- Back to Home »
- SASTRA »
- Pujangga Baru dalam Polemik
Posted by : Unknown
Selepas gagalnya pemberontakan yang diorganisir PKI
pada tahun 1926, terbitan-terbitan pribumi melunak. Memasuki dasawarsa 1930-an,
para sastrawan jadi lebih halus. Semangat anti-kolonialisme masih tetap ada,
namun pencapaian-pencapaian pada era ini lebih kepada pencapaian estetis serta
pengembangan bahasa Melayu. Amir Hamzah, misalnya, mulai membuat syair yang
mengawinkan tradisi sajak Melayu dengan bentuk modern. Rima dalam
sajak-sajaknya tidak hanya terdapat dalam bait, misalnya a-b-a-b,tapi juga terdapat dalam baris-barisnya.
Misalnya dalam sajak ‘Sebab Dikau’, ia menulis ‘wayang warna menayang rasa/ … /di layar kembang bertukar pandang’. Terdapat pula persajakan permulaan kata
(aliterasi) dalam baris ‘sunyi sepi pitunang poyang’ (Karena Kasihmu) atau ‘insyaf diriku dera durhaka’
(Insyaf). Dalam
hal ini, Amir Hamzah bisa dilihat bukan sekadar sebagai seorang modernisator
sastra Melayu, tapi juga telah meradikalkan bentuk persajakan Melayu itu
sendiri.
Dalam era ini, setidaknya terdapat empat
kritikus/sastrawan yang berperan penting dalam perkembangan kritik sastra
nantinya: Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Sanusi Pane, dan J. E.
Tatengkeng. Kritik Pujangga Baru kebanyakan berupa timbangan buku, dan dimuat
dalam majalah Pujangga Baru. Oleh karena itu,
bersifat ringkas, impresionistik, dan langsung, baik ditinjau dari segi estetik
maupun ekstra-estetiknya. Tidak ada analisis (yang merenik), sedikit
mengemukakan ringkasan cerita, dan mengutamakan penilaian berhubungan dengan
naskah yang dibahas.
Kritikus-kritikus Pujangga Baru, sekalipun bernaung
dalam panji yang sama, tidaklah monolitik. Terdapat perselisihan paham yang
kemudian menjadi polemik. Salah satunya mengenai darimana kebudayaan Indonesia
harus berakar. Sanusi Pane berpendapat bahwa kebudayaan Indonesia harus
menyejarah, berarti harus berasal dari khazanah kebudayaan lokal pra-Indonesia.
sementara Sutan Takdir berpendapat bahwa kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan
yang sama sekali baru, sama sekali terpisah dari tradisi lama; kebudayaan baru
Indonesia harus mampu membangun bangsa. Takdir memberikan tolak ukur utama:
Barat.
Perdebatan ini pun menjalar dalam konsepsi umum
tentang sastra, serta dalam bentuk kritik terapan. Takdir berpendapat bahwa
seni mestilah bertendens: apabila ‘karya tidak mengandung tujuan
mulia bagi tujuan bangsa, karya tersebut harus ditolak sebab hanya melemahkan
dan melembekkan semangat pembaca.’ Pandangan
ini ia arahkan pada karya-karya Armijn Pane. Dalam novel Layar Terkembang, Takdir mengkritik drama Sandhyakala ning Majapahit karangan Armijn Pane
melalui tokoh Tuti. Menurut Tuti (dan juga Takdir), drama tersebut amat dalam
menggores kalbunya, tetapi kebagusan itu melemahkan hati dan tenaga.
Penyelesaian soal kejadian dunia, soal hidup mati seperti diucapkan Wisynu itu
mengerikan, yaitu melepaskan segala tempat berpegang, menjatuhkan tempat kaki
berjejak sebab kalau segalanya maya, habis arti hidup di dunia ini. Kepada
Sanusi Pane, Takdir mengarahkan kritiknya atas konsepunio
mystica. Konsep ini digunakan Sanusi untuk menunjuk sejenis
kolektivisme; persatuan dunia dan kemanusiaan dalam seni: melalui
seni, individu menyatu dengan jiwa dunia yang memancar dalam dunia kecilnya, ia
bersatu dengan kemanusiaan yang besar sebagai manusia kecil. Bagi
Takdir, konsep itu adalah penyatuan dua hal yang berlainan
azasnya. Unio mystica pada hakikatnya adalah
inidividualisme yang menjauhi masyarakat sementara lawannya, kolektivisme,
adalah paham persatuan dalam masyarakat. Bagi Sanusi, seni adalah sintesa
keduanya. Sanusi menarik seni dari dunia nyata, dunia empiri, kemudian
mereduksinya dalam dunia metafisik dan filsafat. Dengan jalan itu, persoalan
menjadi kabur. Takdir
memuji Belenggu, novel Armijn, karena novel tersebut
memiliki suasana yang romantik, tapi romantiknya gelap gulita, pesimis karena
batas-batasnya telah ditetapkan oleh berbagai macam belenggu, apabila
ditempatkan dalam konteks perjuangan saat itu (Takdir menulis pada tahun 1941),
buku ini merupakan lektur defaitisme, sastra
yang melemahkan semangat.
Atas kritik-kritik Takdir ini, Armijn Pane menjawab
dengan sebuah pertanyaan: ‘Mengapa Pengarang Modern Suka Mematikan?’ Dalam
esai yang dimuat dalam majalahPujangga Baru ini,
Armijn mempertanyakan kecenderungan pengarang masa itu untuk mematikan tokoh
utama dalam cerita mereka. Bagi Armijn, pembunuhan tokoh itu bertujuan untuk
menjadikannya martir supaya pembaca merasa kasihan, lalu membenarkan cita-cita,
serta apa yang diperjuangkan oleh tokoh tersebut. Bagi Armijn, novel-novel
seperti itu mengikuti kebiasaan sastrawan romantik Eropa abad ke-19 yang hendak
membesarkan pengaruh perasaan dan angan-angan, hanya mengikuti atau
mementingkan emosi. Analisis ini sebenarnya ingin memojokkan Layar TerkembangAlisjahbana, di mana salah seorang
tokoh pentingnya, Maria, Terbunuh; sekaligus menjadi pembenaran atas Belenggu, di mana ia menghidupkan semua tokohnya
untuk memberi mereka kesempatan menyelesaikan masalah masing-masing. Kritik ini
dilanjutkan oleh Sanusi, kakak Armijn Pane. Ia menulis, ‘saya cuma menolak saat-saat (di dalam novelLayar
Terkembang -pen) yang ada tendensnya. kalau saat-saat itu dilepaskan daripada
roman itu, karangannya itu pun kelihatan kuat dan sangat menarik hati. […] Rupanya sesuai dengan pemandangannya yang terus menerus
bergerak itu sehingga seringkali lupa bahwa di belakang pergerakan masih ada
jiwa, perasaan, atau ia dengan sengaja cuma mengemukakan lahir saja,
berhubungan dengan maksudnya memberi contoh kepada kaum isteri, mengisi roman
itu dengan tendens.’
Di luar polemik dua kritikus/sastrawan ini, terdapat
J. E. Tatengkeng yang memiliki posisi yang lebih moderat. Tatengkeng menulis
bahwa kritik memiliki dua fungsi, pertamasebagai
penerangan, kedua sebagai nasihat. Dalam
fungsi pertama, seorang kritikus adalah jembatan makna antara
seniman, karya, dan pembaca. Dalam fungsi kedua, kritikus adalah evaluator karya; kritikus menunjukkan kekuatan dan
kelemahan karya yang nantinya berguna bagi perkembangan seniman. Lebih lanjut
lagi, Tatengkeng melihat seni sebagai gairah; ‘seni adalah gerakan sukma’,
tulisnya.
Implikasi dari konsepsi seni ini adalah, bahwa hanya
karya yang timbul dari gerakan sukma yang layak disebut seni; di luar itu
tidak. Tentu konsepsi ini problematis dalam kritik terapan; bagaimana menilai
sebuah karya itu memuat gerakan sukma atau tidak? Tatengkeng tidak memberi
penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini. Namun setidaknya ia menerangkan
anjuran dan pantangan bagi seniman—yang mungkin bisa membantu mengilustrasikan
‘gerakan sukma’ ini: pujangga, menurut Tatengkeng, harus bebas, merdeka, jangan
diikat oleh ikatan lain kecuali tuntutan seni itu sendiri. ‘Seni harus tinggal seni’, demikian serunya. Kita
perlu berhati-hati ketika memahami pernyataan seperti ‘seni harus tinggal seni’
atau ‘seni untuk seni itu sendiri’. Tatengkeng menjelaskan bahwa, seni tidak
diciptakan Allah, tapi bukan alat manusia semata. Seni tumbuh dan lahir dalam
masyarakat, alam, dan waktu, maka ia merasakan segala apa yang ada dalam
masyarakat, alam dan waktu. Puisi yang lahir dari alam jiwa pujangga selalu
dalam perhubungan alam dan waktu untuk memenuhi kewajibannya. Dalam
penjelasan ini, tampak bahwa Tatengkeng mengafirmasi konteks sosio-historis
dalam proses produksi seni—posisi wajib bagi budayawan kiri. Yang membedakannya
secara radikal adalah posisi Tatengkeng yang mengglorifikasi pengarang.
Tatengkeng menilai bahwa mengkritik sebuah karya adalah pertemuan kritikus
dengan jiwa pengarang—konteks sisio-historis hanyalah catatan kaki yang
berfungsi sebagai penjelas untuk pengarang. Tugas utama bagi kritikus, oleh
karenanya, adalah untuk memikirkan pikiran pengarang, merasakan cintanya,
tangisnya, dan mempersatukan dirinya dengan pengarang. Dengan demikian kritik
bersifat subjektif, terikat pada diri kritikus yang mendalami jiwa pengarang. Dari sini
nampaklah posisi masing-masing kritikus/sastrawan. Takdir mengagung-agungkan
modernisme Barat, menyuluhkan seni Indonesia yang sepenuhnya baru, dan menilai
bahwa seni harus bermuatan didaktis, seni perlu bertendens untuk memangkas
kesadaran benalu pra-Indonesia dan menumbuhkan kesadaran Indonesia modern yang
lepas dari tradisi-tradisi usang. Pada pihak lain, Armijn dan Sanusi
melihat seni sebagai wadah bagi tegangan-tegangan, baik itu antara jagad
besar-jagad kecil, individu dan kolektif, atau Barat dan Timur. Lebih lanjut
lagi, keduanya menekankan keberakaran dalam seni, dan seni Indonesia modern,
mau tidak mau, harus berakar dari sejarahnya sendiri, dari budaya tempat seni
tersebut lahir.
Sekalipun
terdapat perselisihan pendapat di antara ketiganya, kritikus-kritikus Pujangga
Baru berangkat dari asumsi teoretik yang sama: romantisisme. Ketiganya percaya
bahwa sastra yang baik adalah sastra yang meletup dari ‘sukma’ terdalam
pujangga, dan bahwa ‘sukma’ tak bisa tidak terpengaruh oleh konteks sosio-historis.
Lebih dari itu mereka percaya bahwa Indonesia membutuhkan sastra yang baru,
yang modern, terlepas dari perdebatan dari mana titik mula modernisasi itu;
Barat atau Timur. Bersebrangan sekaligus internal
dalam sastrawan/kritikus Pujangga Baru yang cenderung romantik, terdapat posisi
yang unik: Sutan Syahrir. Dalam salah satu tulisannya yang dimuat dalam Pujangga Baru, Syahrir
mengkritik Pujangga Baru: tujuan Pujangga Baru masih belum terang benar: hendak
memimpin semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan baru, kebudayaan
persatuan Indonesia, tapi bagaimana wujudnya, tidak jelas; hanya dapat
ditangkap secara menduga-duga berdasarkan ucapan para wakilnya saja. Syahrir
kemudian memberi prasaran mengenai tujuan ini: kalau ditelusuri jalan dunia
dinamis sesuai semboyannya itu, tentu Pujangga Baru akan menjurus pada rakyat
dan akhirnya menggabungkan cita-citanya dan dirinya dengan rakyat. Namun
demikian, alih-alih menjadi penyair rakyat, Pujangga Baru malah memusuhi rakyat
banyak yang sebenarnya belum berkebudayaan karena kebudayaannya statis, dan
menurut Syahrir, kebudayaan itu belum perlu dimusnahkan. Di sini Syahrir
mengkritik Sanusi-Armijn Pane dan STA: posisi yang mengagung-agungkan
kebudayaan Timur adalah dekaden dan cenderung reaksioner, dan posisi yang
mengagung-agungkan Barat, selain karena terdapat elemen dekaden dan
reaksionernya juga, ketika mengutarakan pikiran-pikiran progresif cenderung
berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti dan malah menjauhi rakyat. Dalam penilaian karya, Syahrir bermula dari relasi
‘bangun’ (bentuk) dan ‘isi’ seni. Konsep ini nampaknya adalah formulasi ulang
dari konsep basis-suprastruktur Marx yang diterapkan dalam seni. Syahrir
menulis: ‘bangun harus setimbang dengan isi, tapi isi yang menentukan bangun’.Dalam
mengungkapkan suatu pesan (isi) tertentu, mesti digunakan bentuk yang sesuai
dengannya, dan dengan demikian, pesan (isi/basis) menentukan bentuk
(suprastruktur). Karena seni ditujukan untuk rakyat, maka isi dari seni mesti
pula bicara pada rakyat banyak. Posisi ini mirip dengan ‘seni bertendens’
Takdir. Namun, Takdir lebih berorientasi konstruktif, yakni ‘membangun
kebudayaan bangsa’ berdasarkan kebudayaan Barat, sementara Syahrir lebih
didaktis; tugas seni adalah mendidik rakyat. Hal itu nampak dalam tulisannya: ‘Kesusastraan kita tidak mesti direndahkan ukurannya
sehingga dapat memuaskan keperluan rohani rakyat yang belum diasah, yang masih
primitif. akan tetapi, kesusastraan kita harus dapat mendidik rakyat banyak
supaya dapat menghargakan pikiran dan perasaan, kesusastraan yang halus pun
jua. kesusastraan kita harus dapat menghela pikiran dan perasaan rakyat pada
tempat yang tinggi’.
Posting Komentar