Posted by : Unknown

Image
Mengapa India tidak bersuara?
Apakah India kehilangan jiwanya? Apakah India tertidur?
Tidak, India terjaga oleh pria pekerja keras
Dan oleh para ibu rumah tangga yang sedang menyalakan kayu bakarnya
India terjaga oleh air mata dan tawa kaum miskin
Untuk jiwa India, kesejahteraaan adalah kemiskinannya
Jiwa kemerdekaannya,
Dedikasinya atas kebenaran,
Untuk suaranya yang datang dari yang terdalam
Satu-satunya kebenaran Dewa yang termanifestasi
Dalam setiap batu dan pohon
Dan tinggal dalam hati setiap orang
Penggalan puisi di atas adalah karya Imam Bulu yang ditujukan bagi Vandana Shiva. Vandana Shivalah suara yang dimaksud Bulu Imam, seorang feminis, filsuf yang aktif menyerukan perlindungan lingkungan dan perempuan. Kepada rakyat India, Shiva kerap menyerukan Peluklah Pohon – Pohon Kita yang kemudian melahirkan gerakan Chipko.
Apakah gerakan Chipko itu? Bagaimana kehidupan perempuan India ini? Kisahnya akan menemani sabahat marsinah di Perempuan Pelita edisi 26 bersama saya, Meme/Dias, selama 1 jam ke depan di Marsinah 106 FM. Tentu saja setelah satu tembang berikut ini (Lagu dan iklan)
Seruan Vandana Shiva “Peluklah Pohon Kita” terinspirasi dari kepahlawanan perempuan untuk menyelamatkan lingkungan 300 tahun lalu di Desa Bishnoiu, Rajastan India. Pohon Khejri ini menjadi saksi bisu atas perlawanan kaum perempuan India terhadap titah sang raja, Abhay Singh untuk menebang pohon Khejri. Masyarakat Desa Bishnoi melakukan protes dengan memeluk pohon Khejri, akibatnya 363 (tiga ratus enam puluh tiga) penduduk desa tewas terbunuh. Aksi memeluk pohon ini dipimpin oleh Amrita Devi beserta tiga perempuan bersaudara bernama Asu, Rani dan Baghu Bai. Aki ini kemudian dinamai gerakan Chipko yang artinya memeluk.
Aksi memeluk pohon kehjri ini kemudian menginspirasi dunia, termasuk gerakan ekofeminisme yang diusung oleh Vandana Shiva. Dalam sebuah bukunya, Shiva menuliskan “Peluklah Pohon – Pohon kita dalam bukunya yang berjudul Teruslah Hidup: Perempuan, Ekologi dan Perjuangan di India. Dalam bukunya itu, ia mengutip kalimat dari sebuah puisi yang digubah oleh Raturi pada tahun 1972.
Sebagai seorang aktivis perempuan dan lingkungan, Shiva tak pernah surut menyuarakan pembelaan terhadap perempuan dan lingkungan. Kegigihannya membuat Shiva menerima berbagai penghargaan, seperti Penghargaan Penghidupan (Penghargaan alternative Nobel, Penghargaan Hari Bumi Internasional dan Penghargaan Globe 500. Sebagai bentuk pengabdianya, kini Shiva mendirikan sebuah lembaga bernama Navdanya yang menjadi bagian dari gerakan lingkungan yang mengembangkan pertanian dan pupuk organik.
Dia kini mulai mendirikan Universitas Benih,Bija Vidyapeeth, di pertanian Navdanya dekat Dehradun, India, yang menyediakan kursus pendidikan selama beberapa bulan untuk me menyebarluaskan pengetahuan tentang kehidupan holistic. Saat ini Bija Vidyapeeth menyelenggarakan kursus kedua “Gandhi dan Globalisasi” yang berhasil menghadirkan peserta dari berbagai belahan dunia.
Image
Vandana Shiva adalah seorang doktor Fisika dan ilmu Filsafat yang terlahir di Dehradun, di sebuah kaki pegunungan Himalaya, pada 5 November 1953. Shiva kerap mengkritik neoliberalisme yang menurutnya merupakan cara berpikir yang maskulin sekaligus patriarki. Cara berpikir masukulin ini dicirikan dengan hadirnya kecenderungan kompetitif, agresif, dan dominative. Prinsip ini berbeda dengan prinsip feminine yang bersifat inuitif, lebih senang berkoordinasi dan bekerja sama, merawat dan memelihara.
Lanjut Shiva, pengeahuan modern yang maskulin telah melahirkan “dualisme” dan “reduksionisme”. Prinsip dualime menempatkan obyek-subyek, manusia – alam semesta, akal – rasa, dan lelaki – perempuan secara diametral. Ilmu pengetahuan meniscayakan dualism tersebut dengan mewajibkan keterpisahan antara subyek yang meneliti  (alam semesta). Karena keterpisahan itulah tercipta jarak antara manusia dan alam. Alam semesta pun akhirnya diperlakukan sebagai obyek, yang bahkan bisa diperlakukan semena-mena.
Di sisi lain, reduksionisme menyisakan jejak darah di mana- mana. Berdasarkan sejarahnya, pada abad 16 di Eropa terjadi pembantaian terhadap perempuan yang memiliki kemampuan kebidanan, pengobatan, dan astrologi. Mitos nenek sihir yang disebarkan oleh penguasa menjadi penyebab pembantaian terhadap kaum perempuan ini. Fakta ini menjadi landasan bagi Shiva untuk menolak proyek korporasi global yang melakukan berbagai rekayasa biologi terhadap beberapa jenis tanaman produktif. Penolakan itu mencerminkan pandangan Shiva terhadap pengetahuan dan tekhnologi modern yang menghancurkan korpus pengetahuan lokal tentang pertanian dan cara bertani tradisional yang diidentikkan sebagai model pertanian yang kuno, tidak modern, kurang bagus dan jauh dari produktif. Atas nama pembangunan, cara bertani yang tradisional ini diberangus dan digantikan dengan cara bertani dengan rekayasa biologi yang justru menghancurkan alam.
Di sinilah eko feminisme mengambil peran dengan memotret pertarungan ideologis antara prinsip feminine dan maskulin. Ini membuat Shiva leluasa menemukan benang merah antara subordinasi perempuan dan subordinasi alam semesta, spiritualitas hingga proses pemiskinan negeri-negeri dunia ke tiga. Bagi Shiva, kematian prinsip feminine bukan hanya menjadi lonceng kematian bagi hak – hak perempuan, namun juga pada hak kaum miskin, anak- anak, rakyat dunia ke tiga dan alam semesta.
Menurut Shiva, eko feminisme adalah keseluruhan cara pandang dunia yang lebih dari sekedar menggabungkan penyelamatan lingkungan dan perjuangan hak – hak perempuan, melainkan meliputi seluruh kompleks persoalan yang dihadapi manusia dari kemiskinan, kelaparan, penolakan privatisasi air, penghapusan utang, perdamaian dunia, anti rekayasa genetika dan plasma nutfah dan puncaknya adalah penolakan terhadap pasar bebas. Pemikiran Shiva ini memberikan cakrawala baru dalam pemikiran eko feminisme yang menghasilkan wacana alterjatif bagi pemikiran feminisme dan ekologis sekaligus. Dengan membaca secara utuh tradisi purba dan kuno dari sejumlah teori kebudayaan di India dan Asia yang sangat menghormati alam semesta, Shiva sampai pada sebuah kata kunci, yaitu “Spiritualitas”.
Spiritualitas ini yang lenyap dalam semua kosa kata feminisme barat. Hal ini menurut Shiva adalah hal wajar karena feminisme barat lahir dari lingkungan akademik yang merendahkan dimensi rasa. Shiva menurturkan bahwa spiritualitas ekofeminis bukan spiritualitas alam gaib para ahli nujum yang mau perubahan tanpa mengeluarkan keringat sedikitpun. Spiritualitas Shiva adalah sebuah perekat semua elemen kehidupan dalam keseluruhan jejaring.
“Ketertarikan saya pada lingkungan dimulai sejak kanak-kanak. Saya terlahir di Dehradun India, dan ayah saya adalah seorang penjaga hutan. Aku dibesarkan di hutan di pegunungan. Kemudian saya terlibat dalam gerakan Chipko pada tahun 1970an ketika kaum perempuan memeluk pohon-pohon untuk mencegah penebangan hutan. Namun, intelektualitas saya tetap di ilmu fisika.” Penggalan kalimat ini mengalir dari mulut Shiva ketika diwawancara  sebuah media online internasional.
Kecintaan sang ayah atas hutan dan alam menurun pada Shiva. Sementara, sang ibu selalu yang bekerja borongan di rumah menghasilkan baju dari nilon mengajarkan padanya bahwa setiap ia memproduksi baju dari nolon, para pengusaha bisa membeli Mercedes dari penjualan setiap helai baju nilon tersebut. Kedua orang tuanya mengajarkan pada Shiva kecil untuk tidak takut dengan apapun apalagi bila kita melakukan hal yang benar.
Shiva sendiri menimba ilmu pengetahuan di Sekola Santa Maria di Nainital dan di Biara Yesus dan Maria di Dehradun. Setelah mendapat gelar sarjananya di bidang Fisika, ia meneruskan pendidikan untuk gelar M.A di Universitas Guelph, jurusan Fisika, di Ontario Kanada, pada tahun 1977. Ia pun lulus dengan tesis berjudul “Perubahan Konsep Periodisasi Sinar”. Pada tahun 1978, ia melengkapi dan menerima gelar Ph.D, di Universitas Ontario Barat. Ia lulus predikat Ph.D dengn tesis berjudul “Variabel Tersembunyi dan Lokalitas dalam teori kuantum”. Setelah itu baru kemudian ia melakukan penelitian interdisipliner dalam ilmu alam, tekhnologi dan kebijakan lingkungan di Institut Ilmu Alam India dan Institut Manajemen India di Bangalore.
Pada tahun 1981 Menteri Lingkungan mengundang Shiva untuk mempelajari dampak pertambangan di lembah Doon. Sebagai hasil dari laporan Shiva, pengadilan menghentikan pertambangan di tempat tersebut pada tahun 1983. Ini adalah untuk pertama kalinya Shiva melakukan percakapan secara professional. Sejak itu, Shiva berkomitmen untuk melakukan perubahan di lingkungannya dan bekerja bersama dengan masyarakat.  
Shiva sangat peduli dengan lingkungan agar bisa selamat dan Shiva menyadari bahwa hanya dengan melakukan penelitian sendiri tidak akan mengubah apapun, perubahan butuh keterlibatan masyarakat di lingkungan sekitar. Oleh karenanya,  Shiva mendirikan Lembaga Penelitian untuk Ilmu pengetahuan, Tekhnologi, dan Ekologi pada tahun 1981 – 1982 untuk saling menghubungkan masyarakat dan melatih mereka menjadi para ahli. Shiva mencontohkan bagaimana gerakan Chipko dimana kaum perempuan dengan militant melindungi hutan tempat mereka tinggal, seperti bendungan alami,  sumber pakan ternak, bahan bakar dan pupuk. Chipko mengajarkan kepada kita bahwa siapapun kita bahkan ketika kita memiliki gelar setinggi langit, tidak sama artinya dengan kita mengetahui segalanya, karena sangat banyak pengetahuan di masyarakat kita dan nenek kita yang belum kita pelajari.
Di sinilah, Shiva memulai pendekatan holistik dalam penelitian karena sebagai contoh, geologi tidak bisa memberitahu kita ketika kita sedang menghancurkan sumber air, namun ilmu geo – hidrologi bisa memberikan seperangkat pengetahuan untuk mengetahuinya. Itulah aspek pekerjaan Shiva yang diakui ketika Penghargaaan Hak Atas Kehidupan diberikan kepada Shiva pada tahun 1993, untuk menciptakan sebuah paradigma baru dalam melakukan penelitian dan penulisan novel.
Kekeringan parah yang terjadi di Karnataka (negeri bagian India) pada tahun 1984 membuat Shiva menyadari bahwa hal ini dikarenakan cara pengolahan pertanian yang keliru. Di tahun yang sama, peningkatan gerakan militant di Punjab juga terjadi. Terkait hal ini, Shiva menuliskan tentang kaitan gerakan di Punjab dengan Revolusi Hijau yang merusak lingkungan. Kampanye Revolusi Hijau yang katanya akan memberikan masyarakat lebih banyak makanan sesungguhnya telah merusak lingkungan dan berakibat pada kemiskinan yang lebih luas. Kaitan antara gerakan Punjab dan Revolusi Hijau ditegaskan oleh gerakan Khalistan yang berawal dari rasa frustasi karena tidak mampu memutuskan harga ketika air di Bendungan Bhakra didirikan dan seterusnya. Situasi ekonomi Punjab jatuh karena pencabutan subsidi dan kenaikan harga dan para petani pun mengalami krisis. Gerakan militant dipelopori oleh para petani sebagai bentuk respon terhadap sistem ekonomi yang membuat mereka semakin miskin. Dari sinilah kemudian Shiva mulai berpkir tentang isu agrikultur. Akhirnya, pada tahun 1987 ia menghadari pertemuan di PBB dan mulai memikirkan metode Mahatma Gandhi yang menggunakan Cakra untuk meluaskan gerakan Gandhi (satyagraha)melawan perampasan lahan pertanian oleh MNC. Inilah yang menjadi latar belakang lahirnya lembaga Navdanya meski lembaga ini baru menjadi lembaga penuh pad. Sementara pendiskusian tentang pertanian ini dimulai semenjak lima tahun lalu. Menurutnya, para petani akan terinspirasi dengan hadirnya 250 varietas dan 800 spesies tanaman di lahan yang sama.
Image 
Melakukan uji coba tanaman organic dan benih organic bukan hal yang mudah, ada kalanya menemui kegagalan. Demikian halnya yang dialami Shiva dengan lembaganya, Navdanya, ketika tanah suburnya ternyata mandul. Menurut Shiva itu dikarenakan racun yang diciptakan oleh eucalyptus monokultur. Kami benar-benar belajar untuk kembali ke hidup sehat. Kejadian ini merupakan kesempatan untuk melatih apa yang kita pelajari tentang pertanian organic dan pengelolaan lahan holistic. Hasilnya cukup fantastic. Setiap tahun terjadi peningkatan 10% bio diversity dan hama ramah. Mereka juga perlu sedikit mengairi tanah sehingga kapasitas tanah menahan air bisa meningkat. Menurut Shiva setiap kali ia kembali ke lahan pertaniannya, bertambah banyak burung dan kupu-kupu
Sementara, dengan universitas Bija Vidyapeeth yang ia bangun, ia berencana melanjutkan kuruss bekerja sama dengan Universitas Schumacher. Orang – orang terbaik yang telah sepakat untuk mengajar di universitasnya adalah fisikawan Fritjof Capra, pendiri Body Shop Anita Roddick dan Satish yang akan kembali setiap tahun untuk mengajar mata kuliah tentang anti kekerasan. Shiva juga memberikan kurikulum tentang pertanian organic bagi para petani dan bahkan juga mengadakan kamping panchayatuntuk pembangunan berkelanjutan.
Untuk mempopulerkan pertanian holistic,  Navdanya mulai membentuk jaringan diskusi. Navdanya mulai membentuk bank benih organiik di 9 negara bagian India dan hasilnya 2000 petani beralih ke pertanian organik. Isu bebas dari korporasi benih multinasional dan kimia menjadi isu sentral.
Tentang ekologi, bagi Shiva seseorang tidak akan bisa menjadi ekologis tanpa menjadi spiritual terlebih dahulu. “Kau bisa menjadi seorang eko- tekhnorat, tapi kau tidak akan pernah bisa benar-benar merasakan sakitnya kekerasan terhadap alam dan kenikmatan yang hadir karena berhasil menyelamatkannya. Spiritualitas bagiku adalah segala hal tentang menghubungkan, dan membentuk lingkaran simpati dan iba atasnya untuk bumi. Caraku melakukannya adalah dengan memastikan terbentuknya bio – diversity dan menciptakan keamanan dari racun kimia. Mengapa petani kita harus bunuh diri dan anak-anak kita harus mati kelaparan karena bumi tidak bisa lagi menyediakan makanan yang cukup bagi setiap orang? Tahukah anda bahwalebih dari 20 ribu petani bunuh diri akibat benih baru dan kimia, karena mereka terjerat utang? Spiritualitas ku mendorongku menghentikan pembunuhan anak-anak, petani dan beragam spesies lainnya.”
Navdanya dimulai sebagai respon konstruktif terhadap mimpi sesat kehidupan pengendali melalui rekayasa genetik dan paten. Gagasan paten menurut Shiva adalah gagasan yang menjijikkan dan melawannya adalah sebuah hal yang mulia. Gagasan hak paten adalah gagasan arogansi kaum barat terhadap pengetahuan kaum pribumi, seperti dalam kasus aswagandha. Hal ini sama dengan Hukum Garam selama Inggris berkuasa dimana kaum Indian tidak diperbolehkan membuat garam dan hanya Inggris yang boleh karena memegang royalty atas garam. Sekarang kita harus menyadari bahwa siapapun berhak membuat garam. Semua ini menurut Shiva hanya untuk kekuasaan tiran seperti WTO dan lembaga internasional lainnya.
Melawan korporasi-korporasi besar bagi Shiva adalah hal baik karena untuk menyelamatkan bumi dan lingkungan memang harus demikian. Karena manusia untuk kelangsungan hidupnya membutuhkan air, tanah sebagai sumber kehidupan. Kini keluarga Shiva turut membantu dan mendukung Shiva menyelamatkan bumi dan lingkungan. Saudara lelakinya meninggalkan pekerjaan di Air Force untuk tinggal bersama Shiva. Maya, Vidyapeeth, Radha dan Shiva sendiri beserta tiga saudara perempuan lainnya menjalankan Navdanya.

Total Tayangan Halaman


counter web

Categories

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

- Copyright © Diaspora -- Powered by Blogger - Designed by Efrial Ruliandi Silalahi -