Posted by : Unknown

Pada umumnya, pembabakan kritik sastra Indonesia dimulai pada tahun 1932, ketika Sutan Takdir Alisjahbana mengusahakan sebuah rumusan teoretik bagi kritik sastra dengan artikel berjudul ‘Kritik Kesusasteraan’ yang dimuat dalam rubrik ‘Memajukan Kesusasteraan’ majalah Panji Pustaka. Namun tradisi ini setidaknya sudah dirintis sejak tahun 1910-an, dalam komentar-komentar Tirto Adhi Surjo atas cerita-cerita yang dimuat di Medan Prijaji (1907-1912) atau Putri Hindia (1908-1911). Terdapat pula kritik atas novel Marco Kartodikromo, Mata Gelap, yang dinilai merendahkan orang Tionghoa dengan digambarkan sebagai lintah darat.
Pijar awal kritik sastra ini berkaitan erat dengan didirikannya percetakan negara di Batavia pada tahun 1812 untuk menerbitkan surat dan lembaran resmi pemerintah. Pada pertengahan abad ke-19, mulai muncul percetakan-percetakan swasta yang dikelola oleh orang Tionghoa dan peranakan Indo-Eropa. Lewat percetakan-percetakan swasta ini, setidaknya pada tahun 1875, mulai dikenalkan genre roman modern melalui saduran novel-novel Eropa. Yang paling terkenal adalah Hikajat Robinson Crusoe, Graaf de Monte Cristo, serta serial Sherlock Holmes. Ketiganya telah mengalami adaptasi sedemikian rupa sehingga menunjukkan perbedaan yang mencolok dari versi aslinya.Monte Cristo yang disadur Juvenile Kuo pada 1928, misalnya, dikisahkan dalam latar Jawa kolonial serta menyerukan kesetaraan antara penjajah dan yang dijajah.
Pada tahun 1907, Tirto Adhi Surjo mendirikan Medan Prijaji yang mencetak surat kabar pergerakan pribumi pertama. Haji Misbach mendirikan percetakan Insulinde di Solo, dan sejak Semaun menjadi kepala redaksi di Sinar Jawa pada tahun 1917, koran tersebut mulai bergerak ke kutub progresif dan radikal. Sejak saat itu, dapat ditemukan novel yang dimuat secara bersambung dalam koran-koran tersebut. Marco Kartodikromo, misalnya, memuat Matahariah dalam harian Sinar Hindia sepanjang Agustus 1918 – Januari 1919. Novel ini disusun dalam 3 bahasa sehingga perlu terus-terusan menerjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lainnya, memperkenalkan narasi heteroglossia (literal: lidah campuran) pada publik Indonesia.
Untuk menghadang terbitnya ‘batjaan-batjaan liar’ dari kaum pergerakan (juga karangan-karangan Tionghoa), pemerintah kolonial mendirikan Komisi Bacaan Rakjat pada tahun 1908. D.A Rinkes mengubahnya menjadi Balai Pustaka pada 1917. Rinkes juga mengeluarkan Nota over de Volkslektuur (nantinya lebih dikenal sebagai ‘Nota Rinkes’), yang berisi aturan-aturan yang berlaku untuk buku-buku yang terbit di Balai Pustaka, antara lain: harus bersikap netral terhadap agama, memenuhi syarat budi pekerti yang baik, menjaga ketertiban, serta tidak boleh berpolitik (melawan pemerintah). Nota ini menjadi semacam standar mutu Balai Pustaka dalam memutuskan diterbitkan atau tidaknya naskah mereka terima. Naskah Armijn Pane, Belenggu, ditolak terbit karena dianggap tidak memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut.
Nota Rinkes pun menjadi ‘semacam’ pedoman bagi ‘semacam’ kritik sastra. Pada mulanya, naskah Salah Asuhan karangan Abdul Muis ditolak Balai Pustaka. Naskah tersebut dinilai melanggar kesopanan masyarakat (dengan adegan merangsang birahi serta realisme banal), berbau politik, dan menjelek-jelekkan Barat.  Pada naskah aslinya, tokoh Corrie, perempuan Belanda istri Hanafi, digambarkan merokok, suka bergaul dengan pemain keroncong Jantje sampai tidur berdua, dan suka menghamburkan harta suaminya yang gajinya tak seberapa. Kehidupan hedonis Corrie akhirnya menyeretnya ke pelacuran, dan membuatnya mati konyol karena ditembak seorang kekasih yang sakit hati. Dalam versi yang diterbitkan Balai Pustaka, Corrie berubah menjadi perempuan Belanda yang lembut, pengertian, dan terpelajar. Memang ini ‘sekadar’ tindak penyensoran karena kritik tersebut dilayangkan sebelum karya tersebut terbit dengan tujuan untuk mengubah isi karya tersebut. Namun bahwa kritik tersebut memiliki ukuran-ukuran yang jelas (sebagaimana termaktub dalam Nota Rinkes), serta bersandar pada ide tentang sastra yang baik (bahwa sastra harus didaktis, membentuk kesadaran masyarakat untuk taat pada pemerintah kolonial), kiranya cukup untuk menjadi dasar bagi argumen kritik yang konsisten.
Di luar dua kecenderungan itu, terdapat pula kritik yang ditulis oleh Mohammad Yamin. Pada tahun 1920 ia menulis ulasan mengenai Babad Melayu yang mengimbau pembaca untuk menaruh minatnya pada sastra warisan leluhur. Baginya, kitab tersebut harus dibaca karena dikarang menurut kehendak bangsa sebenar-benarnya dalam kata lain, kitab ini ditulis oleh orang Melayu untuk kepentingan orang Melayu itu sendiri.

Total Tayangan Halaman


counter web

Categories

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

- Copyright © Diaspora -- Powered by Blogger - Designed by Efrial Ruliandi Silalahi -