- Back to Home »
- RESENSI BUKU »
- The Return of Radicalism
Posted by : Unknown
Buku Ketiga: The Return of Radicalism
Dalam buku terakhir ini, Kagarlitsky mulai menjelaskan pengalaman dari strategi-strategi yang muncul dari gerakan sosialis di dunia dalam dua dekade terakhir. Persoalan-persoalan yang menjadi perhatian dalam buku pertama dan kedua mendapat tempat di latar belakang dalam mengulas strategi-strategi yang muncul dalam gerakan sosialis akhir abad 20 dan awal abad 21, mulai dari gerakan Maois di Nepal, politik buruh di Indonesia, nasib COSATU di Afrika Selatan, sampai gerakan Zapatista di Amerika Latin. Dan sebuah tema dasar dari buku ini membahas tentang bagaimana ‘reshaping the left institutions’ seperti diwakili oleh organisasi serikat buruh.
Sindikalisme yang mewarnai tradisi gerakan buruh dalam dua dekade terakhir menjadi persoalan penting bagi Kagarlitsky. Bagaimana menjadikan serikat buruh sebagai institusi nasional adalah persoalan penting yang menjadi pembahasan pertama dalam buku ini. Pertama, serikat buruh telah menjadi semakin kuno dengan landasan mereka semata-mata pada industri-industri besar yang semakin kehilangan jumlah anggota dan pekerjanya (dengan masuknya komputerisasi dan robotisasi, termasuk teknologi virtual), dan pada saat yang sama muncul buruh temporer, part-time, pekerja rumahan, golongan-golongan baru dari para pekerja yang tidak masuk dalam kategori industri tradisional yang besar.Kedua, serikat buruh juga terlalu disibukkan dengan persoalan diri mereka sendiri tanpa mampu membuat kaitan dengan perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Ringkasnya, ia tidak mampu menjadi sebuah agen perubahan di dalam masyarakat dan justru semakin menopang bekerjanya sistem kapitalisme.
Menjadikan organisasi buruh sebagai institusi nasional mungkin merupakan gagasan menarik yang ditawarkan Kagarlitsky. Di Indonesia kita mungkin bisa membandingkannya dengan lembaga sosial seperti pesantren yang menjadi wadah sosio-kultural-ekonomi dari para petani di pedesaan dan sekaligus membentuk watak dari orang-orang desa. Persoalannya di sini adalah bagaimana serikat buruh menjadi sebuah institusi dengan tradisi yang mengakar dalam masyarakat, bukan sekedar advokasi dan perlindungan hak-hak kaum buruh (sindikalisme dalam pandangan Kagarlitsky) dan tidak mampu berbuat banyak terhadap masalah-masalah nasional mereka.
Uraian selanjutnya adalah kritik tajam terhadap gagasan-gagasan alternatif yang lahir, mulai dari gerakan lingkungan, gerakan perempuan atau, dengan kata lain, politik identitas yang semakin mendapatkan tempat dengan merosotnya gerakan buruh sebagai basis sosial utama gerakan sosialis abad 19 dan 20. Kagarlitsky dalam ulasan ini juga menjelaskan keruwetan-keruwetan dalam cara berpikir teoritisi kiri dengan agenda sosialis mereka seperti Chantal Mouffe dan Ernesto Laclau, yang menyarankan hegemoni sosialis dengan kenyataan bahwa sesungguhnya kita tidak mendapatkan apapun dari agenda hegemoni tersebut sekaligus agenda politik sosialis dalam pemikiran politik yang mereka tawarkan. Bahwa radikalisme yang mereka berikan tidak lebih dari sekedar manifestasi politik liberal dengan jargon sosialis, yang sekaligus menjelaskan mengapa mereka bisa populer dan diterima dalam lingkungan akademis karena kemandulan politik dan ideologinya. Serangan tajam juga ditujukan pada organisasi LSM yang menyuarakan advokasi serta pemberdayaan dan pada saat yang sama melemahkan politik sosialis. Kagarlitsky menguraikan ilustrasi-ilustrasi tentang kenyataan tersebut dalam lingkup global, termasuk peran LSM di dunia ketiga yang saat ini lebih terperangkap pada agenda memuluskan organisasi-organisasi privat seperti TNC (transnational corporation) di Indonesia, dengan semakin kehilangan raison d’etre dari visi dan misi yang mereka sampaikan.
Posting Komentar