- Back to Home »
- SASTRA »
- Ganyang Mengganyang Bersama: 25 Tahun Oposisi Lekra-Manikebu
Posted by : Unknown
Satu tahun setelah kematian Chairil Anwar, icon Angkatan `45, dan bersamaan dengan bangkitnya
kembali PKI di tahun 1950 setelah peristiwa Madiun 1948, para petinggi PKI
baru—D. N. Aidit dan Nyoto—berkumpul dengan A. S. Dharta dan beberapa seniman
lainnya (termasuk juga Achdiat K. Miharja dan H. B. Jassin) di rumah M. S.
Azhar untuk mendirikan Lekra yang diresmikan pada 17 Agustus 1950. Dua
bulan setelahnya, 22 Oktober 1950, ‘Surat Kepercayaan Gelanggang’ dimuat dalam
majalah Siasat. Periode ini nampaknya merupakan masa penyusunan
barisan bagi dua kubu besar yang bakal bertempur selama dua dekade lebih. Dalam
masa ini, terdapat pula perubahan komposisi seniman dalam tiap kubu. Rivai
Apin, Baharudin, dan Henk Ngantung yang mulanya berada di Gelanggang, pindah ke
Lekra. Sementara itu, simpati Achdiat K. Miharja dan H. B. Jassin, yang turut
menyusun Mukadimah Lekra, jatuh pada Gelanggang.
Seperti yang kita tahu, konflik Gelanggang-Lekra yang
berkisar pada sekumpulan teks utama (Surat Kepercayaan Gelanggang—nantinya ditambah
Manifesto Kebudayaan—dan Mukadimah Lekra—nantinya direvisi menjadi Mukadimah
Lekra 1959), adalah konflik ideologi humanisme universal-realisme sosialis.
Tulisan ini tidak akan membahas terlalu banyak mengenai kedua ideologi
tersebut, melainkan lebih kepada implikasinya terhadap kritik sastra.
Kritikus-kritikus utama dari kalangan Lekra adalah
Pramudya Ananta Tur, Bakri Siregar, Sobron Aidit, A.S. Dharta, serta Buyung
Saleh. Dalam pada umumnya, mereka punya asumsi dasar yang sama, sebagaimana
diungkap oleh Pramudya, bahwa ‘kritik sastra realisme sosialis
mempunyai garapan yang berbeda dari kritik sastra borjuis. Pertama-tama,
kondisi-kondisi politik si pengarang menjadi syarat utama, karena kondisi
politik yang busuk sudah pasti tidak akan melahirkan sastra yang tidak busuk
[...] kondisi politik yang busuk melalui karya sastra akan melakukan infeksi
yang serius terhadap kehidupan sosial. [...] Di sini dapat ditemukan bahwa fungsi
kritik seni realisme sosialis yang secara aktif ikut campur dalam masalah
sosial melewati kritiknya terhadap pengucapan sastra atau karya sastra yang
digarapnya, sehingga sastra sama sekali bukan enclave dalam kehidupan, tapi
bagian yang integral dari kehidupan sebagaimana halnya dengan basis sosialnya
sendiri.’ Pramudya, jelas, sedang membicarakan
tentang isi dari seni yang mesti bertendens politis; dan kritik sastra yang
disasar oleh Pramudya adalah kritik atas isi sastra. Meskipun kritikus Lekra
mengakui pentingnya bentuk seni yang baik, namun mereka menolak supremasi
bentuk di atas isi, atau dalam kata lain formalisme. Formalisme
dalam seni tak lain adalah seni borjuis yang menganjurkan seniman untuk
berpisah dari masyarakat, ‘seni yang tak berpihak’, ‘seni universal yang
kosmopolitan’. Kritik
atas formalisme ini juga sekaligus kritik atas penganut humanisme universal.
Pada waktu
yang bersamaan, kelompok humanisme universal pun menyangkal tuduhan bahwa
mereka sekadar formalis yang mendukung ‘seni untuk seni’. Idrus memberi posisi
tengah dari oposisi ‘seni untuk seni’ dan ‘seni untuk rakyat’, yakni ‘seni
untuk keindahan’, posisi humanisme universal. Antara (‘Seni untuk Seni’ dan ‘Seni untuk Keindahan’)
itu terdapat perbedaan antara siang dan malam, seperti juga perbedaan antara
wanita cantik jang kita biarkan melintas di dalam kehidupan kita dan wanita yang
kita sekap di dalam kehidupan kita, artinya yang kita peristeri. Yang satu yang
kita biarkan melintas itu hanya memuaskan mata kita saja untuk seketika saja,
sedangkan yang lain itu memberikan keyakinan kepada kita, bahwa ia akan
memperkaya jiwa kita, membantu kehidupan kita. Yang satu cantik kosong, yang
lain cantik berisi, yang satu beautiful, tapi yang lain beauty. Keindahan
kosong, yang dangkal dan yang seketika itu saja, itulah hasil daripada ‘Seni
untuk Seni’, sedangkan keindahan yang diberikan ‘Seni untuk Keindahan’ adalah
sesuatu yjang memperkaya jiwa, yang berisi, yang kekal, pendek kata yang
berguna bagi manusia. Dengan demikian, posisi humanisme universal pun tidak
sepenuhnya formalistik: ada isiyang menentukan
bentuk. Lebih lanjut lagi, kritik Jassin atas novel Idrus sebagaimana
disinggung di atas pun menjelaskan bahwa konsep seni humanisme universal itu
bukannya tak berpihak: ia berpihak pada kemanusiaan. Asrul
Sani justru menolak isme-isme—yang sebenarnya, secara logis meruntuhkan
posisinya sendiri dalam Surat Kepercayaan Gelanggang yang menjadi cikal
humanisme universal. Menurutnya, isme-isme itu adalah penilaian absolut yang
mereduksi sastra pada hal yang lain, sementara yang penting adalah sastra yang
bernilai, sastra yang gigantis; isme-isme itu hanya permainan istilah. Dari
sini nampak semangat kebebasan seni dan konsepsi manusia yang tidak mau
direduksi pada partikularitas tertentu; baik itu paham seni, kondisi
sosial-politik, atau ideologi. Sani melihat manusia partikular sebagai warga
dunia (sebagaimana tertuang dalam Surat Kepercayaan), dan dengan demikian ia
adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia. Persis inilah yang kemudian jadi masalah A. S. Dharta.
Universalitas itu adalah konsep yang muluk-muluk. Manusia secara riil adalah
manusia yang selalu berada dalam masyarakat, dan masyarakat yang riil adalah
masyarakat yang terbagi-bagi kelas-kelas. Universalitas dalam seni itu justru
menyelubungi kontradiksi yang nyata-nyata terjadi dalam masyarakat dalam topeng
kenetralan. Barangkali benar, humanisme universal tidak sama dengan
konsep ‘seni untuk seni’, namun bagi Dharta, ia hanya baju baru dari filsafat seni borjuis yang
bangkrut.
Namun demikian, kritikus Lekra tidak serta merta gelap
mata dalam mengkritik; asal ganyang sastra dengan isi politik dekaden seperti
yang dituduhkan banyak orang (lihat misalnya Prahara Budaya yang
sunting oleh D. S. Mulyanto dan Taufiq Ismail). A. S. Dharta dalam kritiknya
atas kumpulan puisi Surat Kertas Hijau karangan
Sitor Situmorang, menilai sangat positif sajak-sajak tersebut meskipun,
menurutnya, puisi-puisi tersebut memiliki kelemahan ‘dalam
penggunaan bahasa dan kalimat. Terlalu banyak melayani kenikmatan diri sendiri,
kurang mementingkan alat penerima pada masyarakat’, atau,
dengan kata lain, menjauhkan diri dari masyarakat, namun ia tetap melihat
keberhasilan-keberhasilan estetis dalam sajak-sajak Sitor, serta mengapresiasi
usaha Sitor untuk menunjukkan konflik moral dalam diri manusia. Terdapat pula
Sobron Aidit yang mengulas puisi Dodong Jiwapraja berdasarkan pemilihan diksi
dalam mengungkapkan pandangan hidup pengarang, atau Jubar Ayup yang, meskipun
tidak dapat menerima penggambaran Idrus mengenai revolusi dalam ‘Surabaya’,
memuji gaya narasi Idrus.
Lebih dari itu, kelompok Lekra juga memberi sumbangsih
dalam penulisan sejarah sastra Indonesia. Buyung Saleh dalam ‘Perkembangan
Kesusasteraan Indonesia’ (dalam Almanak Seni, 1957)
memberikan analisis sejarah sastra yang bisa dibilang memelopori penulisan
sosiologi sastra. Perlu disebut pula Sejarah Sastra Indonesia Modern
I (1964)yang ditulis oleh Bakri Siregar, sebagai usaha pertama
penulisan sejarah sastra yang merenik, dan dibangun berdasarkan konsepsi
sejarah Marxis.
Di luar dua kecenderungan ini, terdapat pula
Slametmulyana yang mengusahakan ke penelitian dan metode ilmiah. Dalam ‘Kemana
Arah Perkembangan Puisi Indonesia’, ia memusatkan diri pada karya sastra,
menggunakan rujukan buku-buku ilmiah dalam argumentasi, menjelaskan sampai ke
renik-reniknya, dan menyusunnya secara sistematis. Dalam
analisanya tentang Chairil, ia membandingkannya dengan sajak-sajak Eropa yang
memengaruhinya, serta buku O. Spengler, Untertag des Abenlandes. Mulyana
kemudian menyimpulkan bahwa, berdasarkan struktur, puisi-puisi Chairil ‘boleh juga disebut puisi Barat modern tanpa irama tekanan’.
Selain Slametmulyana, terdapat pula Bahrum Rangkuti
yang menulis kritik sastra menggunakan pendekatan Islam. Ia memadukan pemikiran
Mohamad Iqbal—penyair, filsuf, dan aktivis Islam di Turki—dengan
pemikir-pemikir Barat. Salah satu hasil kritiknya cukup inovatif. Alih-alih
menyerang realisme sosialis pengarang Lekra untuk memenangkan humanisme
universal, Bahrum malah mengambil salah seorang penulis Lekra yang
terkenal—Pramudya—kemudian, setelah analisis yang cukup panjang, memulas
karya-karya Pramudya sebagai karya-karya yang ‘rapat bertaut dengan soal
manusia dan kemanusiaan. Soal-soal yang kita baca dalam buku ini sudah kita
baca dalam buku-bukunya yang terbaik dengan penyelesaian: bagaimana sampai kepada manusia universil.’ Dengan
demikian, bagi Bahrum, realisme sosialis Pramudya tidak ada bedanya dengan
humanisme universal.
Memasuki
tahun 1960, dengan situasi sosial-politik yang meruncing, muncul
kritikus-kritikus baru yang nantinya bakal membentuk kritikus angkatan `66, di
antaranya adalah Gunawan Mohamad, Subagio Sastrowardoyo, Soe Hok Djin (Arief
Budiman), Bun S. Umaryati, dan Wiratmo Sukito. Bersama dengan tokoh lama
seperti H. B. Jassin, Bokor Hutasuhut, dan Trisno Sumarjo, mereka
menandatangani Manifes Kebudayaan pada tahun 1963. Secara ideologis, Manifes
Kebudayaan (Manikebu) adalah kelanjutan dari Surat Kepercayaan Gelanggang.
Namun, ditilik dari komposisinya, terdapat perbedaan yang signifikan. Banyak
tokoh signifikan yang mengusung humanisme universal pada periode 1945-1960
tidak turut serta di dalamnya; Asrul Sani bersama Usmar Ismail membentuk
Lesbumi yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama, Idrus lari ke Malaysia, dan
Achdiat K. Miharja tinggal di Austria sejak 1961. Di samping itu, terdapat pula
Ajip Rosidi, Trisnojuwono, Toto Sudarto Bachtiar, dan Ramadhan K. H. yang tidak
turut dalam tegangan-tegangan tersebut. Dengan
demikian, pada dekade ini, terbentuk tiga kubu besar dalam seni/politik:
Lekra/PKI, yang bergandengan tangan dengan LKN/PNI, Lesbumi/NU,
Manikebu/Angkatan Darat. Terbentuknya Lesbumi dan Manikebu yang dirintis oleh
penganut humanisme universal adalah pembatalan konsep humanisme universal itu
sendiri yang menolak politisasi seni. Klimaks dari tarik-menarik budaya/politik
ini, sebagaimana kita tahu, adalah peristiwa 30 Oktober 1965, yang mengubah
wajah budaya Indonesia secara radikal—dan implikasinya juga, dalam kritik
sastra.
Posting Komentar