- Back to Home »
- RESENSI BUKU »
- Twilight of Globalization
Posted by : Unknown
Buku Kedua: Twilight of Globalization
Dalam buku kedua, setelah membahas disorientasi politik sosialis yang terjadi sepanjang dekade 1990an, Kagarlitsky membahas tentang masalah-masalah besar yang menjadi ciri abad 21, sebagai tantangan bagi politik sosialis. Untuk membaca buku bagian dua ini, saya akan memulai pembahasan pada pengalaman kontemporer kita di Indonesia terlebih dahulu untuk menempatkan relevansi dalam membaca buku kedua ini.
Buku kedua ini berangkat dalam semangat mempertanyakan bagaimana negara—melalui kebijakan publik—dapat mendorong terciptanya sarana dan prasarana yang mendukung upaya pemenuhan kebutuhan dan kepentingan publik. Selama satu setengah dekade di Indonesia, tidak dapat disangkal posisi ini semakin terpinggirkan. Ada sebuah diktum yang kita ikuti bersama bahwa setelah perjanjian kerjasama antara pemerintah Republik Indonesia dengan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB) pada masa awal reformasi politik di Indonesia, negara harus mundur dari serangkaian inisiatifnya dalam bidang perekonomian. Semangat Washington Consensus dalam kaitan ini mendapat ruang gerak bebas di Indonesia, ketika pemerintah dan perekonomian nasional berada pada titik paling lemah. Privatisasi badan-badan usaha pemerintah yang menguntungkan, dan sekaligus pengurangan subsidi negara dalam sektor publik, adalah formula yang ditawarkan dalam semangat tersebut. Memang, dalam waktu beberapa tahun formula ini diyakini telah menjadi resep yang dapat mengobati kelimbungan perekonomian Indonesia.
Bagaimanapun, ada harga yang harus dibayar. Memasuki akhir tahun 2009, publik di Indonesia dikejutkan oleh sebuah vonis yang dikeluarkan Pengadilan Tinggi Propinsi Banten, terhadap seorang ibu dua anak bernama Prita Mulyasari atas tuduhan pencemaran nama baik rumah sakit Omni Internasional. Pengadilan menjatuhkan vonis denda 204 juta rupiah dan kurungan penjara terhadap ibu dua anak itu karena keluhan pribadinya yang disampaikan lewat surat elektronik kepada beberapa sahabatnya. Dalam waktu singkat, keluhan pribadi ini beredar melalui jaringan milis dan menjadi pembicaraan publik. Di sini kita mendapatkan konteks masalah yang cukup jelas. Keluhan Prita bukan keluhan individual. Ia mewakili psikologi populer kebanyakan orang di Indonesia, tentang bagaimana kualitas layanan kesehatan yang tetap rendah meskipun mereka sudah membayar mahal biaya kesehatan di rumah sakit.
Omni Internasional memandang keluhan Prita sebagai pencemaran nama baik rumah sakit tersebut. Mereka menuntut Prita. Dan pengadilan pun menjatuhkan hukuman terhadap Prita. Yang tidak disadari Omni Internasional dan Pengadilan Tinggi Banten, Prita tidak sendirian. Lebih dari sejuta orang menyatakan dukungan melalui internet. Di jalanan—dari mereka yang mengendarai mobil pribadi, anak-anak Sekolah Dasar sampai tukang becak—menunjukkan solidaritas dengan mengumpulkan ‘Koin untuk Prita’ yang jumlahnya melebihi vonis denda pengadilan. Solidaritas publik terhadap Prita adalah wujud psikologi popular yang menunjukkan rasa frustasi mereka terhadap lembaga publik yang lebih mewakili kepentingan nama baik sebuah perusahaan dibandingkan persoalan yang dihadapi orang-orang biasa dalam kehidupan mereka. Mereka frustasi dan marah bahwa lembaga publik menjatuhkan hukuman kepada pribadi Prita yang sesungguhnya mewakili keluhan publik. ‘Koin untuk Prita’ adalah perwujudan norma publik—dalam bentuknya yang spontan—ketika lembaga publik dalam pandangan masyarakat menjalankan peran tidak lebih sebagai cabang atau unit usaha sebuah perusahaan. Di sini jelas bahwa ‘keadilan publik’ telah lahir. Mereka juga ingin menghukum Omni Internasional dan Pengadilan Tinggi. Tetapi cara mereka lebih santun.
Kasus yang saya uraikan sekali lagi bersifat anekdotal. Tetapi ini adalah ilustrasi yang hidup tentang posisi publik di dalam republik ini tentang perkembangan-perkembangan ekonomi, politik, sosial dan budaya selama satu setengah dekade berselang. Ketika kewenangan dan kemampuan negara dalam ranah publik semakin dilucuti dalam gelora reformasi politik di Indonesia, optimisme dalam bidang politik dihantui oleh rasa frustasi terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat yang semakin jauh dari kekuatan yang dapat melindungi mereka. Sebuah cita-cita membangun kehidupan demokratis di Indonesia, pada akhirnya membawa pula kekuatan yang menggeser kepentingan-kepentingan publik ke dalam kepentingan organisasi privat. Tanpa terasa, prinsip-prinsip neoliberal menyusup dalam cita-cita membenahi karakter kekuasaan otoriter dan praktek birokrasi yang mewakili benang kusut kolusi, korupsi dan nepotisme dalam periode pemerintahan sebelumnya.
Para pendukung neoliberalisme—baik di dalam maupun di luar Indonesia—telah menyatakan bahwa problem terbesar yang menjadikan Indonesia terpuruk dalam krisis ekonomi sejak tahun 1996 sampai 1998 adalah over-birokrasi dan over-regulasi. Dalam beberapa hal, argumentasi dan pandangan ini tidak dapat dipersalahkan. Tetapi melebihi apa yang diharapkan pendukung reformasi dan gerakan demokratisasi di Indonesia, mundurnya negara dari banyak kewenangan mengurus sektor-sektor publik yang berkait dengan persoalan-persoalan ‘hajat hidup orang banyak,’ menjadi persoalan penting dalam kehidupan kita selama satu setengah dekade berselang.
Memberikan iklim lebih ramah bagi swasta untuk berkompetisi memberi ‘layanan publik’ dengan cara yang dianggap lebih efisien dan sekaligus menguntungkan dibanding pengelolaan negara, seperti sebuah hukum besi yang tidak bisa lagi ditolak. Argumentasi bahwa akuntabilitas dan transparansi yang rendah dalam pengalaman pemerintahan Orde Baru, menjadi salah satu alasan yang mewakili gagasan mengapa negara harus terus mundur dari campur tangan pengelolaan sektor-sektor publik di Indonesia. Biarkan mekanisme pasar yang menentukan bagaimana publik mendapatkan pemenuhan maksimal kebutuhan mereka dibanding kualitas layanan yang rendah dan fasilitas buruk dari layanan publik yang disediakan negara. Argumentasi pemikiran ekonomi liberal telah meyakini bahwa badan swasta adalah agen yang lebih baik dalam menjalankan kepentingan-kepetingan publik. Tetapi bagaimana persoalan akuntabilitas dan transparansi publik? Kasus Prita Mulyasari menunjukkan kenyataan ketika akuntabilitas dan transparansi itu dipertanyakan, mereka menjatuhkan hukuman lebih berat dibanding ketika publik mengejek dan mencemooh layanan-layanan yang diberikan negara terhadap mereka.
Sebuah ilustrasi lain untuk menutup bagian kecil ini dapat kita lihat dalam perwujudan literer yang ditulis George Orwel dalam 1984. Orwell memberikan gambaran tentangSaudara Tua (mewakili sosok negara dan birokrasi dalam sistem Uni Soviet) yang begitu berkuasa dan tidak meninggalkan pilihan pribadi dan kebebasan individual ‘saudara-saudara kecil,’ membuat mereka putus asa dan frustasi berhadapan dengan wajah birokrasi yang tidak manusiawi. Dalam pengalaman Indonesia pasca reformasi, perbandingan ini mungkin relevan. Birokrasi dan struktur negara yang diwarisi dari pemerintahan Orde Baru dianggap sebagai Saudara Tua yang menakutkan dan membuat orang frustasi. Elan neoliberalisme mendapatkan kesempatan menyusup dalam semangat jiwa reformasi di Indonesia dengan mendorong pelucutan kekuasaan Saudara Tua, yang kemudiandisingkirkan seperti sosok dinosaurus dalam museum. Perencanaan publik telah digantikan dengan perencanaan privat. Tetapi, bagaimanapun pengalaman selama satu setengah dekade menunjukkan bahwa saudara-saudara kecil kita tidak juga menjadi lebih bebas dan aman, dan tetap diselimuti rasa frustasi dan kecemasan dalam kehidupan mereka.
Pendukung gagasan ini—di dalam dan luar Indonesia—memang tidak menyatakan secara verbal bahwa mereka adalah pembicara canggih yang membawa Indonesia dalam tatanan ekonomi-politik global ketika neoliberalisme adalah norma dominan. Pengalaman satu setengah dekade reformasi menunjukkan, mereka cukup berhasil. Cita-cita dan semangat reformasi tahun 1998 di Indonesia, pada akhirnya tidak lebih sekedar membuat negara mundur ke belakang digantikan kekuatan swasta—mayoritas adalah perusahaan asing atau perusahaan asing dengan mantel nasional—yang menjadi motor penggerak perekonomian nasional Indonesia. Kinerja pokok ekonomi Indonesia sekarang telah diukur dengan sejauh mana pemerintah berhasil menaikkan angka pertumbuhan ekonomi, menciptakan iklim yang ramah terhadap modal asing dengan sedikit mungkin regulasi yang membatasi ruang geraknya, memangkas birokasi dan terutama mengurangi campur tangan negara terhadap sektor publik yang menguasai hajat hidup orang banyak. Perencanaan publik diganti menjadi perencanaan swasta.
Kondisi di Indonesia seperti ini menjadi sebuah perbandingan menarik dalam membaca tulisan Kagarlitsky dalam buku keduanya. Di sini, ia menegaskan sebuah kenyataan bahwa pada saat politisi sosialis kekurangan imajinasi dan kreativitas, disibukkan dengan teori-teori yang cuma ada dalam kepala mereka, neoliberalisme dengan cepat menyusup dalam kehidupan masyarakat pada abad 21. Ketika politisi-politisi sosialis mengganti baju mereka, pada saat yang bersamaan orang-orang biasa semakin terhempas dalam kegetiran dan kesulitan hidup sehari-hari, dan ini bukan sebuah cerita dari buku teks atau sekedar angka statistik kemiskinan.
Di sini, Kagarlitsky menawarkan sebuah arahan pemikiran bahwa ketika ‘negara nasional menjadi semakin impoten,’ justru kekuatan neoliberal yang paling dapat meraih keuntungan dibandingkan kehidupan orang banyak dan termasuk juga dari agenda-agenda politisi sosialis. Bahwa ketika organisasi dan birokrasi dianggap sebagai sebuah hambatan, pemenang dari seluruh pertarungan ini adalah IMF dan Bank Dunia, termasuk organisasi-organisasi LSM yang dengan aktif mendorong ‘governance tanpa government’ demi memenuhi target dukungan dana donor bagi organisasi mereka. Organisasi-organisasi itu terus melemahkan negara nasional mereka dengan tuntutan akuntabilitas serta transparansi, dan sekaligus melempangkan jalan bagi organisasi-organisasi privat yang tidak ada sama sekali transparansi dan akuntabilitasnya kecuali kepada para pemilik saham mereka.
Ringkasnya, mengambil kembali kekuatan negara pada tingkat nasional adalah sebuah langkah strategis dalam bentuk politik sosialis di dalam lingkup globalisasi sekarang ini. Meski internasionalisasi kerja sudah terjadi, kasus buruh migran di Indonesia menunjukkan bahwa tidak ada kekuatan pelindung bagi buruh migran Indonesia selain negara nasional mereka. Di luar itu, tidak ada yang perduli terhadap nasib mereka, dan meskipun perduli, tidak ada mekanisme yang dapat mereka ciptakan.
Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah cara merebut negara nasional itu dalam arahan politik sosialis? Sudah barang tentu ini membutuhkan dialog kita sendiri. Kagarlitsky memang tidak menawarkan apapun terhadap persoalan ini. Kita di Indonesia sesungguhnya telah diuntungkan oleh konstitusi negara Republik Indonesia dari setiap pasalnya. Tidak ada satu pun pasal dalam konstitusi Republik Indonesia yang memberi dukungan kepada agenda neoliberal. Tetapi, seperti diuraikan dalam buku pertama Kagarlitsky, golongan kiri lebih cenderung berpikir dengan gagasan abstrak dalam buku-buku yang mereka baca dibandingkan melihat realitas langsung masyarakat sekeliling mereka, sebuah pemujaan buku seperti dicetuskan Mao ketika menentang arus dogmatisme dalam tubuh partainya saat itu.
Posting Komentar