- Back to Home »
- RESENSI BUKU »
- New Realism, New Barbarism
Posted by : Unknown
Buku Pertama: New Realism, New Barbarism
Kita mulai dengan buku pertama. Buku itu ditulis dan diterbitkan pada tahun 1999, bertepatan dengan periode krisis di Asia Tenggara yang dianggap sebagai Macan Asia dengan pertumbuhan ekonomi cepat selama satu dekade. Di situ, Kagarlitsky menarik persoalan selama satu dekade sejak perestroika yang menghancurkan Uni Soviet, sekaligus membahas masalah-masalah yang dihadapi gerakan sosialis di Eropa sejak kemenangan Partai Buruh yang menempatkan Tony Blair sebagai Perdana Menteri, termasuk perkembangan Euro-Communism, gerakan kiri di benua Amerika Latin, Afrika dan Asia setelah keruntuhan Soviet. Tidak dapat disangkal bahwa krisis yang terjadi di Asia Tenggara menjadi petunjuk tentang ‘kemerosotan standar sosial’ sekaligus pada saat yang sama kemenangan mafia liberalisme Barat di seluruh penjuru dunia. Kehancuran rejim soviet bukan saja mendiskreditkan sosialisme sebagai sebuah praktek politik, tetapi juga mendiskreditkan ideal-ideal demokrasi di berbagai tempat.
Dalam buku pertama ini, kita dihadapkan pada persoalan kerangka strategis dan rumusan teoritis dari politik sosialis di berbagai tempat. Memang tidak dapat disangkal, selama tiga dekade sejak Prancis 1968, terdapat kemajuan pesat dalam teori sosialis—termasuk kemunculan post-modernisme—di lingkungan intelektual dan akademisi dari apa yang disebut sebagai Western Marxisme. Pertumbuhan teori-teori tersebut ditujukan untuk membahas persoalan negara, kelas, partai, dan strategi politik sosialis yang kemudian banyak menghasilkan pemikir-pemikir populer di dunia. Tapi kosmopolitanisme dalam perkembangan teori sosialis harus menghadapi kenyataan bahwa disamping pertumbuhan pesat dalam teori, pada saat bersamaan pengaruh pemikiran dan aksi mereka di dalam realitas kehidupan masyarakat semakin merosot, kalau tidak semakin mandul. Mungkin ironi ini dapat dibandingkan dengan situasi di Indonesia sekarang ini, ketika para intelektual dan akademisi kampus ‘dapat menerima’ gagasan-gagasan teoritis baru dari pemikir sosialis, sebut saja Alain Badiou, tapi pada saat yang sama pembahasan teoritis gagasannya hanya dibicarakan tidak lebih dari sepuluh orang di sebuah cafe kopi atau warung makan. Dan di toko-toko buku kita bisa mendapatkan terbitan dari pemikir-pemikir klasik politik sosialis, termasuk terjemahanDas Kapital dari Marx, tetapi pada saat yang bersamaan, perkembangan sosial sama sekali tidak menunjukkan kaitan gagasan tersebut dengan problem sosial yang muncul.
Kedua, dan yang menjadi pokok pembahasan dalam bagian pertama buku ini, adalah kenyataan bahwa kemunculan politik sosialis dekade 1990an berhasil mendominasi parlemen di Eropa, tetapi pada saat yang sama agenda-agenda politik sosialis ditinggalkan oleh para politisi sosialis yang kehilangan kepercayaan diri ketika menghadapi realitas globalisasi dan dominasi neo-liberal di dalam negara nasional masing-masing. Sebut saja Tony Blair di Inggris, yang mengambil kepemimpinan partai buruh dengan sebuah ‘sosialisme baru,’ memperbaharui partai buruh yang ditinggalkan pengikut tradisionalnya dan memberi enerji baru dinamika politik kiri di Inggris, tetapi dengan cepat meninggalkan janji sosialisme tersebut dengan semakin meninggalkan basis massa pendukung di kalangan serikat buruh. Dalam buku pertama ini, Kagarlitsky menunjukan bahwa ‘lunturnya keyakinan sosialis’ di kalangan pemimpin justru berbanding terbalik dengan ‘meningkatnya harapan’ di kalangan buruh dan kelas menengah di Eropa tentang sebuah alternatif dari kebijakan neoliberal yang mengungkung mereka selama satu dekade.
Jadi, politik sosialis mengalami kemunduran justru ketika golongan kiri berhasil mendominasi pemilihan suara di parlemen dan sekaligus menduduki pemerintahan di Eropa seperti dalam kasus Inggris, Perancis, Italia dan Yunani. Kagarlitsky memandang bahwa persoalan mendasar dari kemunduran ini terletak pada ‘mode berpolitik’ dari golongan kiri yang tidak meyakini agenda-agenda program yang mereka buat sendiri ketika mereka justru memegang pemerintahan. Intimidasi dan dominasi neoliberal membuat mereka secara perlahan meninggalkan agenda-agenda sosialis, justru ketika mereka berada dalam pemerintahan. Kasus Islandia menjadi gambaran menarik dalam uraian Kagarlitsky, dimana negara yang paling tinggi tingkat distribusi kesejahteraannya, paling bersih dari segi lingkungan, justru dirusak oleh politisi sosialis yang membuka investasi pasar modal di dalam negeri melalui swastanisasi perbankan dengan akhir tragis berupa kehancuran perekonomian negara tersebut dalam krisis finansial 2008, seperti yang kita alami belakangan ini (belum diuraikan Kagarlitsky ketika buku tersebut diterbitkan).
Ringkasnya, masalah mendasar dari politik sosialis yang dibahas dalam buku pertama ini adalah masalah dari politisi sosialis yang berganti baju (bandingkan dengan konseptransformismo Gramsci) dan mencuci pemikiran sosialis dalam benak mereka justru setelah menjadi bagian dari politik mainstream. Seolah-olah pikiran sosialis seperti kotoran yang harus ditutupi oleh para politisi itu untuk meyakinkan rekan-rekan mereka di kalangan liberal dengan janji bahwa mereka tidak akan merusak sistem yang menciptakan kemapanan bagi para politisi sosialis tersebut. Mentalitas menghadapireal-politik seperti itu yang merusak politik sosialis dan sekaligus menciptakan persoalan-persoalan mendasar baru.
Seperti menjadi perhatian Kagarlitsky, ketika para politisi sosialis menanggalkan baju mereka, orang-orang biasa yang menjadi pendukung dari cita-cita sosialis dan agenda program yang ditawarkan terperangkap dalam kondisi tanpa alternatif. Gejala politiknya adalah dukungan yang mereka berikan terhadap gerakan politik kanan (seperti Le Pen dan British Nationalist Party dan Nader di Austria), yang mendapatkan massa pendukung dari pemilih-pemilih yang secara tradisional memberikan suara mereka kepada politisi sosialis. Jadi, meningkatnya gerakan ultra-kanan terjadi ketika massa pendukung politik kiri kehilangan kepercayaan dan harapan mereka terhadap gerakan politik yang secara tradisional mewakili mereka. Dan lebih buruk adalah ‘perang’ sebagai jalan keluar dari kondisi krisis tersebut yang memberikan massa pendukung sebuah jalan keluar bersama dan pada saat bersamaan melupakan masalah-masalah dalam kehidupan mereka sehari-hari. Di sini kita mendengar kembali gaungManifesto Komunis dari Marx yang menegaskan bagaimana ‘penghancuran kekuatan-kekuatan produktif’ sebagai jalan lain dari kegagalan politik sosialis pada akhir abad 19 (dan terbukti melalui pengalaman dua kali perang pada awal abad 20 di Eropa). Begitulah tema besar dalam buku pertama tersebut.
Posting Komentar