Posted by : Unknown

Satu tahun setelah menduduki Hindia Belanda pada tahun 1942, Jepang mengumpulkan sastrawan-sastrawan Indonesia dan diberi nama Kuimin Bunka Shidaseko (Kantor Pusat Kebudayaan) yang merupakan salah satu organisasi bentukan Sendenbu (Kantor Propaganda), organ utama gunseikanbu (pemerintah militer Jepang). Pusat Kebudayaan ini dibentuk untuk tiga target: 1) menghapuskan kebudayaan Barat serta paham  kesenian untuk kesenian yang tidak cocok  dengan sikap ketimuran, 2) membangun kebudayaan  Timur untuk dijadikan dasar bagi memajukan bangsa  Asia Timur, dan 3) menghimpun para seniman untuk  membantu tercapainya kemenangan akhir dalam  peperangan Asia Timur Raya. Posisi Kantor Pusat Kebudayaan (selanjutnya disingkat KPK tapi ingat, bukan Komisi Pemberantasan Korupsi). Bersama dengan Jawa Shinbun Kai,badan sensor pemerintah Jepang, posisi keduanya agaknya mirip dengan posisi Balai Pustaka pada tahun 20-30-an.
Peta produksi sastra pada periode pendudukan Jepang mengalami perubahan. Sejumlah sastrawan Pujangga Baru yang berorientasi ke Barat, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, J. E. Tatengkeng, tidak menerbitkan karya apapun dalam periode ini. Masuknya Jepang sebagai representasi kekuatan budaya Timur menjadi angin segar bagi Sanusi Pane dan Armijn Pane, yang bekerja di KPK dan menjadi kepala bagian Kesusasteraan Indonesia Modern. Armijn Pane pun sempat menerbitkan empat buat naskah drama dalam periode ini, yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku oleh Balai Pustaka pada tahun 1953 dengan judul Jinak-jinak Merapati. Selain tokoh-tokoh lama, muncul pula nama-nama baru seperti Abu Hanifah (El Hakim), Idrus, Kotot Sukardi, Aoh Kartahadimaja, Bakri Siregar, Merayu Sukma, dan H.B. Jassin; beberapa di antara mereka menjadi pengarang yang aktif pada periode pasca-perang.
Di samping itu, selama pendudukan Jepang, industri perfilman Hindia-Belanda hampir punah; hanya terdapat satu studio yang masih dibuka, dan hampir semua film produksinya berisi propaganda Jepang. Dalam keadaan ini, Usmar Ismail dan Anjar Asmara, dua sutradara penting Indonesia, beralih ke dunia sastra. keduanya menulis beberapa cerita pendek di Asia Raya dan Jawa Baru. Namun demikian, perhatian mereka lebih banyak jatuh pada kelompok sandiwara. Usmar mendirikan perkumpulan Seniman Merdeka sementara Anjar mendirikan Tjahaya Timur. Usmar bahkan menulis tujuh buah naskah drama dalam masa ini.
KPK mewajibkan grup sandiwara yang biasa bermain tanpa naskah untuk menulis naskah supaya dapat disensor sebelum dipentaskan. Aturan inilah yang akhirnya menghasilkan besarnya jumlah naskah drama. Hingga taraf tertentu, peraturan ini membantu memodernkan drama Indonesia dengan memicu budaya menulis naskah. Pada masa ini pula, cerpen menjadi bentuk sastra yang populer. Kegelisahan akibat tidak stabilnya kondisi ekonomi-politik membuat produksi puisi menurun dan cerpen, yang lebih singkat dari roman tapi mampu mengutarakan ide secara lebih detil ketimbang puisi, menjadi lebih marak. Hanya terdapat dua roman pada periode ini, yakni Cinta Tanah Airkarangan Nur Sultan Iskandar dan Palawija karangan Karim Halim; keduanya adalah roman propaganda Jepang.
Di luar KPK, terdapat Chairil Anwar dan Amal Hamzah. Chairil menulis beberapa puisi yang diedarkan hanya di kalangan teman-temannya, supaya lolos dari sensor Jepang. Pada tahun 1943, ia juga memberi ceramah tanpa judul di KPK, yang berisi kritik terselubung atas aktivitas propaganda organisasi tersebut. Amal menulis komedi satu babak berjudul Tuan Amin yang banyak mencemooh pembesar Jepang, serta dialog pendek antara X dan Y berjudul Seniman Pengkhianat sebagai cibiran atas seniman-kolaborator Jepang.
Kritik sastra Indonesia yang baru dirintis pada tahun 1910-an, mati suri pada era ini.  Era pendudukan Jepang bisa dilihat juga sebagai era peralihan periode Pujangga Baru kepada Angkatan `45, dan baru menemukan kritikusnya setelah Revolusi 1945, di antaranya dalam tulisan-tulisan H.B. Jassin atau M. Balfas. Dalam periode 1945-1950 pun sebenarnya tidak banyak kritik sastra yang terbit. Hanya H.B. Jassin yang paling produktif. Meskipun demikian, terdapat pula sastrawan yang menulis kritik, di antaranya Chairil Anwar, Asrul Sani, Aoh K. Hadimaja, dan Amal Hamzah. Selepas Revolusi, Chairil Anwar bersama dengan Rivai Apin, Asrul Sani, Henk Ngantung, dan Baharudin mendirikan lingkungan kesenian (kuntskring) bernama Gelanggang Seniman Merdeka (GSK) pada November 1946. GSK inilah yang menjadi cikal bakal angkatan sastra baru yang berbeda dari Pujangga Baru (H. B. Jassin menamainya Angkatan `45). Seniman-seniman yang tergabung dalam GSK ini pula yang nanti turut terlibat dalam perdebatan hebat mengenai kesenian pada tahun 50-an, meski pada lima tahun awal kemerdekaan, mereka relatif rukun tentrem adem ayem saja. H. B. Jassin barangkali satu-satunya kritikus sastra yang dikenal oleh masyarakat luas dewasa ini. Kerja kritik yang ia lakukan pada dasarnya adalah kelanjutan dari apa yang dilakukan J. E. Tatengkeng, yakni kritik sebagai penerangan masyarakat dan ‘pendidikan’ pada sastrawan dengan menunjukkan kebaikan dan keburukan yang terdapat dalam karya sastra, serta menunjukkan daerah-daerah baru yang belum atau sedikit dijajaki sastrawan. Kritik-kritiknya berjenis impresionistik; hanya kesan-kesan pokok yang dikemukakan, tanpa analisa merenik dan menyeluruh atas norma-norma karya yang ia kritik. Barangkali hal inilah yang membuat Budi Darma berkata bahwa kritik Jassin yang sungguh-sungguh bernama kritik dan bermutu adalah kritiknya terhadap Chairil Anwar dan sajak-sajaknya, sedang kritik sesudahnya, lebih-lebih kritiknya yang akhir, adalah kerja ‘administrasi’, sekadar pencatatan.
Terlepas dari benar-tidaknya komentar tersebut, Jassin setidaknya pernah menulis satu kritik yang cukup baik atas atas novel Atheis karya Achdiat K. Miharja. Dalam tulisan berjudul ‘Roman Atheis’ tersebut, Jassin memperbandingkan medan problematika Atheisdengan roman Balai Pustaka dan Pujangga Baru, dari Sitti Nurbaya, Layar Terkembang,dan Belenggu, kemudian menilai bahwa permasalahan yang diajukan dalam Atheisadalah baru; novel tersebut tidak lagi mempermasalahkan Barat atau Timur, novel tersebut tidak menyoroti masalah yang spesifik Indonesia, melainkan masalah yang ‘berlaku bagi semua manusia, baik ia orang Rusia, Inggris, Amerika [...] yakni soal manusia dan yang lebih kuasa’. Lebih lanjut lagi, ia menilai bahwa alur non-linier yang diterapkan dalam Atheis merupakan teknik cerita yang sama sekali baru. Ia pun melakukan penilaian mimetik atas novel tersebut, yakni bahwa roman Atheis merepresentasikan realitas sosial yang sungguh nyata (terlihat dalam penokohannya yang ‘inter-ideologis’, mulai dari ekstrim kanan yang religius, sampai ekstrim kiri yang anarkis).
Jassin menjadi tolok ukur penulisan kritik dalam rekan-rekan seangkatannya—dan juga yang datang setelahnya. Pola yang ia pakai dalam kritik-kritiknya (lihat misalnya serialKesusastraan Indonesia dalam Kritik dan Esai) adalah, mula-mula dijelaskan konteks sejarah dan masyarakat, kemudian sejarah pengarang sebagai individu beserta pandangan hidupnya, kemudian dibicarakan karya sastranya. Pembahasan karya ini biasanya meliputi aspek, 1.) gaya cerita/ekspresi, 2.) terkadang disertai ringkasan cerita, 3.) pembicaraan pikiran dan pandangan hidup yang diwakili tokoh-tokohnya, 4.) komentar Jassin, dan terakhir 5.) kesimpulan yang berupa penilaian dan anjuran. Keterkaitan ketat antara karya dengan pengarangnya sebagaimana ditunjukkan Jassin, beserta statusnya yang melegenda sebagai ‘penemu’ Chairil Anwar, barangkali merupakan faktor penting dalam pembentukan mitos hidup Chairil serta stereotipe penyair sebagai bohemian yang ‘tak peduli kata orang’, yang hanya memikirkan panggilan nuraninya untuk menciptakan karya gigantis serta hidup yang otentik.
Selain pola Jassinian yang juga diterapkan oleh Chairil Anwar, Asrul Sani (yang kebanyakan menulis kritik teori berdasarkan humanisme universal yang nantinya ia tuliskan dalam ‘Surat Kepercayaan Gelanggang’), dan Trisno Sumarjo, terdapat pula Darmawijaya yang sedikit berbeda. Dalam hubungannya dengan Pujangga Baru, barangkali Darmawijaya merupakan hibrida dari J. E. Tatengkeng dan Sanusi Pane. Dalam kritiknya atas sajak Amir Hamzah, ia mengambil posisi Tatengkeng, yakni ‘memasuki’ puisi untuk menemukan pengarang, dan ia menemukan bahwa ‘Amir Hamzah hanya mencurahkan rasa hati dan perasaan serta menggambarkan keindahan alam yang boleh jadi pula hanya baginya indah dan oleh karena itu bersifat lyriek atau curahan hati’. Namun ternyata posisi ini hanya pintu masuk ke dalam posisi yang lebih mirip dengan Sanusi, bahwa ‘sajak yang tinggi nilainya itu membukakan kita pintu masuk ke alam penyair yang letaknya di dalam, yaitu ke universum atau Jagad Besar yang berada dalam diri kita sendiri karena alam penyair itu adalah alam kita sendiri.
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa kritik Darmawijaya berusaha untuk mentransformasikan gagasan unio mystica Sanusi, yakni bahwa seni mengumpulkan manusia yang tercerai dari sosial dan alam menjadi utuh kembali dalam kesatuan mistik; menjadi semacam kesatuan horison antara pengarang dan pembaca: bahwa sudah ada kesatuan itu, dan seni yang baik hanya membuka pintu kesatuan itu. Dengan demikian, puisi yang paling liris, paling personal, masih dapat dinikmati karena pengalaman yang mendasari karya tersebut selalu dimediasi, atau dialami secara sosial. Namun demikian, pengalaman sosial yang dipahami oleh Darmawijaya ini masih direduksi dalam ‘selubung mistis’ interioritas jiwa penyair/pembaca.


Total Tayangan Halaman


counter web

Categories

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

- Copyright © Diaspora -- Powered by Blogger - Designed by Efrial Ruliandi Silalahi -