DARI KORBAN JADI PEJUANG: SOMALY MAM MELAWAN PERDAGANGAN PEREMPUAN
Salah satu negeri di kawasan Asia Tenggara, dan memiliki
beberapa kemiripan dengan Indonesia. Malah situasi di Kamboja kadang
disebut lebih buruk dibanding Indonesia. Bukan hanya upah buruh yang
lebih murah, rakyat Kamboja juga menanggung tekanan akibat sistem
kekuasaan yang lebih represif.
Tentu saja, pada masyarakat yang
menghadapi banyak masalah, kaum perempuan menerima beban lebih berat.
Dan sosok Perempuan ini muncul di negeri yang penuh
persoalan itu, hadir dari situasi Kamboja yang miskin dan tidak
demokratis. Dia
bernama Somaly Mam, perempuan yang sejak sebelum remaja jadi korban
perdagangan perempuan, dipaksa jadi pelacur, mengalami beragam
kekerasan, dan dihimpit kemiskinan, namun kemudian berkarya sebagai
pembela hak perempuan dan melawan perdagangan perempuan.
“Saya
tidak kenal ibu atau orangtua saya. Saya tidak tahu apakah nama
‘Somaly’ memang nama saya sebenarnya. Saya hanya tahu, saya terus dijual
karena warna kulit saya yang gelap.” Inilah kalimat yang sering
dinyatakan Somaly Mam, ketika ditanya tentang asal-usul keluarganya. Ya,
Somaly merasakan langsung penderitaan sebagaimana dialami banyak
perempuan di Kamboja dan negeri lainnya. Somaly lahir di desa Bau Sra,
satu desa di Kamboja yang miskin. Jika ditanya kapan dilahirkan, semua
orang bisa menjawab dengan pasti. Tapi tidak dengan Somaly Mam, dia
tidak tau kapan dilahirkan. Somaly hanya bisa menerka dilahirkan antara
tahun 1970 atau 1971. Yang pasti Somaly ingat adalah dia terlahir dalam
keluarga miskin, kemudian diasuh oleh neneknya. Itu saja asal-usul yang
bisa diceritakan Somaly tentang dirinya, menggambarkan betapa beratnya
masalah yang dihadapi masyarakat sekitar Somaly pada waktu itu.
Kemiskinan bukan satu-satunya masalah yang dirasakan Somaly pada usia
kanak-kanak. Masih ada lagi yang tak kalah besar membuat penderitaan,
yaitu perang. Ya, perang terus berkecamuk di Kamboja, termasuk yang
melibatkan pihak asing. Ketika masih usia balita, Amerika Serikat
menyerang Kamboja. Tentu saja perang banyak mengorbankan rakyat, apalagi
perempuan dan anak-anak. Dengan segala upaya dan besarnya persenjataan,
Amerika berusaha memenangkan perang, tapi gagal. Kegagalan dalam perang
berakibat Amerika meninggalkan Kamboja. Tapi bagi rakyat Kamboja,
akibat yang ditanggung jauh lebih besar.
Setalah Amerika Serikat pergi, muncullah kekuasaan baru di Kamboja
antara tahun 1975 hingga 1979, yaitu Khmer Merah. Rejim Khmer Merah
sangat militeristik, segala hal tentang kehidupan rakyat diatur dengan
paksaan senjata. Pada saat inilah Somaly Sam berpisah dengan sang nenek
yang mengasuhnya sejak bayi. Dan Somaly menjadi anak terlantar. Sampai
akhirnya ada keluarga yang memberikan pengasuhan pada Somaly, yaitu oleh
Keluarga Taman.
Harapan memiliki orang terdekat yang memperhatikan dan memelihara,
adalah perasaan yang diinginkan Somaly, sebagaimana perasaan anak-anak
pada umumnya. Oleh karenanya, ketika diterima dan diasuh oleh Keluarga
Taman, dianggap Somaly sebagai akhir penderitaan dan kesendiriannya
sebagai anak.
Somaly Mam setelah terlantar, diasuh dan hidup bersama Keluarga
Taman. Ternyata tidak lama kehidupan Somaly dalam keluarga ini. Kisah
hidupnya kembali membuatnya berpindah keluarga, ketika ada tamu Keluarga
Taman yang dikenalkan sebagai kakek. Taman yang selama ini mengasuhnya,
menyampaikan bahwa kakek ini akan membantu Somaly kembali ke
keluarganya. Betapa senang Somaly kecil, bahkan meyakini bahwa si kakek
adalah kakek aslinya dan akan mengajaknya berkumpul sebagai keluarga
yang saling menyayangi. Somaly pun dengan senang ikut serta pada sang
kakek.
Namun ternyata hidup bersama sang kakek, membawa Somaly pada
kehidupan lebih keras dan tidak manusiawi. Somaly dipaksa bekerja pada
orang lain, dan upah kerjanya diambil sang kakek. Jika dianggap
melakukan kesalahan, tak jarang kemarahan bahkan pukulan diterima Somaly
dari sang kakek. Sebagai anak, Somaly menganggapnya sebagai kehidupan
yang harus diterima. Namun kenyataan pahit terus dialami oleh Somaly
kecil, hingga dia sebagai perempuan kemudian diperdagangkan oleh si
kakek. Somaly dipaksa jadi budak seksual, untuk si kakek bisa
mendapatkan uang.
Peristiwa pertama yang membawa luka sangat dalam bagi Somaly, adalah
ketika oleh si kakek ternyata tubuh Somaly dijadikan untuk melunasi
utang. Saat itu Somaly hanya tahu disuruh untuk mengambil minyak ke
tempat biasa Somaly biasa belanja barang. Tapi ternyata sang penjual
memperkosa Somaly. Dan akhirnya Somaly tahu bahwa sang kakek lah yang
menjadikannya sebagai pembayar utang terhadap si penjual minyak.
Penderitaan Somaly terus berlanjut. Di usia remaja, si kakek akhirnya
menjual Somaly ke rumah bordir atau pelacuran. Penderitaan semakin
bertambah dan membawa kemarahan pada diri Somaly, terhadap sang kakek
dan pemilik rumah bordir.Tapi dia tidak menyerah. Beberapa kali Somaly
berusaha kabur, tapi selalu gagal. Dan setiap berusaha kabur, berakibat
pada siksaan yang lebih besar. Hingga dewasa terpaksa Somaly hidup di
pelacuran, bersama perempuan-perempuan lain yang juga menjadi korban,
dengan latar belakang beda-beda.
Sebelumnya bersama kita simak kisah pilu pengalaman Somaly kecil
hingga dewasa, hingga dipaksa sebagai penghuni rumah bordir. Kehidupan
lebih baik baru didapatkan setelah Somaly akhirnya keluar dari rumah
pelacuran. Kehidupan yang jauh bertolak belakang dengan pengalaman
sebelumnya, saat Somaly bertemu dan berkenalan dengan Piere, seorang
lelaki Perancis yang bekerja di lembaga kemanusiaan di Kamboja. Piere
jatuh cinta dan akhirnya mengajak Somaly Mam menikah. Setelah menikah
dan bebas dari arena perdagangan manusia, menjadi kesempatan bagi Somaly
bukan untuk dirinya sendiri. Segera Somaly mengambil kesempatan
kebebasannya tersebut untuk menyelamatkan perempuan lain yang jadi
korban perdagangan manusia dan dipaksa hidup di rumah pelacuran.
Awalnya ketika datang ke tempat kerja suaminya, sebuah lembaga
kemanusiaan bernama MSF, kepada bos suaminya dengan berani Somaly
menawarkan diri sebagai relawan. Apalagi MSF juga mempunyai program
membantu para PSK yang terkena penyakit kelamin. Bersentuhan dengan para
perempuan yang bahkan jauh lebih muda dari dirinya, yang menjadi korban
pelacuran paksa, semakin membulatkan tekad Somaly untuk bekerja demi
kemanusiaan. Tekad itu diwujudkan pertama dengan Somaly aktif mendatangi
rumah bordir, untuk membagikan kondom agar mengurangi resiko penyakit
kelamin diantara para PSK.
Somaly tahu masalah yang dihadapi jauh lebih berat dari mencegah dan
mengobati PSK yang sakit. Sebab baginya, anak-anak di dunia pelacuran
adalah korban perdagangan manusia yang keji. Tak jarang anak-anak itu
adalah korban jekahatan orang tua sendiri yang menjual anaknya ke
pelacuran. Untuk lebih besar berperan dan mengajak yang lain berjuaang,
Somaly kemudian mendirikan organisasi bernama ‘Aksi bagi Perempuan Dalam
Kesulitan’. Dengan organisasi inilah di waktu kemudian Somaly banyak
mendapat penghargaan karena berhasil menyelamatkan ribuan anak-anak dari
dunia pelacuran.
Somaly memang punya masa anak-anak yang luar biasa menyedihkan, namun
dirinya tidak mau hidup hanya untuk mengenang masa lalu, Somaly lebih
mau hidup untuk membantu perempuan dan anak-anak yang mengalami
penderitaan serupa dengan masa kecilnya. Seperti pernah dia nyatakan,
“..yang ingin saya katakan adalah saya sangat sedih bila harus
menceritakan kisah saya kembali. Sekarang saya sudah bebas, dan hanya
ingin membantu para korban lain.” Dan dengan organisasinya, Somaly terus
berjuang bagi para korban perdagangan manusia. Ia membangun rumah aman
bagi para gadis yang diselamatkan dari perbudakan seks. Di rumah itu,
mereka mendapat makanan, perawatan kesehatan dan pendidikan atau
pelatihan kerja. Somaly mengatakan, “Di tempat penampungan ini ada
perempuan dari usia lima, enam, tujuh, atau sembilan tahun”.
Organisasinya telah membantu 3000 bekas pekerja seks dan ia tak melihat
kerjanya ini akan berakhir.
Somaly
terus giat pada upaya melawan perdagangan perempuan. Kepada pemerintah
pun dia tegaskan, “Saya ingin pemerintah memperhatikan betul
perusahaan-perusahaan yang membawa anak-anak untuk bekerja di luar
negeri karena beberapa di antaranya menjual anak-anak itu ke rumah
bordil. Kami menampung korban yang dijual ke rumah bordil yang sudah
kembali ke Kamboja. Jadi kita harus hati-hati.” Somaly sadar, tanpa
sikap tegas pemerintah dalam melindungi rakyat dan perempuan, akan sulit
masalah diatasi. Karena masalah perdagangan perempuan ini sangat
terkait dengan masalah-masalah lainnya. Menurut Somaly masalah perdagangan manusia juga terkait erat dengan
masalah korupsi. Dia menganggap penegak hukum dan pejabat pemerintah
menerima suap untuk memfasilitasi perdagangan orang dan perdagangan
seks. Somaly menegaskan “Jika pengadilan masih korup bagaimana bisa
menghukum pelaku? Polisi menyelamatkan para perempuan itu dan menangkap
pelaku. Tapi mereka menyogok pengadilan dan dilepaskan lalu membuka
rumah bordil lain.”
Setiap hari, korban perdagangan orang menghadapi dunia tanpa ada
harapan. Para korban ini memikul beban berat yang lebih buruk dari yang
bisa kita bayangkan, tambahnya. “Pertama saya ingin mengatakan, saya sudah berkali-kali membawa
korban perkosaan ke pengadilan, tapi para pelaku kekerasan ini
memberikan uang ke pengadilan lalu mereka bebas. Di luar, mereka kembali
melakukan hubungan seks dengan anak-anak. Yang kedua, seperti
kebanyakan warga Kamboja, anak-anak itu tak tahu apa artinya korban.
Mereka bilang ini salah mereka, padahal bukan. Siapa yang ingin menjual
tubuhnya? Anak-anak usia empat lima tahun? Tidak, sikap mental ini
sangat buruk.
Bagi Somaly, masalah perdagangan orang tak hanya masalah Kamboja
tapi masalah dunia. 3000 perempuan, yang telah diselamatkan Somaly,
sekarang punya hidup yang lebih baik. Semua itu belum cukup, sebab
perdagangan perempuan juga terus berlangsung dan sindikat-sindikat yang
lebih terorganisir. Somaly tahu tantangannya, bukan menyerah, tapi malah
makin giat melawan perdagangan perempuan.
Bukan tanpa hambatan, perjuangan Somaly penuh resiko. Somaly terus
berjuang, tapi sadar apa yang dilakukannya membuat punya banyak musuh
dan ia kerap diancam akan dibunuh. Bukan hanya ancaman, lebih berat bagi
Somaly ketika putrinya yang berusia 14 tahun pernah diculik, diperkosa,
dan dijual ke rumah bordil beberapa tahun lalu. Menjadi pukulan berat
bagi Somaly, tapi membuatnya makin bertekad melawan perdagangan manusia,
sebab ada banyak anak perempuan yang jadi korban penculikan dan
perdagangan. Kini anak Somaly telah diselamatkan, dan bertekad sama
dengan ibunya, ikut berjuang memerangi perdagangan manusia.
Perdagangan orang adalah kejahatan teroganisir kedua terbesar
di dunia. Ini bahkan lebih besar ketimbang perdagangan obat-obatan
terlarang. Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengungkapkan bisnis
ini menghasilkan hampir 10 milyar dolar atau sekitar 117 triliyun rupiah
pertahun. Ya, tak mungkin hanya Somaly Mam, tak cukup hanya satu
negeri, untuk menghentikan perdagangan perempuan. Semua perempuan di
dunia sangat mungkin jadi korban perdagangan perempuan. Sudah semestinya
semua berjuang untuk menghentikan perdagangan perempuan.
Bunda Teresa; Berbuat Baik untuk Kaum Miskin
Di awal kepergiannya ke Biara Loreto di Rathfarnha, Irlandia, untuk
belajar bahasa Inggris, bahasa yang dipakai untuk mengajar siswa di
India. Ia baru tiba di India pada tahun 1929, dan mulai menjalani masa
latihan di Darjeeling, dekat pegunungan Himalaya, tempat ia belajar bahasa Bengali
dan mengajar di Sekolah St. Teresa, sebuah sekolah yang dekat dengan
biaranya. Sumpah sebagai biarawati ia ucapkan pada 24 Mei 1931. Kala
itu ia memilih nama Thérèse de Lisieux,
namun karena sudah ada yang memilih nama tersebut, Agnes kemudian
memilih nama Teresa. Baru pada 14 Mei 1937, ia mengambil sumpah sucinya,
saat sedang menjalani pelayanan sebagai guru di sebuha sekolah biara
Loreto di Entallu, sebelah timur Kalkuta. Teresa bertugas di sana hampir
20 tahun dan pada tahun 1944 baru ia diangkat sebagai kepala sekolah.
Awalnya, Teresa senang menjalani tugasnya sebagai kepala sekolah, namun
kemiskinan di sekitarnya membuat ia terganggu dan terusik. Kelaparan di
Benggala pada tahun 1943 membawa derita dan kematian ke kota – kota
lain. Belum lagi ditambah dengan pertikaian disertai kekerasan antara
umat Hindu dan Islam pada Agustus 1946 yang membawa banyak korban.
Pada tanggal 10 September 1946, Teresa merasa terpanggil kala ia bepergian dengan kereta api menuju Biara Loreto di Darjeeling dari Kalkuta untuk menjalani retret tahunan. “Saya meninggalkan biara dan membantu orang miskin sewaktu tinggal bersama mereka. Ini adalah sebuah perintah. Kegagalan akan mematahkan iman.
Pekerjaan misionarisnya bersama orang miskin pada 1948 meninggalkan jubah tradisional Loreto dengan sari katun sederhana berwarna putih berhiaskan pinggiran biru. Pilihan tersebut diambil karena Bunda Teresa mengadopsi kewarganegaraan India, menghabiskan beberapa bulan di Patna untuk menerima pelatihan dasar medis di Rumah Sakit Keluarga Kudus dan memberanikan diri mengunjungi daerah perkumuhan. Kegiatannya diawali di sebuah sekolah Motijhil (Kalkuta); dan segera membantu orang miskin dan kelaparan. Di awal 1949, ia bergabung dalam upayanya dengan sekelompok perempuan mudah dan meletakkan basis terbentuknya sebuah komunitas religius baru guna membantu orang-orang termiskin di antara kaum miskin.
Dalam buku hariannya, di tahun pertama ia penuh kesukaran. Tak ada penghasilan sama sekali dan harus menggalang bantuan makanan dan persediaan. Di awal, ia merasa ragu, dan kesepian dan gogaan untuk kembali pada kenyamanan sebelumnya.
“Tuhan ingin saya masuk dalam kemelaratan. Hari ini saya mendapat pelajaran yang baik. Kemelaratan para orang miskin pastilah sangat keras. Ketika saya mencari tempat tinggal, saya berjalan dan terus berjalan sampai lengan dan kaki saya sakit. Saya bayangkan bagaimana mereka sakit jiwa dan raga, mencari tempat tinggal, makanan dan kesehatan. Kemudian kenikmatan Loreto datang pada saya. ‘Kamu hanya perlu mengatakan dan semuanya akan menjadi milikmu lagi,’ kata sang penggoda… Sebuah pilihan bebas, Tuhanku, cintaku untukmu, aku ingin tetap bertahan dan melakukan segala keinginan-Mu merupakan kehormatan bagiku. Aku tidak akan membiarkan satu tetes air mata jatuh karenanya.”
Izin dari Vatikan akhirnya turun juga pada 7 Oktober 1950 untuk memulai kongregasi keuskupan, yang kemudian menjadi Misionaris Cinta Kasih. Misinya hanya untuk merawat “Yang lapar, telanjang, tunawisma, orang cacat, orang buta, penderita kusta, semua orang yang tak diinginkan tidak dicintai, tidak diperhatikan seluruh masyarakat, orang yang telah menjadi beban bagi masyarakat dan dihindari oleh semua orang.”
Setelah ijin kongregasi ini keluar, mulai mendapatkan 13 orang anggota di Kalkuta. Kini, lebih dari 4 riub suster menjalankan panti asuhan, rumah bagi penderita AIDS dan pusat amal di seluruh dunia, dan merawat para pengungsi, pecandu alkohol, orang buta, difabel, tua, orang miskin, dan tunawisma, korban banjir dan wabah kelaparan.
Pada tahun 1953, Bunda Teresa membuka Rumah bagi kaum sekarat untuk pertama kalinya di sebuah lahan di Kalkuta. Ia bahkan mengubah kuil Hindu yang sudah ditinggalkan menjadi Rumah bagi kaum sekarat, sebuah rumah sakit gratis bagi kaum miskin. Mereka yang dibawa ke Rumah tersebut berhak menerima perhatian medis dan berhak meninggal dalam ketenangan sesuai keyakinan mereka baik Islam, Hindu maupun Kristen atau Khatolik atau kepercayaan lainnya. “Sebuah kematian yang indah,” katanya, “adalah untuk orang-orang yang hidup seperti binatang, mati seperti malaikat – dicintai dan diinginkan.”[32]
Bagi yang sakit Hansen atau kusta, Bunda Teresa menyediakan tempat tinggal khusus yang kemudian disebut sebagai Shanti Nagar (Kota Kedamaian). Para misionaris Cinta Kasih juga mendirikan obat-obatan, perban dan makanan. Tak hanya menyediakan tempat tinggal khusus untuk penderita kusta, namun juga membuat rumah bagi anak-anak hilang. Pada tahun 1955, ia membuka Nirmala Shisu Bhavan, sebagai perlindungan bagi yatim piatu dan remaja tunawisma.
Pada tahun 1960an, ordo ini membuka banyak penampungan, panti asuhan dan rumah lepra di hampir penjuru India. Bunda Teresa bahkan memperluas ordonya di seluruh dunia. Rumah pertama di luar India dibuka di Venezuela pada tahun 1965 dengan hanya 5 biarawati. Selanjutnya di Roma, Tanzania, dan Austria pada tahun 1968, dan selama tahun 1970, ordo ini mendirikan rumah, dan yayasan di puluhan negara baik di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Serikat. Pada tahun 2007, Misionaris Cinta Kasih sudah berjumlah 450 bruder dan 5 ribu biarawati di seluruh dunia dengan sudah menjalankan 600 misi, sekolah dan tempat penampungan di 120 negara.
Pada tahun 1982, ketika pengepunan di Beirut mencapai puncaknya, Bunda Teresa menyelamatkan 37 anak yang terjebak di garis depan sebuah Rumah Sakit. Bunda Teresa menyelamatkan 37 anak itu dengan menengahi sebuah gencatan senjata sementara antara tentara Israel dan gerilyawan Palestina. Bersama dengan tim Palang Merah, ia melakukan perjalanan ke Rumah Sakit yang hancur melalui zona perang guna mengevakuasi para korban berusia muda.
Kala Eropa Timur makin terbuka di akhir 1980an, ia memperluas usahanya di negeri-negeri tersebut untuk mendirikan Misionaris Cinta Kasih. Kerap kali ia bepergian membantu dan melayani penderita kelaparan di Ethiopia, korban radiasi di Chernobyl, dan korban gempa di Armenia. Pada tahun 1991, Bunda Teresa kembali untuk pertama kainya ke tanah airnya dan membuka rumah Misionaris Cinta Kasih Bruder di Tirana, Albania.
Di tahun 1996, ia telah berhasil menjalankan 517 misi di lebih dari 100 negara. Selama bertahun-tahun, ia mengembangkan Misionaris Cinta Kasih guna melayani “Termiskin dari yang miskin” di 450 pusat di seluruh dunia. Rumah Misionaris Cinta Kasih pertama yang ada di Amerika Serikat didiriikan di South Bronx,, New York. Di tahun 1984, ordo ini menjalankan 19 organisasi di seluruh negara.
Hingga ajalnya,Bunda Teresa menebar kebaikan. Ia menderita serangan jantung pada tahun 1983 ketika di Roma, kala mengunjungi Paus Yohanes Paulus II. Serangan jantung ke dua pada tahun 1989 ia harus dipasang alat pacu jantung buatan. Pada tahun 1991, setelah berjuang melawan pneumonia saat di Meksiko, ia menderita masalah jantung lebih lanjut. Di saat penyakitnya makin parah itulah, ia mengundurkan diri dari posisinya sebagai kepala Misionaris Cinta Kasih, namun para biarawati ordo tetap bersikukuh memilihnya sebagai kepala ordo.
Pada bulan April 1996, Bunda Teresa jatuh yang berakibat pada patahnya tulang selangkangannya. Pada bulan Agustus ia menderita maaria dan gagal jantung di ventrikel kiri. Ia menjalani operasi jantung namun kesehatannya tetap menurun sehingga ia harus dirawat di Rumah Sakit di California. Karena semakin parah pada 13 Maret 1997, Bunda Teresa turun dari posisinya sebagai kepala ordo Misionaris Cinta Kasih. Akhirnya ia meninggal pada 5 September 1997.
Pada saat kematiannya, Misionaris Cinta Kasih telah memiliki lebih dari 4 ribu biarawati dan persaudaraan dengan 300 anggota yang menjalankan 610 misi di 123 negara. Ini termasuk penampungan dan rumah bagi penderita HIV/AIDS, kusta dan TBC, dapur umum, program konseling anak dan kelurga, pembantu pribadi, panti asuhan, dan sekolah. Misionaris Cinta Kasih juga dibantu oleh wakil pekerja yang berjumlah lebih dari 1 jta pada tahun 1990an.
Bunda Teresa dibaringkan di Gereja St. Thomas, Kolkata selama 1 minggu sebelum dimakamkan pada September 1997. Pemakamannya merupakan pemakaman kenegaraan oleh pemerintah India dalam rasa syukur atas jasanya kepada kaum miskin dari semua agama di India. Kematiannya membuat umat dunia berduka. Mantan Sekretaris Jenderal PBB, Javier Perez de Cuellar mengatakan: “Ia adalah Pemersatu Bangsa. Ia adalah perdamaian di dunia ini”.[49]
Pada tanggal 10 September 1946, Teresa merasa terpanggil kala ia bepergian dengan kereta api menuju Biara Loreto di Darjeeling dari Kalkuta untuk menjalani retret tahunan. “Saya meninggalkan biara dan membantu orang miskin sewaktu tinggal bersama mereka. Ini adalah sebuah perintah. Kegagalan akan mematahkan iman.
Pekerjaan misionarisnya bersama orang miskin pada 1948 meninggalkan jubah tradisional Loreto dengan sari katun sederhana berwarna putih berhiaskan pinggiran biru. Pilihan tersebut diambil karena Bunda Teresa mengadopsi kewarganegaraan India, menghabiskan beberapa bulan di Patna untuk menerima pelatihan dasar medis di Rumah Sakit Keluarga Kudus dan memberanikan diri mengunjungi daerah perkumuhan. Kegiatannya diawali di sebuah sekolah Motijhil (Kalkuta); dan segera membantu orang miskin dan kelaparan. Di awal 1949, ia bergabung dalam upayanya dengan sekelompok perempuan mudah dan meletakkan basis terbentuknya sebuah komunitas religius baru guna membantu orang-orang termiskin di antara kaum miskin.
Dalam buku hariannya, di tahun pertama ia penuh kesukaran. Tak ada penghasilan sama sekali dan harus menggalang bantuan makanan dan persediaan. Di awal, ia merasa ragu, dan kesepian dan gogaan untuk kembali pada kenyamanan sebelumnya.
“Tuhan ingin saya masuk dalam kemelaratan. Hari ini saya mendapat pelajaran yang baik. Kemelaratan para orang miskin pastilah sangat keras. Ketika saya mencari tempat tinggal, saya berjalan dan terus berjalan sampai lengan dan kaki saya sakit. Saya bayangkan bagaimana mereka sakit jiwa dan raga, mencari tempat tinggal, makanan dan kesehatan. Kemudian kenikmatan Loreto datang pada saya. ‘Kamu hanya perlu mengatakan dan semuanya akan menjadi milikmu lagi,’ kata sang penggoda… Sebuah pilihan bebas, Tuhanku, cintaku untukmu, aku ingin tetap bertahan dan melakukan segala keinginan-Mu merupakan kehormatan bagiku. Aku tidak akan membiarkan satu tetes air mata jatuh karenanya.”
Izin dari Vatikan akhirnya turun juga pada 7 Oktober 1950 untuk memulai kongregasi keuskupan, yang kemudian menjadi Misionaris Cinta Kasih. Misinya hanya untuk merawat “Yang lapar, telanjang, tunawisma, orang cacat, orang buta, penderita kusta, semua orang yang tak diinginkan tidak dicintai, tidak diperhatikan seluruh masyarakat, orang yang telah menjadi beban bagi masyarakat dan dihindari oleh semua orang.”
Setelah ijin kongregasi ini keluar, mulai mendapatkan 13 orang anggota di Kalkuta. Kini, lebih dari 4 riub suster menjalankan panti asuhan, rumah bagi penderita AIDS dan pusat amal di seluruh dunia, dan merawat para pengungsi, pecandu alkohol, orang buta, difabel, tua, orang miskin, dan tunawisma, korban banjir dan wabah kelaparan.
Pada tahun 1953, Bunda Teresa membuka Rumah bagi kaum sekarat untuk pertama kalinya di sebuah lahan di Kalkuta. Ia bahkan mengubah kuil Hindu yang sudah ditinggalkan menjadi Rumah bagi kaum sekarat, sebuah rumah sakit gratis bagi kaum miskin. Mereka yang dibawa ke Rumah tersebut berhak menerima perhatian medis dan berhak meninggal dalam ketenangan sesuai keyakinan mereka baik Islam, Hindu maupun Kristen atau Khatolik atau kepercayaan lainnya. “Sebuah kematian yang indah,” katanya, “adalah untuk orang-orang yang hidup seperti binatang, mati seperti malaikat – dicintai dan diinginkan.”[32]
Bagi yang sakit Hansen atau kusta, Bunda Teresa menyediakan tempat tinggal khusus yang kemudian disebut sebagai Shanti Nagar (Kota Kedamaian). Para misionaris Cinta Kasih juga mendirikan obat-obatan, perban dan makanan. Tak hanya menyediakan tempat tinggal khusus untuk penderita kusta, namun juga membuat rumah bagi anak-anak hilang. Pada tahun 1955, ia membuka Nirmala Shisu Bhavan, sebagai perlindungan bagi yatim piatu dan remaja tunawisma.
Pada tahun 1960an, ordo ini membuka banyak penampungan, panti asuhan dan rumah lepra di hampir penjuru India. Bunda Teresa bahkan memperluas ordonya di seluruh dunia. Rumah pertama di luar India dibuka di Venezuela pada tahun 1965 dengan hanya 5 biarawati. Selanjutnya di Roma, Tanzania, dan Austria pada tahun 1968, dan selama tahun 1970, ordo ini mendirikan rumah, dan yayasan di puluhan negara baik di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Serikat. Pada tahun 2007, Misionaris Cinta Kasih sudah berjumlah 450 bruder dan 5 ribu biarawati di seluruh dunia dengan sudah menjalankan 600 misi, sekolah dan tempat penampungan di 120 negara.
Pada tahun 1982, ketika pengepunan di Beirut mencapai puncaknya, Bunda Teresa menyelamatkan 37 anak yang terjebak di garis depan sebuah Rumah Sakit. Bunda Teresa menyelamatkan 37 anak itu dengan menengahi sebuah gencatan senjata sementara antara tentara Israel dan gerilyawan Palestina. Bersama dengan tim Palang Merah, ia melakukan perjalanan ke Rumah Sakit yang hancur melalui zona perang guna mengevakuasi para korban berusia muda.
Kala Eropa Timur makin terbuka di akhir 1980an, ia memperluas usahanya di negeri-negeri tersebut untuk mendirikan Misionaris Cinta Kasih. Kerap kali ia bepergian membantu dan melayani penderita kelaparan di Ethiopia, korban radiasi di Chernobyl, dan korban gempa di Armenia. Pada tahun 1991, Bunda Teresa kembali untuk pertama kainya ke tanah airnya dan membuka rumah Misionaris Cinta Kasih Bruder di Tirana, Albania.
Di tahun 1996, ia telah berhasil menjalankan 517 misi di lebih dari 100 negara. Selama bertahun-tahun, ia mengembangkan Misionaris Cinta Kasih guna melayani “Termiskin dari yang miskin” di 450 pusat di seluruh dunia. Rumah Misionaris Cinta Kasih pertama yang ada di Amerika Serikat didiriikan di South Bronx,, New York. Di tahun 1984, ordo ini menjalankan 19 organisasi di seluruh negara.
Hingga ajalnya,Bunda Teresa menebar kebaikan. Ia menderita serangan jantung pada tahun 1983 ketika di Roma, kala mengunjungi Paus Yohanes Paulus II. Serangan jantung ke dua pada tahun 1989 ia harus dipasang alat pacu jantung buatan. Pada tahun 1991, setelah berjuang melawan pneumonia saat di Meksiko, ia menderita masalah jantung lebih lanjut. Di saat penyakitnya makin parah itulah, ia mengundurkan diri dari posisinya sebagai kepala Misionaris Cinta Kasih, namun para biarawati ordo tetap bersikukuh memilihnya sebagai kepala ordo.
Pada bulan April 1996, Bunda Teresa jatuh yang berakibat pada patahnya tulang selangkangannya. Pada bulan Agustus ia menderita maaria dan gagal jantung di ventrikel kiri. Ia menjalani operasi jantung namun kesehatannya tetap menurun sehingga ia harus dirawat di Rumah Sakit di California. Karena semakin parah pada 13 Maret 1997, Bunda Teresa turun dari posisinya sebagai kepala ordo Misionaris Cinta Kasih. Akhirnya ia meninggal pada 5 September 1997.
Pada saat kematiannya, Misionaris Cinta Kasih telah memiliki lebih dari 4 ribu biarawati dan persaudaraan dengan 300 anggota yang menjalankan 610 misi di 123 negara. Ini termasuk penampungan dan rumah bagi penderita HIV/AIDS, kusta dan TBC, dapur umum, program konseling anak dan kelurga, pembantu pribadi, panti asuhan, dan sekolah. Misionaris Cinta Kasih juga dibantu oleh wakil pekerja yang berjumlah lebih dari 1 jta pada tahun 1990an.
Bunda Teresa dibaringkan di Gereja St. Thomas, Kolkata selama 1 minggu sebelum dimakamkan pada September 1997. Pemakamannya merupakan pemakaman kenegaraan oleh pemerintah India dalam rasa syukur atas jasanya kepada kaum miskin dari semua agama di India. Kematiannya membuat umat dunia berduka. Mantan Sekretaris Jenderal PBB, Javier Perez de Cuellar mengatakan: “Ia adalah Pemersatu Bangsa. Ia adalah perdamaian di dunia ini”.[49]
Sujatin, Penggagas Kongres Perempuan Indonesia
Hari Ibu, jatuh pada 22 Desember. Ia bukan hari biasa, ia adalah hari
bersejarah dimana seribu perempuan berkumpul di Jogjakarta untuk
membicarakan gagasan kemerdekaan perempuan dan bangsa. Hari ibu adalah
hari kebangkitan perempuan Indonesia. Ia adalah hari istimewa tempat
berkumpulnya perempuan-perempuan berani dan cerdas yang ingin
kemerdekaan dan kesetaraan perempuan serta bangsanya.
Memperjuangkan hak – hak perempuan sudah menjadi makanan sehari-hari
gadis ini sejak dari belia. Ia dikenal dengan nama Sujatin Kartowijono.
Gagasannya tentang pembebasan perempuan diperolehnya dari membaca sebuah
buku. Buku itu berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Sebuah
buku yang memuat tulisan-tulisan Kartini. Tulisan Kartini
menggerakkannya untuk turut serta mendirikan sebuah organisasi perempuan
yang bernama PERWARI (PERSATUAN WANITA REPUBLIK INDONESIA) Sujatin
aktif di organisasi hingga usia senja.
Kala itu, usia Sujatin masih belia, yaitu 15 tahun, saat ia bergabung
dengan Jong Java, sebuah organisasi pemuda jawa yang berdiri pada tahun
1922. Pada tahun itu, Sujatin masih bersekolah di MULO atau sekolah
menengah pertama di era Belanda. ”Lima belas tahun, aku mulai aktif di
kegiatan luar sekolah, meniru Ayah yang gemar berorganisasi,” katanya.
Sujatin memilih berorganisasi secara sadar dan pilihannya itupun
mewarnai sepanjang perjalanan hidupnya. Ia tak hanya berjuang untuk
kemerdekaan perempuan, namun juga kemerdekaan bangsanya. Karena
keaktifannya membela hak-hak perempuan, Sujatin pun dipilih memimpin
majalah terbitan Jong java, dengan nama penaa Bunga Gerbera. Kerap kali
ia menulis tentang pentingnya pendidikan dalam mengubah nasib bangsa
jajahan.
Tak heran bila Sujatin kerap menulis soal pendidikan, karena
pendidikan adalah dunianya. Sujatin sendiri setelah lulus dari MULO dan
sekolah guru. Ia memilih mengajar di sebuah sekolah swasta karena ia
tidak mau bekerja untuk pemerintah Belanda (kala itu Gubernemen). Sang
ayah, Joyojadirono, adalah sosok penting yang banyak memberi inspirasi
bagi Sujatin untuk memilih jalan hidupnya sendiri untuk berorganisasi.
Hubungan ayah dan anak ini terbilang istimewa. Karena mengharap hadirnya
bayi lelaki, sang ayah hanya menatap bayi mungilnya dengan dingin.
Kasihan bayi mungil yang lahir pada 7 Mei 1907, di Desa Kalimenur, wates
Yogyakarta itu. Namun, kecerdasan dan kepandaian Sujatin merebut kasih
sayang sang ayah. Iapun menjadi anak kesayangan dari Pak Joyo.
Saking sayangnya dengan Sujatin, Pak Joyo memberikan ranjang khusus
di kamarnya. Pak Joyo adalah seorang Kepala Stasiun Kereta Sumpiuh yang
percaya putrinya itu sanggup menuliskan saran perbaikan kepada Pusat
Jawatan Kereta Api.
Dan berkat posisi sang ayah, Sujatin bisa bersekolah di sekolah dasar
Hollands Indlandsche School (HIS). Setelah sudah bisa baca tulis,
Sujatin sangat hobi baca. Bahkan sering ia memanjat pohon setinggi
mungkin, lalu membaca atau mendekam di kolong tempat tidur hanya untuk
membaca dengan menggunakan penerangan lampu minyak. Ia sangat gemar
membaca karya-karya dongeng Hans Christian Andersen, kisah petualangan
Karl May dan kumpulan surat Kartini. Tulisan Kartini merubah jalan
pemikiran Sujatin sedemikian hebat. ”Aneh, aku seolah melihat potret
diri sendiri,” katanya.
Kartini dengan tulisannya telah sanggup memberi inspirasi bagi
Sujatin, keteguhannya untuk memperjuangkan hak perempuan semakin hebat.
Ia pun bertekad bulat bahwa kaumnya harus setara dengan kaum lelaki.
Bagi sujatin jalan pertama untuk merubah nasib perempuan Indonesia
dalah dengan melepaskan diri dari penjajahan Belanda. Dengan bergabung
ke Jong Java, Sujatin menebarkan gagasan persatuan yang bukan perkara
mudah di masa itu. Mereka yang sudah dalam posisi nyaman karena sanggup
mengenyam pendidikan Belanda, takut tergeser dari posisinya bila
menentang penjajah.
Namun, Sujatin tidak gentar. Ia terus gigih memperjuangkan persatuan
rakyat. Di luar jam mengajar, ia sangat rajin berkunjung ke
sekolah-sekolah lain untuk meyakinkan gagasannya. Ia mengajak para siswa
untuk bergabung dalam perhimpunannya. Ia tak gentar berhadapan dengan
direktur sekolah yang tentu saja adalah orang Belanda. Upaya Sujatin
pada akhirnya mendatangkan simpati atas dirinya dan akibatnya anggota
perhimpunan pun bertambah.
Saat Kongres Pemuda Pertama berlangsung di Jakarta pada 1926, yang
dihadiri oleh Jong Java, Sujatin baru saja lulus dari Sekolah Guru.
Bersamaan dengan itu, ia bersama beberapa rekannya mendirikan organsiasi
perempuan bernama Poetri Indonesia, yaitu sebuah organisasi khusus guru
perempuan. Dua tahun kemudian, ia menggagas berlangsungnya Kongres
Perempuan Indonesia pada 22 Desember 1928 yang kemudian dijadikan
sebagai HARI IBU. Hari dimana seluruh perempuan berkumpul membahas
kemerdekaan bangsa dan perempuan. “Orang perempuan saja kok mengadakan kongres, yang hendak dirembug itu apa” celetuk salah satu orang ketika kongres perempuan hendak dilangsungkan.
Komentar sinis demikian bukan hal baru bagi Sujatin atau perempuan
lainnya, dan tak bisa mencegah mereka untuk terus melanjutkan cintanya.
Kongres itu berlangsung dengan sukses. Sujatin yang hadir dalam kongres
tersebut, mewakili Putri Indonesia dimana ia juga menjadi ketua
pelaksana kongres. Dalam kongres ini terdapat 3 poin penting yang
dirumuskan, yaitu Membangkitkan rasa nasionalisme, Menyatukan gerakan
perkumpulan perempuan dan membentuk Perserikatan Perkumpulan perempuan
Indonesia. Dalam sebuah biografinya, Sujatin berujar, ide pertemuan ini
telah mendapatkan persetujuan dari suami istri Ki dan Nyi Hajar
Dewantoro, Dr. Soekiman, Nyonya Soekonto dari kelompok Wanito Tomo.
Semangat menyatukan organisasi pemuda dan gagasan politik satu
Indonesia sangat memikat hati Sujatin. Walah tak bisa hadir di Kongres
Pemuda II di Jakarta dua tahun kemudian, ia tetap terpikat dengan
butir-butir sumpah pemuda yang diketahuinya melalui surat menyurat. Dari
situlah Sujatin bertekad membuat pertemuan serupa, yakni Kongres
Perempuan Indonesia.
Kongres Perempuan Indonesia, bukan tanpa ancaman dari pihak aparat
kepolisian Belanda. Untuk menghindarai mara bahaya, Sujatin beserta
rekan-rekan perempuan lainnya mengakali polisi agar tidak mengendus
pertempuan berbau politik, yakni dengan mengutarakan bahwa Kongres
Perempuan Indonesia adalah pertemuan non politis. Kepada Pemerintah
Belanda, Sujatin menyampaikan bahwa Kongres ini hanya membahas posisi
perempuan dalam perkawinan dan pendidikan. Hanya saja, sesuai dengan
semangat Sumpah Pemuda, kongres ini menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa pengantar. Seusai pembacaan keputusan, kongres pun ditutup
dengan agenda utama pengibaran Merah Putih yang diiringi dengan lagu
Indonesia Raya.
Kongres Perempuan Indonesia tidak hanya berlangsung sekali. Kaum
perempuan ini kembali berkumpul setahun kemudian. Kali ini tempat
pertemuan bukan lagi di Jogjakarta, namun di Gedung Thamrin, jakarta.
Acara ini bertepatan dengan masa berduka karena Soekarno dibuang. Namun,
penangkapan Soekarno justru mengobarkan semangat kaum perempuan yang
sedang berkongres ini. Teriakan “Merdeka Sekarang” menggema di seluruh
ruangan. Akibat teriakan tersebut, hampir saja polisi membubarkan acara,
namun dengan sigap Sujatin mengambil alih pimpinan dan menutup sidang.
Sujatin memilih berada di bagian terdepan perjuangan hak perempuan. dalam bukunya, Perkembangan Gerakan Wanita Indonesia, terbitan
Yayasan Idayu pada tahun 1977, Sujatin menyampaikan, sejak Kongres
Perempuan Indonesia, banyak organisasi perempuan mencurahkan perhatian
pada masalah perkawinan. Sujatin sendiri berperan dalam pembentukan P4A
yakni Perkumpulan Pembasmian Perdagangan Perempuan dan Anak-anak pada
1930.
Kongres Perempuan selanjutnya tak bisa lepas dari isu politik. Pada
tahun 1935, ketika berlangsung Kongres Perempuan lagi, salah satu
rekomendasinya adalah ”Perempuan Indonesia berkewajiban berusaha supaya
generasi baru sadar akan kewajiban kebangsaan.” Pada 1941, rekomendasi
politiknya lebih tegas lagi: menyetujui aksi Gabungan Politik Indonesia
yang mengajukan ”Indonesia Berparlemen” demi memperjuangkan Indonesia
merdeka.
Saat Jepang berkuasa menggantikan Belanda, Sujatin mengerahkan
seluruh tenaga dan pikirannya untuk mengajar selain mengurus keluarga.
Dari pernikahannya dengan Poediarso Kartowijono, pada 1932 ia memiliki 3
anak lelaki dan 3 anak perempuan. Sesekali, Sujatin belajar bahasa
Jepang karena diminta oleh pemerintah supaya menjadi penerjemah pejabat
Jepang ketika berkunjung ke beberapa daerah.
Bagi Sujatin, sosok Poediarso, suaminya adalah lelaki yang mengerti
akan perjuangannya. Sebelum menikah, Sujatin dua kali gagal melanjutkan
pertunangannya ke jenjang pernikahan karena kedua tunangannya tersebut
tak kuasa dengan tekad Sujatin mengutamakan perjuangan sehingga selalu
sibuk dengan aktifitasnya. Pernah suatu kali, kekasihnya itu menyusulnya
ke Kongres dan meminta Sujatin untuk tidak hadir di Kongres Perempuan.
Namun, Sujatin menolak permintaan sang kekasih dan menjawab ”Aku tak ada
pilihan lain, aku tak bisa mengecewakan peserta kongres,”
Keputusan Sujatin meninggalkan tunangan-tunangannya kala itu
membuatnya dijuluki sebagai “tukang bikin patah hati lelaki”. Padahal
kedua tunangannya itu masing-masing bermasa depan cerah, yakni calon
sarjana hukum dari jakarta dan calon sarjana tekhnik dari Bandung.
Namun, sosok Poediarso berbeda. Ia bukan sarjana, bukan pula orang
dengan pendapatan pasti karena tak mau diupah Belanda. Ia juga adalah
murid kursus politik Soekarno. Namun, Poediarso memahami kesibukan
Sujatin dan akhirnya merekapun menikah dengan 6 anak, 3 lelaki dan 3
perempuan.
Dengan Poediarso, Sujatin jarang sekali bertengkar dan dikenal hidup
rukun. ”Saya selalu memperhatikan rumah tangga di tengah kesibukan
organisasi, maka rumah tangga saya kekal,” ujar Sujatin. Setelah kemerdekaan Indonesia, Sujatin terus aktid berorganisasi. Ia
turut mendirikan Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) dan
terpilih sebagai Ketua Badan Federasi Kongres Wanita Indonesia. Selain
itu, ia menjabat Kepala Urusan Wanita pada Jawatan Pendidikan Masyarakat
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ia juga dikenal rajin keliling
daerah, termasuk ke hulu Barito di Kalimantan Selatan. Selain itu, Ia
juga kerap melakukan perjalanan ke luar negeri.
Pada tahun 1960, Sujatin melepas semua jabatannya di organisasi namun
tetap aktif menjadi penasehat PERWARI dan tetap kritis. Saat Soekarno
melakukan poligami, ia mundur dari jabatan di kementerian. Ia getol
mengkritik pilihan Soekarno untuk berpoligami. Di usia senja, setelah 41 tahun menderita penyakit diabetes, pada 1
Desember 1983, Sujatin akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Pidato Pembukaan Kongres Perempuan Ini dibacakan oleh Ketua Kongres, R.A, Soekonto “Sebelum membuka kongres ini kami hendak menerangkan dengan ringkas tujuan kongres ini.
Mula-mula, di Perkumpulan Wanita Utomo, ada usul dari berbagai
perkumpulan yang mengajak kerja sama. Akan tetapi, karena banyak
kesibukan usulan itu tidak dapat terlaksana. Selanjutnya, suatu saat ada
pertanyaand ari perkumpulan pergerakan kaum perempuan, apakah
perkumpulan kita dapat mengirim utusan ke Honolulu, yaitu Kongres
Pasifik. Hal itu tidak dapat dilakukan karena berbagai alasan.
Akhirnya kami bertiga, yaitu Nyi Ajar Dewantoro, Sujatin, dan saya
sendiri berpikir kalau begitu kaum perempuan Indonesia masih kurang
pintar dan ketinggalan dalam hal apapun. Kami merasa bahwa kaum
perempuan Indonesia sangat tertinggal dibanding kaum perempuan di negara
dan bangsa lain. Betul bahwa di Indonesia sudah banyak perkumpulan perempuan, tetapi
bagaimana kita dapat membicarakan nasib kaum perempuan jika perkumpulan
perkumpulan itu tidak pernah berhubungan. Oleh karena itu kami bertiga
mencari upaya supaya kita dapat berkumpul. Kami bertiga berpikir untuk
menyelenggarakan kongres. Akan tetapi sudah tentu kongres tidak akan
ebrjalan kalau diselenggarakan oleh kami bertiga saja. Oleh karena itu
kami bertiga waktu itu dibantu oleh saudara sunaryati sebaga juru tulis.
Kami berempat memohon kedatangan kaum putri di Yogya, baik dari anggota
perkumpulan maupun bukan.
Setelah menjelaskan maksud kami, kaum putri yang tersebut di atas
etuju akan menyelenggarakan kongres ini dan tuan putri dengan suka rela
membantu. Oleh karena itu, dalam satu minggu telah berdiri komite
kongres ini dan kongres ini dberi nama “Kongres Perempuan Indonesia”.
Tuan putri dari perkumpulan mana saja akan dijelaskan oleh saudara
Sukaptinah.
Selain itu, tidak mengherankan bahwa berdirinya komite kongres ini
mendapat rintangan yang bersifat kritik. Kritik ini keluar dari pihak
kaum kuno (kolot) yang masih cinta pada keadaan yang lama. pendeknya,
yang masih suka dengan adat istiadat zaman yang saya tidak ketahui lagi.
Akan tetapi, kritik semacam itu tidak kami pedulikan sebab sudah
menjadi kebiasaan, hukum alam, jika ada yang berniat baik pastilah ada
yang berusaha menggagalkan niat baik tersebut. Demikian pula yang
terjadi dengan terbentuknya Kongres Perempuan Indonesia. Walaupun sudah
jelas kepentingannya, kaum kolot masih merendahkan kaum perempuan saja.
Kritik mereka, “Kaum perempuan tidak perlu berkongres-kongres,” “Kaum
perempuan di dapur tempatnya”, “Kaum perempuan tidak perlu memikirkan
kehidupan, sebab itu kewajiban kaum laki-laki” Ada lagi yang mengatakan “Kaum perempuan Indonesia belum matang,
belum bisa bermufakat tetnang perkumpulan, demikianlah kata kaum
pengganggu. Akan tetapi, orang yang ingin mencapai tujuannya harus
berani melawan kritik melalui pembicaraan dan dengan sekuat tenaga yaitu
bekerja dengan setulus hati. Dewasa ini telah terlihatlah
kepentingannya pergerakan kaum perempuan. Zaman kaum perempuan dianggap
hanya baik untuk tinggal di dapur saja itu zaman kuno. Zaman sekarang
adalah zaman kemajuan. Oleh karena itu, zaman ini sudah waktunya
mengangkat derajat kaum perempuan agar kita tidak terpaksa duduk di
dapur saja.
Sudah pasti perkataan saya ini tidak bermaksud melepaskanperempuan
Indonesia dari dapur. Kecuali harus menjadi nomor satu di dapur, kita
juga harus turut memikirkan pandangan kaum laki-laki sebab sudah menjadi
keyakinan kita bahwa laki-laki dan perempuan mesti berjalan bersama
–sama dalam kehidupan umum. Artinya, perempuan tidak menjadi laki-laki,
perempuan tetap perempuan, tetapi derajatnya harus sama dengan
laki-laki. Jangan sampai direndahkan seperti jaman dulu.
Demikianlah tujuan kami. Selain itu, masih banyaklah kebutuhan
perempuan Indonesia yang pelru diperbaiki. Oleh karena itu, terlihatlah
betapa pentingnya mengumpulkan perhimpunan perempuan dari seluruh
Indonesia untuk membicarakan kebutuhan yang telah disebut tadi. Kebutuhan ini tidak perlu disebutkan lagi sebab nanti akan
dibicarakan oleh utusan-utusan dari perhimpunan perempuan yang hadir
dalam kongres ini.
Sebagai penutup kami hendak menyampaikan hormat dan terimakasih dari
komite pusat, pertama-tama kepada RT Djojodipoero yang sudah termasyur
kemurahan hatinya terhadap semua perhimpunan kebangsaan kita dan yang
telah menyerdiakan tempat untuk kongres kita; yang kedua kami dan
perkumpulan-perkumpulan yang telah memberikan sumbangan dana maupun
perlatan dan tenaga dan memberi tempat penginapan bagi tamu untuk
keperluan kongres ini. Lain tidak saya berharap dan memohon agar kongres ini akan berjalan lancar dan membawa hasil bagi kita, perempuan Indonesia. Dengan ini kongres perempuan Indonesia yang pertama saya buka.
Sumber tulisan:
Tinjauan ulang Kongres Perempuan Indonesia, Susan Blackburn
Simone De Beauvoir; Perempuan Filsuf Revolusioner
Sosok perempuan itu bernama Simone Beauvoir, dari sebuah kota di Paris ia terlahir. Tepatnya pada tahun 1908, dari sebuah keluarga menengah atas. Ia adalah anak tertua dari dua bersaudara. Adik perempuannya bernama Poupette. Tumbuh besar di kalangan keluarga terdidik, Simone banyak mendapat inspirasi dan pengetahuan moral dari kedua orang tuanya. Ayahnya adalah sosok yang sangat menggemari teater tapi tertekan dengan situasi sosial yang melingkupinya dan menjadi seorang pengacara, dan ibunya adalah seorang khatolik yang fanatik. Simone mengenyam pendidikan di institusi pendidikan privat dan di bawah didikan ibunya. Ia mulai serius menempuh pendidikan, dan penulisan. Saat menginjak usia 21 tahun ia mulai tinggal bersama neneknya, dan mulai belajar filsafat di Sorbonne.
Pada tahun 1929, Simone menyelesaikan sekolahnya di jurusan Filsafat dengan tesis tentang Leibniz. Pada tahun yang sama ia bertemu dengan sekelompok siswa termasuk Paul Nizan, Andre Hermaid, dan Jean Paul Sartre. Kemudian Sartre dan Simone mulai merajut asmara sekaligus sahabat intelektual yang setara. Pasangan ini bahkan secara bersamaan menjadi dua mahasiswa top di kelas mereka. Pengaruh kedua filsuf ini di setiap karyanya sangat luar biasa.
Pada tahun tahun antara 1931 dan 1941, Simone melanjutkan hidupnya tinggal bersama neneknya sambil mengajar di sekolah di Marseille, Rouen dan Paris. Ia menjadi Profesor di Universitas Sorbonne dari tahun 1941 sampai 1943. Karyanya membuat Simone independen secara finansial. Ia mengumpulkan beberapa teman di sekitarnya dan menghabiskan banyak waktu di cafe Paris untuk menulis dan berdiskusi. Ia melanjutkan studinya tentang filsafat Jerman di Berlin untuk sementara waktu, dan menghabiskan sisa waktunya bersama Sartre. Pada tahun 1943 Simone menulis karya fiksinya berjudul She Come to Stay (Ia datang untuk tinggal), yang didasarkan pengalaman pribadinya bersama Sartre. Novel tersebut dipengaruhi oleh filosofi Hegel, Heidegger dan Kojeve yang keduanya dipelajarinya bersama Sartre. Karya ini merupakan ujian terjadap problem pilihan dalam sebuah dunia yang absurd dan relasi seorang individu terkait kesadarannya terhadap “liyan”. Karyanya juga dipandang sebagai hasil dari pengaruh eksistensialisme, meski ia terus menerus menolak label eksistensialis akibat kedekatannya dengan Sartre.
Semenjak pendudukan Nazi di Prancis, Simone terus melanjutkan karyanya tanpa beroposisi dengan Jerman. Pada tahun 1943 ia menyelesaikan 4 buku lebih termasuk Useless Mouth (Mulut yang tidak berguna), All Men are Mortal (Semua manusia adalah fana), Pyrrhus et Cineas, and The Blood of Others. Pyrrhus et Cinéas diterbitan pada tahun 1944, studi lainnya yang meresahkan bagi Simone, yaitu tetnang pilihan individu, dan pentingnya kemauan bebas. Pada tahun 1945 ia menerbitkan The Blood of Others (darah yang lain),sebuah novel yang mengeskplorasi persoalan aktivisme politik dan dilema yang dialami oleh pimpinan revolusi Prancis selama perang. Ulasan buku ini sangat berharga dan laris manis terjual pasca perang Prancis,bergulat dengan isu- isu moral yang ditinggalkan oleh perang. Keberhasilan karya Simone dan Sartre selama perang dunia ke II, menggiring keduanya menjadi sejajar dengan camus, Picasso, dan Bataille. Setelah perang dunia II, Simone dan Sartre mendedit Jurnal kaum kiri berjudul Les Tempes modernes, yang mengambil istilah dari film Charlie Chaplin, berjudul Modern Times (Jaman Modern).
Majalah The monthly review meletakkan pasangan ini sebagai sentral komunitas intelektual yang aktif. Kepentingan Simone dalam politik meningkat setelah Perang Dunia II. Pada tahun 1950an, Simone menjadi sangat kritis terhadap Kapitalisme dan turut berjuang membela pemerintah Komunis China dan Uni Soviet. Pada tahun 1947 ia menghabiskan perjalanan selama 5 bulan di Amerika Serikat, memperkuat keyakinannya. Pada tahun 1948, ia menerbitkan America Day by Day (Amerika dari hari ke hari), sebuah karya kritis terhadap problem sosial, ketidaksetaraan kelas dan rasisme yang ia saksikan selama ia mengunjungi Amerika Serikat. Sementara ia berada di Amerika Serikat, ia bertemu dan jatuh cinta dengan penulis Nelson Algren. Novelnya berjudul The Mandirin yang diterbitkan pada tahun 1954, dihasilkan dari pengalamannya dengan Nelson Algren dan Sartre. Karya ini juga merupakan kronologi gerakan selama pasca Perang Dunia II. Novel ini yang kemudian menerima penghargaan the Prix Goncourt, penghargaan tertinggi di Prancis.
Pada tahun 1947, Simone menerbitkan The Ethics of Ambiguity (ambiguitas etika), karya filosofi paling fanatiknya yang pertama. Ia melakukan perjalanan ke Uni Soviet, Kuba, Jepang, Mesir, Israel, dan Brazil untuk melanjutkan peneilitian politiknya dan pada tahun 1957 ia menerbitkan The Long March. Esai ini mendapat sambutan antusias dari Revolusi China. Ia juga berbicara vokal untuk mendukung perjuangan rakyat Vietnam melawan Prancis.
Pada tahun 1949, ia menerbitkan karya klasiknya berjudul Second Sex (Jenis Kelamin ke dua). Karya ini membangun karakter Simone sebagai seorang filsuf, politisi sekaligus feminis. Karyanya menjadi bagian dalam sejarah penindasan perempuan, menyatakan perempuan sebagai seorang “liyan” seperti yang didefinisikan patriarki dan karya ini menjadi bagian dari karya yang mendorong perempuan menjadi independen. Tidak setiap orang menerima karya Simone, seorang penulis Khatolik, François Mauriac memimpin sebuah kampanye melawan The Second Sex, dan melabelinya sebagai karya pornografi. Seorang kritikus lainnya melabeli Simone sebagai “nymphomaniac,” sementara yang lainnya menyatakan bahwa karyanya tidak memihak. Kemudian dalam hidupnya, simone mendedikasikan hidupnya untuk gerakan feminis dan ia berbicara melawan penindasan kepada ibu yang tidak menikah dan ibu miskin.
Simone kemudian mengabdikan 4 karya tulisannya untuk biografinya. Keempat buku biografinya itu adalah Mémoires Memoirs of a Dutiful Daughter, 1958, The Prime of Life, 1960, Force of Circumstance, 1963 dan All Said and Done, 1972. Beberapa bab dalam buku ini menunjukkan potret kehidupan kaum intelektual Prancis dari tahun 1930an hingga 1970an. Buku oto biografinya yang ke dua The Prime of Life, ia menganalisa relasi antara Aku dan Kami dan menulis tentang otonomi, menjadi sendiri dan juga tentang relasinya dengan Sartre. Gagasannya berganti dari fokusnya tentang kehidupan pribadi ke kehidupan di luar dirinya dan meluas ke topik yang lebih universal di buku otobiografinya yang ke tiga Force of Circumstance (Kekuatan Lingkungan Sekitar). Dalam karyanya ini ia mendikusikan tentang isu di masa itu, termasuk kontroversi dan konlik antara kebebasan manusia dan Perang Prancis/ Algeria. Ia menghabiskan waktu selama 18 tahun untuk menulis buku otobiografinya yang ke tiga dan merupakan buku paling populer dan dramatik.
Kemudian dalam hidupnya, Simone menghabiskan waktu untuk dirinya sendiri ketika sudah mulali menua, yang mana ia menuliskan dalam karyanya A Very Easy Death (Kematian yang mudah) , 1964, yang mana ia menulis peristiwa kematian ibunya di sebuah Rumah Sakit. Pada tahun 1970, ia menulis Old Age (Usia Tua), yang mengkritik perbedaan masyarakat dengan kaum manula. Pada tahun 1981, ia menulis Adieux: A Farewell to Sartre (Sebuah kata perpisahan: Perpisahan dengan Sartre), yang ditujukan kepada Sartre di masa masa terakhirnya. Simone tinggal di samping Sartre hingga Sartre meninggal pada tahun 1980, dan Simone menghabiskan sisa waktu terkahirnya untuk menuliskan hubungannya dengan Sartre. Buku ini mengisahkan bagaimana hubungan keduanya. Setelah Sartre meninggal, Simone mengalami ketergantungan alkohol dan amphetamine dan kesehatannya pun menurun drastis. Sepanjang hidupnya ia terus mengasah kemampuan intelektualnya dan memenuhi kehidupannya dengan keberanian, integritas pada tulisan-tulisannya. Simone De Beauvoir meninggalkan di Paris pada 14 April 1986 dan dimakamkan di pemakaman yang sama dengan Sartre.
Mengisi hidup dengan karya, keberanian dan integritas adalah hidup Simone dan semoga menginspirasi kita semua untuk juga terus berkarya, berani dan berkomitmen pada apa yang kita yakoni dan perjuangkan. Karya Simone akan selalu hidup dalam ruang dan waktu di sepanjang hidup manusia. Ia memberi manfaat dan kebaikan bagi semua orang yang mau mengabdikan hidupnya untuk bermanfaat bagi sesama.
Kepal SPI
Kepal-SPI (Keluarga seni pinggiran anti kapitalisasi - Serikat Pengamen Indonesia). Berawal dari organisasi pengamen progresif yang berkarya dengan tema-tema sosial politik, lalu ada niatan untuk membakukan karya-karya mereka ke dalam bentuk kaset/CD, agar nilai-nilai baik di lagu-lagu mereka tersebar luas dan bisa didengar banyak orang. Maka, di awal tahun 2006, keluarlah album pertama; Turun Ke Jalan. Anak-anak Kepal-SPI memang senang guyon, nyeleneh plus tingkah polah lain yang kerap mengundang tawa, tapi saat bermusik mereka cukup serius. Dari beberapa kali pengamatanku melihat aksi panggung mereka, I Bob si vokalis sangat komunikatif dengan penonton. Tidak hanya (melulu) agitatif seperti banyak dilakukan band-band progresif lain, tapi juga mampu menghilangkan jarak dengan penonton; mengajak bernyanyi bareng, memberi tebakan berhadiah pin/sticker, memperkenalkan album mereka, hingga penonton betah menyaksikan dan bertahan hingga bubar.
Tumbuh dari keluarga seni musik dan nyanyi dari masyarakat yang terpinggirkan dan berdiri pada 17 agustus 2001 di Yogyakarta. Pada mulanya kelompok ini bernama Serikat Pengamen Indonesia (SPI) yang lahir tgl 30 September 1994 dan itu menjadi wadah pengamen se-Indonesia sehingga dalam perjalanannya dan berkembang tuk menjadikan semangat seni musik dan nyanyi ditengah masyarakat miskin yang rindu dengan suara lagu perjuangan, syair pembebasan dari sebuah keprihatinan melihat, mendengar dan merasakan.
Maka Serikat Pengamen Indonesia (SPI) mendeklarasikan kelompok musik KePAL-SPI. KePAL_SPI sudah mengeluarkan 3 album, yaitu : Turun Kejalan (2005), Pesta Topeng Monyet (2009),dan Anak Indonesia (2011). Dalam perkembangan organisasi Serikat Pengamen Indonesia (SPI) akhir tahun 2009 berganti nama menjadi Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia (SeBUMI). KePAL_SPI adalah bagian dari corong propaganda SeBUMI. Disitulah kami bergerak, bermusik, bernyanyi dan memberikan pencerahan buat massa depan bangsa dan rakyat.
Tari Adinda
Perawakannya kecil saja, tapi siapa sangka kalau gadis itu punya kemampuan besar karena telah menciptakan puluhan lagu. Keterlibatannya dalam organisasi buruh (FNPBI) sedikit banyak telah merubah pemahamannya tentang banyak hal; sosial, politik maupun tentang pentingnya membangun organisasi. Seringnya berinteraksi dalam kerja-kerja revolusioner; berdiskusi, ikut pendidikan, aksi massa juga telah mengubah kandungan bagi lirik-lirik lagu yang diciptakannya. Kalau dulu liriknya hanya berkutat pada masalah/tema-tema asmara antara pria dan wanita, maka sekarang mulai merambah pada tema kehidupan buruh; soal gajian, soal makanan yang dikonsumsi di pabrik, soal sistem kontrak, dan memang lagu-lagu Tari (yang balada & mengingatkan kita pada Iwan Fals) begitu mudah dihafal dan cepat akrab ditelinga.
Bila ingin menyimak lagu-lagunya, silahkan putar CD album pertama Tari Adinda; Buruh Kontrak yang sudah diproduksi oleh Sanggar KAPUAS Cakung.
Demikian rentetannya, sebenarnya masih ada banyak yang terlewat, karena kembali aku masih minim sekali data. Tapi bolehlah aku menyertakan/menyebut nama mereka di akhir tulisanku ini, karena mereka juga punya semangat dan cita-cita yang sama dengan grup-grup yang telah aku tulis diatas. Di lain waktu tentu kita akan kupas habis tentang mereka; baik karya maupun profile dari TehnoShit, Segorames, JERUJI, Mukti Mukti, COMERADE, Gestapu, GERIGI, dan lainnya. Maka sambutlah serbuan musik perlawanan – musik pembebasan dari grup-grup yang bemusik..bernyanyi dan berjuang untuk mengakhiri penindasan.
Marjinal
MARJINAL adalah sebuah group musik band dari sekian banyak gruop band indie di indonesia yang beraliran punk. Marjinal yang terinspirasikan atau ter-influncekan oleh Sex Pistols, Bob Marley, Leo Kristi, Toy Dolls, Bad Religion , The Crass, Benyamin S, dan Ramones memulai awal karirnya pada tahun 1997 ketika itu masih menggunakan nama AA (Anti ABRI ) dan AM (Anti Military ) dalam komunitas underground.
Band punk yang berformasikan awal (1997) Romi Jahat (vocal), Mike (gittar ), Bob (bass), Steven (drum), terbentuk atas latar belakang kesamaan dalam menyikapi belantika hidup satu sama lainnya. Mereka berusaha menyampaikan suatu pesan akan suatu penolakan maupun penerimaan dan harapan setelah apa yang dirasa , dilihat , di raba , dan di dengar dalam kehidupan sehari-hari.
Memasuki tahun 2001 band punk ini mulai menanggalkan nama AA dan AM, mereka resmi menggunakan nama baru yaitu Marjinal. Nama baru di dapat ketika Mike, sang vokalis terinspirasi oleh nama pejuang buruh perempuan “Marsinah..Marsinah..MArjinaL” asal Surabaya yang sangat berani dalam meperjuangkan haknya sebagai kaum buruh. Namun sayang belum sampai pada saatnya, marsinah wafat dalam tugas suci yang mulia akibat penyiksaan yang dilakukan oleh aparat berseragam loreng sebagai anjing-anjing peliharaan sang kapitalis. Tidak hanya itu Marsinah pun menginspirasikan Marjinal dalam meriliskan album ke-3 dengan judul album ”Marsinah” bercoverkan wajah marsinah dengan format hitam putih. Luar biasa, Judul lagu ”Marsinah” yang sama dengan judul albumnya, sangat familiar sekali karena banyak kalangan anak muda menyanyikan lagu ”Marsinah” di tongkrongan, studio musik, bahkan dalam sebuah pagelaran musik.
Di tahun 2005 Marjinal kembali menelorkan album ke-4 dengan tema sang ”Predator” yang terdiri kaset 1 & 2. Proses penggarapan album ke-4 ini sudah megalami kemajuan karena di dukung dengan alat yang mumpuni, sangat berbeda jauh sekali jika bandingkan album sebelumnya, baik di lihat dari design cover maupun hasil rekaman kaset.
Selama kiprahnya di industri musik indie, Marjinal sudah mengalami beberapa kali gonta-ganti atau bongkar pasang personil, dan sampai saat sekarang ini marjinal masih di perkuat oleh Romi Jahat (vocal), Mike ( gitar), bob (bass), Proph (drum) yang kini untuk terus berjalan bersama agar tetap hidup berusaha menyampaikan pesan sebuah amanat penderitaan rakyat yang dituangkan dalam bentuk media musik. (Metal yeahh)