolah-olah tidak terjadi apa – apa. Waktu itu, untuk pertama kalinya, Malala membaca kutipan dari blognya yang telah dipublikasikan di sebuah koran lokal. Ayahnya, Zaiauddin, bercerita bahwa seseorang datang padanya dengan koran itu dan berkata betapa indahnya tulisan tersebut, tapi sang ayah hanya bisa menyatakan pujian atas tulisan itu tanpa bercerita siapa sesungguhnya penulis blog tersebut, yang adalah anak gadisnya sendiri.
Penghancuran gedung-gedung sekolah dan pelarangan terhadap anak-anak gadis untuk sekolah semakin gencar dilakukan oleh Taliban. Namun, Malala tidak gentar, ia terus menceritakan kisah tersebut di blog BBC dan menyerukan pentingnya pendidikan bagi anak peremuan. Di usianya yang masih sangat belia, Malala mengajarkan keberanian. Kisah tersebut akan kita lanjutkan seusai selingan berikut ini.

Setelah pelarangan sekolah oleh Taliban, Taliban melanjutkan aksinya dengan menghancurkan gedung-gedung sekolah di wilayah tersebut. Pada 19 Januari, Malala menulis “lima sekolah lagi telah dihancurkan, satu dari sekolah tersebut terletak dekat sekolahku. Aku sangat terkejut, karena sekolah itu sangat dekat, kenapa dihancurkan?” Namun Malala tidak berhenti berpikir untuk pendidikannya. Lima hari berikutnya, dalam blognya, ia menulis tentang bagaimana ia belajar untuk ujiannya “Biasanya ujian kami dilakukan setelah liburan tapi ini hanya mungkin jika Taliban mengijinkan anak-anak gadis bersekolah. Kami diberitahu untuk mempersiapkan beberapa bab untuk ujian itu tapi aku tidak merasa sedang belajar”. Ia juga mengkritik operasi militer Pakistan yang berlangsung cukup lama. “
Untuk meluaskan simpati publik, militer Pakistan telah melempar permen dari helikopter, tapi itu tidak berlangsung lama. “kapanpun kami mendengar suara helikopter, kami menunggu permen dilempar dari helikopter tapi ternyata itu tidak pernah terjadi lagi”. Dua hari kemudian, Malala melakukan perjalanan ke Islamabad bersama orang tuanya, dan Malala tidak segan melakukan perbandingan: “Ini adalah kunjungan pertamaku ke kota ini. Kota ini sangat indah dengan jalan yang luas dan bung low yang indah juga. Tapi bila dibandingkan dengan kotaku, Kotaku, Swat Valley lebih memiliki keindahan yang alami”. Setelah dari Islamabad, keluarga kami melakukan perjalanan ke Peshawar, dimana mereka tinggal bersama keluarga mereka. Malala menulis tentang adik lelakinya yang berusia lima tahun yang sedang bermain di lapangan rumput. Ketika ayahnya bertanya pada adik lelakinya apa yang sedang ia kerjakan, adiknya menjawab sedang membuat kuburan. Ya, perang telah memberi dampak buruk bagi adiknya. Dalam perjalanan ke Bannu, bus mereka menabrak  lubang di jalan, dan membangunkan adiknya tersebut yang kemudian bertanya pada ibumu “Apakah ada bom yang meledak?” Di Bannu, dimana perempuan biasanya mengenakan kerudung panjang, Malala justru menolak memakainya karena ia merasa kesulitan berjalan dengan kerudung panjang tersebut.
Pada bulan Februari 2009, Malala kembali ke Swat, tapi sekolah untuk perempuan masih ditutup. Sebagai bentuk solidaritas, sekolah swasta untuk lelaki juga tidak buka hingga 9 Februari. Pada 7 Februari, Malala dan adik lelakinya kembali ke kampung halamannya di Mingora, namun jalanan begitu sepi, dan “ketakutan yang sunyi”. “Kami pergi ke supermarket untuk membeli sebuah hadiah untuk ibu kami tapi supermarket sudah tutup. Banyak toko lain juga tutup” Demikian yang dituliskan Malala dalam blognya. Rumahnya pun dibobol dan televisi mereka dicuri.
Taliban mencabut larangan pada anak perempuan untuk mengenyam pendidikan dasar, dengan disediakannya co-pendidikan . Sekolah untuk anak perempuan masih tutup. Malala menulis bahwa hanya 70 murid yang tersisa dari 700 murid. Pada 9 Februari 2009, pengasuh Malala menyebutkan bahwa situasi di Swat menjadi “sangat sulit” dan suaminya mengatakan padanya untuk kembali ke Attock.
Beberapa aktivitas hariannya pun mulai kembali normal. Malal menulis tentang kehidupannya di rumah. Pada 12 Februari 2009, ia menyebutkan bahwa guru agamanya datang di sore hari. Sementara di siang hari, ia kerap kali bermain dengan saudara lelakinya, ia juga gemar bermain games komputer. Ini diketahui dari laptop yang dimilikinya. Sebelum Taliban menginvasi wilayahnya, dan memblokir jaringan kabel, ia biasanya menonton televisi Star Plus dan drama favoritnya berjudul “lelaki impianku akan datang untuk menikahiku”
Pada 15 Februari 2009, suara senapan bisa terdengar dari jalanan Mingora, tapi ayah Malal selalu menenangkan anak-anaknya supaya tidak takut. “Itu adalah tembakan untuk perdamaian” kata sang ayah. Ayahnya telah membaca di koran bahwa pemerintah dan kaum militan taliban telah menandatangani perjanjian perdamaian esok harinya. Malam itu, setelah Taliban mengumumkan perjanjian perdamaian dengan pemerintah di radio, suara tembakan yang jauh lebih keras. “Rakyat Pakistan lebih percaya pada kaum militan Taliban daripada pemerintah”. Saat Malala dan keluarganya mendengarkan pengumumman itu, orang tua Malala menangis. Demikian pula dengan kedua adik lelakinya.
Hanya tiga hari setelahnya, harapan mereka diuji. Seorang reporter Pakistan, Musa Khankhel, dibunuh setelah melakukan aksi damai yang dipimpin oleh Sufi Muhammad, ayah mertua dari pemimpin lokal Taliban, Maulana Fazlulla. Pada hari yang sama, 18 Februari 2009, Malala kemudian diwawancarai dalam acara Capital Talks, sebuah program berita terkenal di Pakistan. Ia kemudian kembali diwawancara di program yang sama 6 bulan kemudian.
Pada 21 Februari 2009, Malala mendapatkan apa yang diharapkannya. Fazlulla mengumumkan di radio bahwa ia telah mengijinkan pendidikan bagi perempuan dan anak-anak perempuan diijinkan menghadiri sekolah hingga ujuan diadakan pada 17 Maret, tapi mereka harus mengenakan burka.
Beberapa hari kemudian, tepatnya tgl 25 Februari, Malala menuliskan di blognya bahwa teman sekelasnya sudah bisa bermain dengan gembira seperti hari-hari sebelumnya. Tidak ada lagi helikopter berterbangan di langit, juga tidak ada pembicaraan lagi tentang tentara dan taliban. Meski demikian masih beredar kabar bahwa perempuan tetap harus mengenakan burka dan bila ia terjatuh akibat sulitnya berjalan dengan mengenakan burka, seorang perempuan wajib menolak ketika seorang lelaki hendak membantunya.
Suatu hari, jumlah murid di kelas Malala menurun dari 27 menjadi 19 murid saja, tetapi Taliban masih aktif di wilayah tersebut. Baru dua hari setelah perjanjian damai antara Tentara Pakistan dan Taliban, baku tembak kembali terjadi. Namun, blog Malala kemudian berakhir pada 12 Maret 2009. Bulan berikutnya, yakni pada bulan April, Presiden Pakistan Asif Ali Zardari menandatangani peraturan hukum yang controversial tentang hukum syariah di wilayah Swat. Kebijakan tersebut didukung oleh Sufi Muhammad salah satu pimpinan Taliban di Swat, yang menyatakan bahwa perempuan tidak akan boleh sekolah dan bekerja atau bahkan ke pasar sekalipun. Namun, pertikaian terjadi antara tentara dan Taliban, dan di Bulan Mei pemerintah kembali menerapkan operasi militer di wilayah Swat.
Setelah diari BBC berakhir, Malala dan ayahnya didekati oleh reporter New York Times (sebuah Koran terkenal di Amerika Serikat) untuk membuat film documenter. Namun di bulan Mei itu juga Malala dan keluarganya terpaksa diecakuasi dan tinggal terpisah karena kembali ada perperangan antara tentara pemerinah Pakistan dan Taliban. Ayahnya, Ziauddin pergi ke Peshawar untuk melakukan protes dan meminta dukungan agar Malala tidak dipisahkan dari keluarga. Dalam film dokumenter yang dibuat olehNew York Times, Malala menyampaikan “Aku sangat bosan tinggal di tempat evakuasi karena tidak ada buku yang bisa aku baca”
Pada bulan itu juga, setelah mengkritik pihak Taliban dalam sebuah konferensi pers, ayah Malala menerima ancaman kematian melalui radio dari komandan Taliban. Terobsesi pada impiannya untuk mewujudkan perdamaian dan kebebasan di wilayah Swat hingga lupa hari ulang tahun Malala. Hal itu membuat Malala marah dan menuntut sang ayah untuk membelikan es krim pada setiap orang yang ada di sekitarnya. Tapi, terlepas dari itu semua, ayahnya memberi inspirasi besar bagi Malala untuk menjadi seorang aktivis politik dan bukan dokter seperti yang ia inginkan sebelumnya. “Aku mempunyai mimpi baru. Aku harus menjadi seorang aktivis politik untuk menyelamatkan negeri ini. Aku harus menyingkirkan krisis ini dari negeriku”
Hingga awal Juli 2009, kem penampungan sudah mulai penuh dan komandan Taliban masih juga belum tertangkap. Ia masih hidup menebar ancaman. Perdana Menteri Pakistan pun membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengumumkan bahwa Swat sudah aman. Militer Pakistan sudah berhasil mendesak pasukan Taliban hingga ke pedesaan. Namun setelah tiga bulan kemudian keluarga Malala kembali bersatu dan pada 24 Juli 2009 mereka sudah tinggal satu rumah. Bahkan, mereka sekeluarga bisa bertemu dengan Duta besar Amerika Serikat unutk Afganistan dan Pakistan. Kepada duta besar tersebut, Malala berkata “Bila anda bisa membantu kami mendapatkan pendidikan, silahkan bantulah kami”
Setelah film documenter tersebut, Malala kemudian diwawancarai di televisi Urdu dan televisi Kanada. Pada bulan Agustus 2009, Malala semakin tertarik untuk menjadi seorang politisi setelah terinspirasi oleh Benazir Bhutto. Suatu hari di awal bulan Desember 2009, identitas Malala sebagai penulis blog diari di BBC ia buka dalam sebuah artikel. Namun pengakuan Malala tersebut bukan hanya berasal dari tindakannya sendiri tapi juga berkat dorongan sang ayah. Sejak itulah, kehidupan keluarga Malala selalu berada di bawah terror Taliban. Hanya saja, Malala dan keluarganya tidak pernah menyerah dan berhenti menyuarakan posisinya bahwa Taliban harus menyingkir dari Swat. Semua itu agar semua anak perempuan bisa kembali bersekolah dan perdamaian hadir kembali di Swat. “Tujuanku adalah untuk kemanusiaan”
Pada akhir 2009, karir politik Malala dimulai. Sebuah video pada 22 Desember 2009 menunjukkan bagaimana Malala memasuki ruangan dewan yang penuh dengan anak-anak yang bertepuk tangan menyambutnya. Ia duduk di sebuah kursi dan di belakangnya terbentang spanduk bertuliskan “Dewan Anak Distrik Lembah Swat”. Sebuah video UNICEF menjelaskan, dewan anak tersebut dibangun untuk memberi kesempatan bagi kaum muda untuk menyuarakan kepedulian mereka tentang hak anak dan untuk memberikan solusi atas isu tersebut. Malala menduduki posisi dalam dewan anak tersebut hingga November 2011. Aktivitas politik Malala terus berlanjut, ia mulai berpartisipasi dalam proyek Institut untuk Perang dan Perdamaian, yang memberikan pelatihan jurnalistik dan diskusi kepada 42 sekolah di Pakistan. Apa yang dikerjakan Malala menginspirasi banyak kaum muda, dan mayoritas diantaranya adalah perempuan. Tidak hanya itu, Malala kemudian membentuk Yayasan Pendidikan Malala, yang membantu anak perempuan miskin supaya bisa bersekolah.
Pada bulan Oktober 2011, Desmond Tutu mengumumkan Malala sebagai nominasi Penghargaan Kedamaian Anak-anak Internasional dan menjadi selebriti di Pakistan. Profil Malala semakin melonjak saat ia mendapat penghargaan “Penghargaan Pemuda Nasional untuk Perdamaian” pada bulan Desember 2011. Hanya saja, semakin terkenal Malala, semakin tinggi bahaya yang mengancam nyawanya. Kelompok Taliban seringkali menyerang siapapun yang berani melawan Taliban. Ancaman pembunuhan biasanya mereka umumkan di Koran atau melalui surat kaleng. Di Facebooknya, Malala sering menerima ancaman dan banyak sekali yang memalsukan akun Facebook dengan menggunakan namanya. Akibatnya Malala menonaktifkan Facebook pribadinya dan menggunakan layanan keamanan digital. Namun ia terus menyatakan bahwa dirinya tidak akan berhenti bekerja untuk pendidikan bagi anak perempuan. “Aku sudah sering memikirkannya dan membayangkan apa yang bakal terjadi. Bahkan, jika mereka mau membunuhku, aku akan mengatakan pada mereka bahwa yang mereka lakukan sekarang adalah salah, pendidikan adahal hak dasar untuk kami”
Benar saja, pimpinan Taliban bersepakat untuk membunuhnya. Seperti yang kita ketahui Malala ditembak tepat di kepala dan lehernya dari jarak dekat ketika pulang sekolah bersama teman-temannya. Kini, Malala sudah selamat dari maut setelah dibawa ke Rumah Sakit London. Meski diperkirakan otaknya mengalami infeksi dan belum diketahui sejauh mana dampak dari infeksi tersebut bagi masa depannya.
Upaya pembunuhan Malala membawa simpati dari seluruh penjuru dunia untuk Malala dan meluaskan amarah terhadap Taliban. Aksi demonstrasi memprotes penembakan terhadap Malala terjadi di beberapa kota di Pakistan. Pemerintah Pakistan menawarkan uang sebesar 105 ribu dolar bagi siapapun yang bisa memberikan informasi tentang pelaku penembakan Malala.
Para pemimpin dunia bahkan mengeluarkan pernyataan keras atas penembakan Malala. Presiden Barack Obama menyebut penembakan tersebut sebagai tindakan yang tercela, menjijikkan dan tragis. Sementara, Sekretaris Negara Hillary Clinton menyatakan bahwa Malala adalah gadis yang sangat berani mempertahankan hak anak perempuan. Ban ki Moon, sekjen PBB menyebut tindakan Taliban sebagai tindakan yang mengerikan dan tidak berperikemanusiaan. Presiden Pakistan juga menyebut penembakan tersebut sebagai tindakan yang tidak beradab. Bahkan seorang Angelina Jollie, artis Hollywood menulis kolom khusus untuk Malala di BBC. “Apa pentingnya bagi kelompok Taliban membunuh seorang anak kecil seperti Malala?” ucap Angelina Jolli dalam artikelnya. Dan bersama dengan Tina Brown, Angelina Jollie menggalang dana solidaritas untuk kesembuhan Malala.
Teman sekolah Malala, pun memberi pernyataan keras terhadap Taliban, bahwa perjuangan Malala adalah perjuangan seluruh anak perempuan di Pakistan “Setiap anak perempuan di Lembah Swat adalah Malala.Kami akan mendidik diri kami sendiri. Kami akan menang. Mereka tidak akan pernah bisa mengalahkan kami”
Penyanyi terkenal, Madona pun tidak ketinggalan, ia mendedikasikan sebuah lagu untuk Malala, berjudul “Human Nature” di sebuah konser di Los Angeles. Madona berujar, kejadian yang menimpa Malala membuatnya menangis ”Bagaimana mungkin seorang anak sekolahan berusian 14 tahun yang menulis tentang keinginannya bersekolah ditembak begitu saja oleh Taliban. Tak bisa dibayangkan betapa tidak masuk akalnya hal ini”
Perjuangan Malala akan terus berlanjut, dan seluruh dunia pun hendak melakukan aksi solidaritas bagi Malala pada 10 November 2012 mendatang. Keselamatan Malala, semangat Malala adalah semangat bagi umat manusia di dunia. Hak memang harus diperjuangkan dan bila kita mau menang maka hanya ada satu kata, Jangan pernah menyerah.
Ya itu tadi kisah Malala, semoga ia lekasi sembuh dan bisa beraktivitas seperti dulu kala. Buat para pendengar yang mau bersolidaritas untuk Malala silahkan ikut hadir dalam aksi solidaritas untuk Malala pada 10 November 2012 mendatang. Aksi solidaritas ini adalah aksi solidaritas internasional untuk Malala yang diserukan oleh PBB.

Total Tayangan Halaman


counter web

Categories

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

- Copyright © Diaspora -- Powered by Blogger - Designed by Efrial Ruliandi Silalahi -